Scappare 0.7 - LXI

818 166 5
                                    

point de vu
          - zessy

Tiga Minggu berlalu, gue menjalani kehidupan normal yang didefinisikan oleh orang-orang pada umunya.

Malam itu seperti unjuk pengakuan dosa, gue pun menceritakan apa yang sekiranya Nilkensen memang harus ketahui.

Reaksi dia, hanya diam.

Gue merasa setengah dari beban gue, berkurang. Mungkin karena dia selama ini adalah yang seharusnya gue bagi mengenai hal-hal yang gue simpan lama.

Ada secarik kertas yang dia kasih, berupa nomor telpon dan alamat apartemennya di Itali. Sejak menampakan kaki kembali di London, gue gak pernah sekalipun nyoba untuk ngehubungi Nilkesen, bagi gue selain gue merasa gak mempunyai urusan lagi dengan dia gue hanya mencoba untuk membatasi diri.

Nilkensen bilang,

"Call me atau datang ke alamat ini, kalau Lo butuh gue."

Sayangnya, gue gak bisa penuhin ucapan Nilkensen.

"Pagi sayang," kecup Chan di kepala gue.

Di pagi buta nan dingin ini, Chan datang ke rumah untuk sekedar ikut sarapan. Meskipun, alasan sebenernya karena Bunda yang minta.

Orangtua gue tersenyum manis melihat keharmonisan kami. Zayn yang walaupun sedikit risih pada akhirnya acuh gak peduli.

"Masakan Bunda enak, as always." lanjutnya, muji menu sarapan di meja yang udah masuk ke mulut.

"Ada apa Bun? Kok tumben Chan disuruh datang sepagi ini?" Timpal gue setelah menelan roti selai coklat.

"Sayang, Tante Esa anaknya baru pindah ke Inggris dan membuka usaha disini."

"Ada yang bisa Zessy bantu, Bun?"

"Kalau kamu masih betah untuk menganggur Bunda gak akan memaksa kamu bekerja, hanya aja mungkin kalau kamu bosan kamu bisa mengunjungi anak tante Esa di Portmeirion, Gwynedd."

"Zessy bakal cari kerjaan kok Bun, tapi nanti."

Untuk beberapa detik, Ayah sama Bunda saling melihat satu sama lain. Bikin gue dan seisi meja yang gak terlibat jadi penasaran.

"I know honey, Bunda sama Ayah cuman khawatir sama kondisi kamu akhir-akhir ini. Kamu bisa istirahat disana atau ngobrolin karir kamu dengan anak Tante Esa, dia sangat berpengalaman di dunia advertising kalian bisa saling bertukar pikiran."

"Ah, kalau begitu biar Chan yang anter Bunda. Biar Chan urus berkas cuti untuk beberapa hari kedepan."

Rupanya, tunangan gue udah ngerti posisi dia dalam obrolan di meja makan ini. Memang gak mungkin meleset, hanya Chan yang paling Bunda percaya jika menyangkut tentang diri gue sisanya, urutan kedua dan tiga yang jadi pilihan.

"Aku baik-baik aja Bun, tinggal di rumah juga gak masalah."

"Kaka sering ngelamun, jadi jelek."

"Zayn!"

"Aku kan cuman jujur,"

"Sst!"

Kami diam begitu Bunda mengeluarkan ucapan sakralnya.

"Bunda pengen nemenin kamu, Ayah juga tapi kami rasa ini adalah waktu untuk kalian memikirkan komitmen kedepannya,"

Sampai saat ini, gue memang gak pernah ngobrolin pernikahan. Mungkin bunda salah paham.

"Kalau itu mau Bunda, aku bakal pergi sama Chan."

"Bunda udah persiapkan tiket, kalian bisa pergi besok."

Gue... tersenyum.

Ayah hanya diam seraya sesekali makan dengan khidmat persis kaya Zayn.

"Iyah Bunda,"

"Siap Bunda," tandas Chan, menatap gue dengan khawatir.

Kami melanjutkan sarapan dengan tenang, selama bunda bahagia selama Ayah setuju gue gak akan pernah nolak apapun kemauan mereka. Ya, karena gue anak penurut.

s w i p e - u p
vote and comment yes!

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang