Scappare 0.7 - LXVII

694 163 20
                                    

Kebun anggur milik Dae jadi ramai dengan orang-orang yang sekedar penasaran sama tempat kejadian perkara.

Kabar penemuan mayat ini belum sampe ke telinga Ayah Bunda dan gue sengaja minta Chan atau Dae untuk gak bikin mereka khawatir.

Sementara gue dibawa ke kantor polisi sebagai saksi, Chan nungguin di koridor sejak pagi.

Seorang wanita di umur 20-30 an, rambutnya pirang dengan mata hazel, kulitnya putih seperti kebanyakan penduduk Eropa dan dia baru meninggal beberapa jam saat gue temui dengan darah mengering dan lebam di bagian wajah.

Wanita itu adalah... korban pembunuhan.

Rincinya gue gak tau tapi di dada ada bekas luka tusuk, hal itu bikin dia kehabisan darah serta organ vitalnya rusak.

Polisi masih mendalami kasus ini, termasuk siapa tersangka.

"Sy kayaknya kita harus balik," kata Chan, dia lagi duduk di kasur kamar gue setelah kami pulang dari kantor polisi.

"Tapi Lo gimana?"

"Gak parah Sy,"

"Yaudah kalau gitu biar gue yang nyetir, kapan kita balik?"

"Hari ini,"

"Apa?"

"Kita tinggal minta ijin sama Dae, ini juga masih siang. Paling nyampe London malem, gak apa apa."

"Kenapa Chan? Kok mendadak?"

"Firasat gue..." Chan keliatan ragu buat ngelanjut, tapi "Lo bilang sering ada yang merhatiin Lo di luar jendela kan?"

"Iyah,"

"Mungkin aja orang yang ngebunuh cewe itu, orang yang sama?"

"Masa sih?"

"Udah deh, mening kita pulang."

Lihat Chan super khawatir gue gak punya pilihan, selain secepatnya packing baju dan siap-siap pulang.

Setengah jam kemudian kita minta ijin sama Dae dan udah mesen tiket.

Mungkin Dae cukup ngerti sama kondisi ini, makanya dia juga nyaranin kita buat balik, lagi pula dia bakal segera berangkat ke London ngurus iklan.

Jam 16.00 kita berangkat.

Dijalan sepi seperti biasa, banyak pepohonan rindang dan pemadangan alam serta pantai.

Chan gak banyak ngomong begitu pun gue.

Perjalanan ke stasiun terdekat emang lumayan, jadi gak kerasa udah petang lagi aja. Awan oranye berganti ungu dan terus berlanjut menuju hitam seperti kebanyakan malam.

Sekitar jam 18.00 kita menepi ke mini market terdekat, kita beli beberapa Snack dan minum lalu lanjut jalan.

"Wendy udah Lo kabari?"

"Belum Sy, dia pasti khawatir banget kalau tau disini ada kejadian."

"Iyah sih,"

"Lagian gue gak nyangka, tempat secantik itu kok horror banget?"

"Padahal gue gak ngerasa ada yang salah sama tempatnya,"

"Lo bener,"

"Seengaknya pemandangan disana worth it buat meredam stres."

"Ya memang memuaskan,"

Lampu-lampu penerangan mulai menemani kita, selagi menuju jalan raya.

Sambil mengusir sepi, kita puter lagu dan ngobrolin hal lain.

"Kalau Bunda nanyain tentang pernikahan kita gimana?"

"Kita masih belum tahu, bilang aja gitu."

"Tapi Sy, tujuan kita ke sana juga kan buat mikirin hubungan pertunangan kita."

"Bunda pasti bakal maklum kalau dia denger apa yang terjadi,"

"Bener juga,"

"Cepat atau lambat, media bakal ngeberitain jadi ya..."

"Semoga kita udah nyampe rumah waktu Bunda baca berita,"

"Iyah semoga,"

Gue fokus balik nyetir lagi, berkemudi dengan tenang.

Kalau malam pengelihatan gue gak terlalu baik memang, gue terus jalan.

Sampai gue mincingin mata dan nyoba buat nganalisis sesuatu,

Astaga.

Nafas gue seketika tercekat,

"SY AWAS!"

Ha?

"AAAA!"

Brug.

Hah.

Hah.

Hah.

Mobil berhenti, tepat setelah gue nabrak sesuatu.

Nafas kita super tercekat, begitu sadar gue sama Chan saling lihat.

"Cha, Cha, Chan... tadi itu apa?"

n o t e d

Sudah menyentuh part 70 guys, tidak menyangka 😅

s w i p e - u p
vote and comment yes!

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang