Scappare 0.7 - LXV

699 162 24
                                    

Masih ada beberapa hari sampe gue balik ke London, Dae pun sering banget tuker pikiran sama gue tentang dunia periklanan dan kemungkinan gue bakal pindah negara lagi buat ngejar karir, meskipun masih sebatas rencana.

"Ini kota yang indah,"

"Ya, makanya gue milih beli Hotel disini."

"Buat rehat dari aktifitas?"

"Mm, manusia kan tetep butuh istirahat."

"Gue bakal nyoba investasi semacam ini,"

"Properti menguntungkan kok, lagi pula pasar iklan gak selalu bisa kita prediksi."

"Setuju,"

"Apa nih yang setuju?" Timpal Chan, dia bawa botol wine, ngelengkapi obrolan kami.

"Chan kamu gak akan pensiun jadi pilot?"

"Ngapain Sy? Aku bisa terbang sampe tua."

"Tapi ada baiknya Lo lebih sering disisi istri Lo kelak, dari pada pergi-pergi lama bukan?"

"Istri gue bisa jadi pramugari juga kalau dia mau, supaya kita bakal selalu bareng."

"Memang Lo berencana jadi pramugari Zessy?"

Ya, masa iya gue?

"Gue? Terserah suami gue entar, Dae."

"Ok, tapi jangan lupa investasi properti ya."

Setengah dari siang hari yang cerah indah ini, kami habiskan dengan senda gurau dan makanan enak.

Sore berganti malam, tamu hotel mulai ramai setelah gue inget kalau sekarang akhir pekan.

Gue lagi di pantai, menikmati angin malam sebelum beranjak tidur.

Lampu-lampu dari hotel ngasih penerangan yang indah sebagai pelengkap.

Begitu botol beer kosong, gue pun bangun dan beranjak dari pantai.

Langkah gue mengiring kaki nyentuh setiap bulir pasir.

Gue menikmatinya.

Tapi,

Mata gue terpaku dengan sebuah hal, begitu gue menangkap dengan kesadaran yang gak sepenuhnya normal.

Mati lampu?

Seketika, semua di sekeliling gue gelap.

Sunyi,

Sepi,

Hening tanpa kehidupan.

Lampu jalan ikut mati dan gak menyisakan banyangan siapapun, terkecuali Bulan.

Gue cepat tersadar sesuatu, Chan!

Segera gue lari, sangat cepat dengan khawatirnya.

Semoga Chan baik-baik aja.

Setengah jam lalu, Chan pamit ijin ke kamar duluan karena dia pengen nelpon Wendy. Tapi, Chan punya gangguan kecemasan sama tempat gelap. Apa pun yang terjadi, dia gak bisa berlama-lama di tempat yang minim cahaya apalagi gelap.

Nyampe lobby, tamu banyak yang keluar.

Gue nanya sama pegawai, tapi mereka juga panik.

Lewat tangga, gue naik keatas.

Tring

Tring

Tring

Gue berhenti.

Suara benda terdengar seolah jatuh dari atas.

"Aaaa!"

Jantung gue terasa berhenti berdetak, begitu suara teriakan Chan bikin gue panik setengah mati.

Gue kembali lari lagi dan lebih cepat.

"Chan!" Teriak gue, begitu nemuin dia lagi duduk. "Lo baik-baik aja! Ada gue disini, Lo baik-baik aja." Gue bisa ngerasain pelukan Chan dan ya gue berusaha tenangin dia.

Gue ikut duduk dengan Chan yang gak bersuara, tangan gue ikut megangin tangan dia dan sesekali ngusap punggungnya. Tapi, celana gue basah, tepatnya bagian betis ke bawah setelah gue sadari ternyata lantainya yang basah.

Chan ngompol?

Astaga!

Mau ngedumel, dia pasti shock, yaudah gue biarin.

"Gue bantu berdiri ayo, kita turun cari tempat terang."

Dalam pelukan gue Chan ngegeleng, gue pun balik nenangin dia. Lalu, dengan ajaibnya lampu kembali nyala.

"Udah Chan, Lo baik-baik aja."

Pelan banget Chan kemudian natap gue dengan pucat.

"Kenapa?" Tanya gue.

"Sy,"

"Hm?"

Mata gue membulat sempurna, begitu sadar lantai penuh darah.

"Cha, Chan..."

"Sakit Sy,"

Badan gue gemetar liat darah itu ngerembes ke pakaian kami perlahan.

s w i p e - u p
vote and comment yes!

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang