Darah keluar dari bahu gue, sedangkan pisau masih menancap.
Rasanya sakit luar biasa, seumur hidup gue gak pernah ngerasain hal semacam gini, i am trully shock.
Samar gue tangkap suara ketawa, dia bilang bakal bunuh gue secara perlahan, entah apa maksudnya tapi dia sama sekali gak nusuk jantung atau alat vital lain, sejak tadi hanya bahu atau sebelah tangan gue yang kena tusuk.
Demi Tuhan, gue sulit mendeskripsikan kesakitan yang gue rasa.
Dalam pandangan yang terbatas, gue lihat Chan. Dia terkapar, sungguh gue gak tega.
Semua gara-gara gue, kalau gue gak stres mikirin kejadian di Yatch atau kalau gue secepetnya nikah sama Chan, barangkali perjalanan ini gak akan pernah ada.
Gue, harus selamatin Chan.
Dalam diri, tiba-tiba gue ngerasa gue harus bertahan bahkan melawan. Gue tau kesempatan gue kecil, tapi setidaknya gue adalah salah satu orang yang menikmati teknik bela diri.
Rasa percaya diri gue meningkat atau ini yang dinamakan nekat? Seriously, gue gak punya pilihan.
Gue harap gue gak akan mati atau pingsan karena kehabisan darah, seengaknya sampe pihak berwajib datang gue akan ngelumpuhin orang ini.
Jleb!
Bloody Hell.
Set!
Gue tangkis tangan dia, lalu nyerang kepala setelah itu gue gunain kaki sebagai satu-satunya anggota tubuh yang gak terluka.
Beberapa teknik yang diajarin guru gue applikasikan, sambil nahan rasa sakit, gue terus ngelakuin perlawanan.
Dia lawan yang tangguh.
Gue berdiri dan segera nyamperin Chan, tapi tiba-tiba gue denger suara ketawa.
"Your friend is dead! I was kill him."
Jantung gue makin berdegup gak karuan, Chan... please bertahan.
Gue gak berani untuk memastikan, gue takut dengan kemungkinan terburuk.
"Apa sebenernya tujuan Lo!" Balas gue dengan bahasa Inggris,
"Gue pengen Lo menderita."
"Kenapa? Apa dosa yang udah gue bikin?"
"Apa? Lo adalah pendosa terburuk yang pernah gue kenal."
"Gue gak kenal lo bangsat! Siapa Lo!"
"Persetan. Gue bakal bunuh Lo pelan-pelan, menikmati setiap tetes darah yang keluar dari kulit Lo. Tapi tenang aja, temen Lo juga gak akan jauh berbeda dengan Lo, gue bakal potong-potong tubuhnya dan ngasih makan dia ke anjing hutan. Gimana? Menyenakan bukan? Ah, ngebanyanginya aja bikin gue bergairah dan ingin tertawa. Lucu bukan?"
"Jangan pernah sentuh temen gue atau Lo akan menyesal."
"Temen lo udah mati dan gue gak menyesal."
"Dia mati, Lo juga mati."
"Sini bunuh gue, Lo harus tahu gimana rasanya melihat orang meregang nyawa. Itu sangat menyenangkan."
"Gue bakal bunuh Lo, gue gak akan pernah ampunin Lo."
"Dengan senang hati,"
Chan, dia... bernafas sangat pelan.
Gue takut.
Takut akan nasib terburuk yang bisa menimpa Chan.
"Bunuh gue atau gue yang bakal bunuh Lo, jangan terlalu banyak berpikir. Kita lakukan secepatnya," Dia balik tersenyum dan mendekat ke arah gue juga Chan.
Pikiran gue kosong.
Jarak kami semakin dekat, sampai menghilangkan batas pada akhirnya.
"Jadi jalang, bagian mana yang ingin Lo gue lukai lebih dulu." Lanjutnya menodong pisau di leher gue.
Gue balik menatap dia, perasaan takut akan kematian atau nyawa terancam udah gak gue rasakan. Seketika gue berani untuk balik mengintimidasi.
Brug!
Gue mukul dia, melumpuhkan tubuh sama wajahnya. Dia terjauh dengan cekatan gue ambil pisau di tangannya dan duduk diatas tubuh dia.
"Jadi Lo yang akan bunuh gue?" Tanyanya dengan wajah sumringah.
"Gue gak akan pernah biarin Lo lukain temen gue kembali! Bangsat!"
"Ya, pada akhirnya salah satu dari kita harus masuk penjara dan kehilangan kesempatan hidup dengan layak. Setidaknya, tujuan gue tercapai."
"Sst! Jangan banyak bicara, neraka akan jadi tujuan Lo setelah ini. Lebih baik nikmati, setiap detik pembalasan yang gue lakuin."
Srett!
Gue sengaja bikin garis menganga di sisi wajahnya.
Darah mulai keluar.
Dia kelihatan kesakitan sementara gue menikmati.
Strett!
Lagi gue sentuhkan ujung pisau sampai membuat garis di sisi lainya dan dia mulai memberontak.
"Sakit sayang? Tenang Lo gak akan mati secepet itu."
Brug!
Gue hantam kepalanya, semua yang dilakuin terhadap Chan terus berputar selayak video player dan gue gak bisa memaafkan perbuatan dia.
Jleb!
Mulutnya,
Jleb!
Pundaknya,
Jleb!
Jleb!
Jleb!
Jleb!
Jleb!
Lalu dada dan perutnya, gue tusuk berkali-kali. Semakin dia tersenyum semakin sering gue hujam tusukan pada mulutnya.
"Berhenti!"
Sorot lampu dan senjata api mengarah pada kami.
Gue terjeda lalu melihat ke sumber cahaya, perlahan.
Puluhan polisi berkumpul dan siap menembak.
Pisau terjatuh dan gue sadar tangan gue penuh dengan darah, bahkan wajah gue pun gak jauh berbeda setelah gak senhaja gue sentuh.
Dia, terkapar.
Kami seperti habis berpesta darah, layaknya orang yang baru aja keluar dari kolam renang.
Cowok itu, wajahnya rusak.
Kepala gue terasa pusing, semua mulai gelap dan gue ambruk ke tanah.
"Zessy!"
"Krystal?"
n o t e d
Gimana nih kesan kalian setelah merampungkan chapter Scappare? Gue sih cukup creepy ya. Ada yang menginspirasi gue memang tapi ini fiksi guys, always remember hanya cerita.
Segera ya kita lihat POV Sena dan gimana kelanjutan cerita ini wkwk
.
.
.f i n
vote and comment yes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 Para pendosa. start; June, 08th 2019 fin; © cafami 2019