Sviðinu 1.0 - XCII

580 148 11
                                    

Karda tumbang.

Satu setengah botol wine habis gak bersisa masuk melewati kerongkongan dia, mungkin efek lelah juga menjadi alasan lain sahabat gue satu ini jadi cepat mabuk.

Gue naik ke atas, begitu masuk kamar gue lihat balkon terbuka. Angin malam bikin tirai bergerak gak karuan, langkah gue menggiring untuk ngehampirin Sy. Samar terdengar suara percakapan, sejenak gue tunggu urusannya selesai.

"Sen?"

Panggil dia, saat berbalik dan menyadari kehadiran gue.

"Perasaan Lo sekarang gimana?"

"I am ok."

"Apa ada hal lain yang ngeganggu Lo?"

"Enggak,"

Gue mendekat, mangkas jarak di antara kami. Begitu ada dihadapannya gue sapu lembut wajah Sy, menatap dia dengan serius meski balasan dia tetap tenang.

Kami menikmati angin malam, lalu selanjutnya gue memeluk Sy, mencium aroma tubuhnya sedalam mungkin... as always.

Sy balik memeluk gue, kami hanyut dalam keheningan.

Cup!

Gue tatap dia, ciuman singkat kami gak pernah absen dilakukan akhir-akhir ini, terutama saat gue sangat sulit ngendaliin dorongan untuk nyentuh bibir Sy.

"Telpon dari siapa?"

"Bunda,"

"Apa Lo diminta pulang?"

"Iyah,"

"Ada apa?"

"Pernikahan Gue sama Chan."

"Juanpa ngedesak pernikahan kalian?"

"Sama sekali engga,"

"Lalu?"

"Bunda minta gue persiapin untuk nikah secepat mungkin."

"Kenapa?"

"Mungkin Bunda rasa, liburan gue di Italia udah lebih dari cukup."

"Tapi Lo kan bilang ke sini buat kerja."

"Kerja atau gak kerja, buat Bunda ini tetap ajang tamasya gue dari trauma."

"Apa gue perlu pergi ke rumah Lo?"

"Untuk apa?"

"Apa Lo gak mau hidup lebih lama di sini?"

Zessy diam, bikin jantung gue cukup berdentum cepat nunggu jawaban dia.

"Lagi pula, kita belum nemuin siapa yang neror Lo."

"Yah, tapi gue gak mungkin nolak Bunda."

"Apa hidup Lo hanya dipersembahin untuk orangtua Lo?"

"Lo gak ngerti Sena,"

"Gue sangat ngerti dan Lo berhak milih."

"Milih Lo yang gak jelas? Itu maksudnya?"

"Um,"

"Lo bukan pilihan,"

"Tapi jadi boneka juga bukan pilihan,"

"Kasih gue jaminan kalau gitu, kenapa gue harus milih Lo?"

"Apa yang Lo mau?"

"Bisa Lo hidup hanya dengan gue sampai akhir hayat Lo? Jauhi semua cewe penggoda dan cuman ada gue."

Gue diam. Cukup menohok dengan pertanyaan Sy, manik mata dia seolah menodong gue dengan i don't know apa itu yang dinamakan harapan?

Sy kemudian tersenyum bahkan sebelum gue sempat menjawab.

"Lo gak bisa, tentu aja."

.
.
.

s w i p e - u p
vote and comment

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang