Mereka berdua duduk saling berhadapan di ruang tunggu lobby BPN. Zain sibuk mencatat sesuatu pada tabletnya dan membiarkan Ana menarik napas—setelah mereka memperdebatkan sesuatu yang cukup alot—dan menikmati kopi yang mereka beli di café kantin.
Cup yang berisikan Black Cold Brew Ana sudah tersisa setengah ketika Zain selesai mengetik. Pria itu menghela napas sambil meletakkan tabletnya ke atas meja dan mengambil cup Vietnam Drip miliknya. Merasakan cairan itu menyegarkan lambungnya yang panas sejak kemarin.
Pertemuan mereka kali ini adalah tidak lain dan tidak bukan mengenai masalah Olivia. Gadis yang berusia 20-an itu sekarang adalah salah satu client nya. Sementara gadis itu pergi ke medan peperangan, walinya-lah yang memegang hasil informasi. Dengan kata lain, Ana telah menjadi wali Olivia secara resmi.
"Sangat disayangkan, saat ini masih menemui jalan buntu." Zain mengetuk meja. "Tapi saya pastikan, clue berikutnya tidak akan ada kecolongan lagi."
Ana mengangguk. Tipikal orang yang tidak banyak bicara dan hanya mengeluarkan pendapat yang dia rasa perlu. Itu bagus. Karena baru kali ini Zain gagal menekan calon saksi untuk dimintai keterangan, dan dia tidak butuh kalimat penyemangat yang selalu diberikan orang lain seperti : 'Tidak apa. Kau akan sukses berikutnya.'
Untungnya, Ana tidak seperti itu. Membuat Zain tetap sadar bahwa sehebat apapun dirimu sekarang, kegagalan akan selalu datang.
Ketika Ana mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia melihat dua pria yang sangat dikenalnya berjalan menuju pintu keluar dan berhenti di dekat pot besar. Oke, mungkin tidak terlalu. Tapi dia cukup mengenal profile tubuhnya dari belakang. Ketika salah satunya pergi dengan raut jengkel, pria yang masih berdiri di dekat pintu keluar itu menangkap tatapannya dan tersenyum kecil.
Ana membalasnya dengan lambaian singkat. Pria itu berjalan mendekat dan akhirnya memberikan sapa dan berjabat tangan dengannya, juga dengan Zain.
"Kalau saya gak salah lihat, itu tadi Pak Karta kan?" tanya Ana.
Pria itu, Yohanes, mengangguk lalu melihat ke belakangnya. "Hai, Mas Rey."
Ana berjengit. Menolehkan kepala dan ternyata Rey sudah ada disana. Sejak kapan?
"Hai juga, Yoyo." Balas Rey kemudian mengambil kopi Ana dan menghabiskannya. Ana hanya bisa menggeleng saja. Yang modelan begini mau jadi adik iparnya? God must be kidding.
"Kok keliatannya beliau kesal ya tadi? Atau enggak?" tanya Ana lagi.
"Emang lagi kesal dia tuh." Yohanes menggeleng pelan. "Butuh kronologinya juga?"
Ana nyaris tertawa, tapi dia hanya tersenyum manis. Yoyo sudah mengetahui tabiatnya yang selalu menginginkan info lengkap dan tidak setengah-setengah.
"Beliau ada keperluan sama atasan saya, dan saya Cuma sebagai team antar jemputnya saja. Tadi beliau sempat nanya 'apa AU sudah mengirim pasukannya ke Irak?' Dan saya jawab sudah. Dia nanya lagi 'apa Olivia jadi masuk ke dalam tim?' Karena kabarnya sempat heboh di kalangan petinggi. Baru kali ini mereka ngasih izin pilot cewek untuk ikut. Dan permasalahan lainnya adalah dia masih underage."
Untuk ukuran pilot pesawat tempur, Olivia masih tergolong sangat muda untuk mengikuti serangkaian tugas rumit seperti Misi Perdamaian Dunia. Fighter pilot akan dianggap sudah memiliki pengalaman dan kemampuan jika sudah berada di tahun kelima atau keenam mereka. Sedangkan Olivia baru memasuki tahun keduanya.
Tapi semua orang tahu kalau umur tidak bisa dijadikan patokan dalam menilai segala sesuatunya, bukan? Walaupun baru ditahun kedua, Olivia sudah memiliki pangkat yang tidak dimiliki oleh mereka yang menganut sistem 'let it flow' dalam bekerja. Pembuktiannya sudah sangat jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#3) : Bring The Rain
Action🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Ada pepatah yang mengatakan "Curiosity kills cat." Itu sangat benar. Rasa penasaran itulah yang membuat Olivia berani mengikrarkan diri menjadi seorang Jet Fighter Pilot. Mempertaruhkan jiwa, raga, masa muda dan juga ... nam...