Udah seminggu gue gak bisa tidur tenang, siapa dalang dari semua teror kemarin? Apa gue pernah bikin salah? Apa gue pernah jahatin orang?
Cuman Nilkensen satu-satunya orang yang gue perlakuin buruk, tapi apa mungkin dia? Kenapa? Apa dia serius pengen gue mati? Tapi kenapa?
Sepuluh tahun lalu bukanya gue yang nanggung kerugian, bukannya gue yang justru terperangkap penyesalan atas dosa? Kenapa gue seolah harus nangung kembali siksaan yang bahkan udah gue lewati dengan susah payah?
Setulus hati gue mengakui, seorang Nilkensen bagi gue adalah stranger sampai hari ini. Bagaimana dia, seperti apa sifat sama tabiatnya gue gak tau. Orang mendeskripsikan Nilkesen dari mulut ke mulut, semua yang mereka tahu adalah tetang hobi dia yang suka gonta-ganti wanita dan seorang anak konglomerat. Hanya sebatas itu. Apa iya dia pria berhati dingin? Apa iya dia pria yang nekat? Apa iya dia pria yang pendendam? Apa iya dia pria yang kejam?
Senyum semenawan milik dia sekali pun bisa berubah racun buat gue, hanya satu persen dari skala seratus yang gue ketahui bahwa seorang Nilkensen adalah pria yang bikin gue jadi nakal. Gak lebih.
Pikiran gue kacau, gue harus nyari tahu kebenaran dan bukti. Gue gak bisa diem terus, sementara nyawa gue terancam.
"Tal, kayaknya gue harus pergi ke Italia."
"Hah? Ngapain?"
"Gue harus susul Nilkensen."
"Buat apa?"
"Dia pasti ada sangkut pautnya sama semua teror kemarin."
"Lo yakin?"
"Cuman dia satu-satunya orang yang bilang pengen gue mati."
"Itu masih 50:50 kalau Lo cuman mendasari semua ini atas asumsi. Apa mungkin dia segila itu?"
"Makanya gue pengen ketemu dia."
"Tapi Lo gak usah ke Itali, karena Nilkensen lagi di London sekarang."
"Dia masih disini?"
"Maksud Lo?"
"Dimana tepatnya?"
Krystal nyebut nama hotel dan panggilan telepon gue akhiri sampe disana.
Sekali lagi, gue gak takut akan resiko tapi gue butuh kejelasan atas kejanggalan berulang yang terus terjadi.
Gue gak punya kontak Nilkesen, cuman ada nomor kamar dia doang. Tapi belum sempet gue keluar mobil, Nilkesen ada di Lobby dan jalan masuk kedalam mobilnya sama satu perempuan. As always.
Sepanjang jalan gue ikutin mobil dia, sampai akhirnya dia nyadar dan tancap gas. Gue tanpa pikir panjang langsung ngeberhentiin mobil dia setelah sedikit adegan kejar-kejaran yang nguras tenaga.
Bruk.
Jalanan ramai siang ini, mobil hilir mudik ngelintasin aspal. Matahari pun bersinar dengan cerahnya hanya perasaan gue yang gundah tanpa alasan.
Supir Nilkesen turun, seperti yang gue duga. Gue samperin dan ngobrol baik-baik, pesan gue disampein Nilkensen pun keluar.
"So, how are you?" Kata dia, semacam basa-basi. Meskipun senyum, gue tahu itu adalah sapaan untuk orang asing. Dia gak sedeket teman untuk sekedar tulus ngasih simpul di bibir.
"Lo yang ngerencanain semua teror itu?"
"What?"
"Answer. Don't give me another question."
"Hm, you still beautiful even you look angry." Nilkensen ngebelai rambut halus gue dan gue liatin dia sampai tangannya masuk kembali ke saku, dia nyender di mobil. "Ms. Za kalau Lo gak punya kepentingan apa pun sama gue, tolong minggir dan jangan halangi jalan gue. Wow, gue masih secomfort ini ngomong informal sama Lo. Oh, maybe because you're a bitch."
Harusnya gue tersulut emosi, tapi entah kenapa gue justru gak marah.
Gue ngedeket, mangkas jarak diantara kita. Nilkensen gak nolak dari sini gue tahu, dia masih menerima kehadiran gue.
"Look Baby, if you wanna kill me then kill by your self don't ask anyone else. Be gentle. Cause i'll take you to the hell together when you did." Gue pegang tangan Nilkensen dan natap dia dengan lama. "Lo adalah buku yang udah gue tutup bahkan tanpa berniat gue baca kembali. Lo adalah kenangan yang udah gue buang bahkan tanpa berniat gue ungkit kembali. Kalau Lo pengen gue mati, gue gak kebaratan tapi setelah ini tolong pergi dari hidup gue. I am suck."
Setelah gue lepas tangannya, Nilkesen ngeraih punggung gue dan ngebisik.
"Bunuh diri Lo sendiri, jalang. Gue gak mau ngotorin tangan gue, sampai jumpa di Neraka."
Dia ngehentak badan gue, tersenyum lalu,
"See ya,"
Berjalan menuju mobilnya.
Seolah ditampar kenyataan, ada sedikit rasa sakit di hati. Gue diem beberapa saat sampai kesadaran balik lagi dan mulai jalan buat ngebuktiin sesuatu.
We'll see Nilkesen! we'll see!
Tepat di tengah jalan gue berhenti, berdiri. Mobil ngelaju cepet, beberapa ngasih klakson tanpa gue peduliin.
Sekilas gue lihat, Nilkensen diem dan ngeliatin gue. Dia senyum, bahkan sesekali ketawa dengan tangan di dada. Dia seolah nantang gue dan ngerendahin seakan gue bakal kalah.
Tontonan yang menarik bukan?
Sayangnya gue emang udah siap mati. Lagian udah lama juga gue gak masuk rumah sakit, Gue bales senyuman dia dan tetep berdiri.
Gue gak berkedip atau bahkan merem, satu persatu mobil ngehindarin gue sampai satu mobil hitam tancap gas dan jalan lurus dilantasan gue berada.
Supir dan temen cewek Nilkesen keluar mobil dengan panik, mereka mulai teriak dan minta gue kembali.
Jaraknya makin deket, jujur gue deg-degan tapi bukan Zessy Athea namanya kalau gak nekat.
Maafin gue, diri gue sendiri. Tapi gue harus ngelakuin ini.
Brug!
Mobil pun nabrak dan kaki gue berhenti berpijak di atas tanah.
.
.
.s w i p e - u p
vote and comment yes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 Para pendosa. start; June, 08th 2019 fin; © cafami 2019