🔓
.
.
.Portmeirion, Gwenydd.
Sebenernya kalau disebut terpelosok, menurut gue enggak. Disini adalah salah satu destinasi wisata desa favorit Inggris, cuman memang bangunannya khas Italia. Jadi mungkin, gue merasakan vibes negara tersebut.
Ada satu gedung, lumayan besar di dekat bibir pantai. Gue dan Chan masuk begitu yang punyanya mempersilahkan.
"Terakhir kita ketemu di Indonesia, ya?"
"Oiya?"
Entah gue lupa, lagi pula dia sama gue gak terlalu deket.
"Iyah Zessy, waktu itu Lo baru masuk SMA gue inget banget."
"Gue agak lupa,"
"Wajar sih, Lo udah 10 tahun disini."
"Iya kayaknya."
Kami masih duduk di ruang tamu, lalu tour singkat ngelilingi rumah.
"Kalian mau tidur terpisah atau satu kamar?" Tanya dia, sedikit ragu sama gue dan Chan.
"Terpisah, kami pengen ngejaga privasi."
"Ok, berarti ruangan bersebelahan ini bisa kalian pakai untuk istirahat. Gue udah nyiapin makan malam, jangan lupa turun ke bawah ya."
"Iyah nanti kami nyusul,"
Begitu dia turun ke bawah, gue langsung masuk kamar.
Setelah setengah jam berlalu dan beberapa barang di koper di keluarkan. Gue turun ke bawah, kami duduk di ruang makan dan menikmati hidangan.
"Gue denger Lo lagi gak kerja Zessy?"
"Iyah gue berhenti dulu,"
"Kenapa?"
"Cuman, ya i don't know."
"Ah, kalian bakal nikah tahun ini?"
"Masih belum pasti," timpal Chan.
"Selamat atas hubungan kalian, gue turut bahagia."
"Makasih,"
"Ngomong-ngomong kata Bunda Lo baru beli hotel disini? Kepemilikannya berpindah sekarang? Kenapa investasi disini?"
"Hm, gue cuman membuka peluang. Base gue tetep di London dan gue masih akan melanjutkan dunia periklanan."
"Ah gitu,"
"Lo bukannya pilot?"
"Iyah,"
"Menyenangkan bisa keliling dunia?"
"Gak selalu kalau gue lagi rindu London,"
"Zessy bikin Lo rindu?"
Bukan gue.
"Siapa lagi?"
Gue tersenyum sebagai balasan, kamu ngelanjut makan malam dengan obrolan panjang.
Dae, anak Tante Esa. Dia lebih tua dua tahun dari gue, kami sendiri seperti yang dia bilang pernah ketemu waktu di Indo cuman ya, gue gak inget. Dia ngambil jurusan yang sama kayak gue, makanya sejak tadi banyak hal yang gue konsulkan sama dia, like what my mother's suggest.
Kalau karir gue di Eropa redup, maka gue terpaksa pindah ke Asia, Amerika atau bahkan Australia. Semua memang gara-gara Nilkensen. Gue bukannya gak bisa ketemu dan minta dia cabut kebijakan norak yang merugikan itu, tapi entahlah gue memilih menghindar.
Besok ada acara mancing sekaligus BBQ ikan di pinggir pantai, that's why kami istirahat lebih cepat.
Gue udah dikamar dan baru selesai ganti baju, di hadapan cermin entah kenapa gue seperti mematung dan tanpa sadar nyentuh bibir.
Malam itu, gue menerima ciuman Nilkensen tanpa penolakan. Tubuh gue seperti udah dengan sendirinya tau kemana harus bergerak.
Ini, aneh.
Bohong kalau gue gak pernah ciuman selain sama Nilkensen tapi hanya sama cowok itu gue merasa nemuin sesuatu yang gue cari.
Pikiran gue terus berkelana dengan segudang pernyataan dan pertanyaan.
Gue liatin Hp dan berpikir sesuatu,
"Apa gue hubungi dia? Tapi buat apa?"
Lama gue bergumul dengan diri sendiri.
Gue jelas dan tegas udah gak mau berhubungan lagi sama Nilkensen kalau memang bisa, cuman mendadak gue pengen denger suara dia.
Tut
Tut
Ya, dan dengan nekat gue malah menekan panggilan.
"Halo Za?"
Beep!
Glek.
Jantung gue seperti baru melesat di pacuan kuda.
Apa yang udah gue lakuin? Stupid.
Gue kembali diam dalam keheningan...
Sampai gue menyadari, rasanya gue kayak lagi ada yang merhatiin.
Pelan-pelan gue berjalan ke arah jendela yang memang menghadap ke taman dan pohon berindang.
Gue diam, berdiri, mengamati tapi cuman kekosongan yang didapat. Disana gak ada siapapun, gak ada kehidupan atau pun tanda manusia tapi...
Eh?
Samar gue ngeliat seseorang di ujung sana, dia jalan ngejauh.
Beberapa kali gue usap mata, wait...
Kok gak ada?
Apa cuman perasaan gue doang ya?
n o t e d
Widih mantap kerjasamanya 🤟🤟 sayang deh sama kalian hahaha
s w i p e - u p
vote and comment yes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 Para pendosa. start; June, 08th 2019 fin; © cafami 2019