Sviðinu 1.0 - XCIII

610 133 9
                                    

Percaya atau enggak, kamar mandi gue sekarang bukan hanya diisi dengan sabun dan wewangian kesukaan gue aja, jajaran rak sebelah kiri adalah milik Sy dan gue... gak keberatan.

Belakangan ini gue lebih sibuk ngurus perusahaan, gue kadang gak punya waktu makan bareng atau sekedar berbincang dengan Sy.

Setelah dibantu asisten, Karda tidur di kamar tamu sementara gue sekarang memilih untuk mandi bersama Sy atau tepatnya berendam.

Sy masuk ke dalam bath up lebih dulu, dia naked kalau kumpulan busa gak menutup tubuhnya barangkali gue bisa melihat setiap lekukan itu saat ini.

Setelah ngambil sabun favorit Sy, gue berjalan kembali ke arahnya.

"May I?"

"Yes,"

Gue masuk ke dalam bath up membasahi sabun dan mulai menggosok punggung Sy. Kami seperti biasa hanya diam dalam keheningan. Pertanyaan terakhir Sy di balkon belum sempet gue jawab, sementara Sy terlihat udah gak tertarik dengan perbincangan itu.

"Sen,"

"Ya?"

"Dulu, waktu gue pertama kali lihat Lo gue pikir Lo akan jadi seniman."

"Oiya? Kenapa?"

Sy berbalik, menatap gue.

"Ini," sentuh dia di punggung gue, "Lo punya tato, dari pada CEO apa Lo gak lebih mirip mafia?"

"Ini tentang selera," balas gue membalikan kembali tubuh Sy, kemudian aktifitas menggosok pun gue lanjutkan.

"Selera Lo dalam seni, gue suka tato Lo."

"Memang gue gak keliatan kayak seorang CEO?"

"Um, dibagian Lo suka tebar pesona sih... iya."

"Kalau bagian lain?"

"Lo cowok cerdas harusnya gampang ketauan kalau Lo punya jabatan, but honestly Lo narsistik,"

Cup!

Entah apa yang gue lakukan, sementara bibir ini tiba-tiba menyentuh pundak Sy. Gue suka garis antara leher dan pundaknya, ah sial.

"Ada apa Sen?"

"Nothing,"

"Don't say nothing, gue gak suka. Terkahir kali Lo bilang begitu, Lo dingin banget sama gue."

"I am sorry."

Cup!

"Apa Lo masih suka nemuin temen cewek Lo?"

"Ya, beberapa."

"Apa Lo dingin sama gue karena temen cewek Lo?"

"Mungkin, bisa jadi."

"Sena!"

"Ya sayang?"

"Kenapa tangan Lo berhenti! Punggung gue masih belum bersih."

"Dasar gak sabaran,"

Kami kembali diam, Sy memainkan gelembung sementara gue menatap punggungnya nanar ya andai gue bisa melakukan lebih dari ini. Sungguh ujian yang sulit.

"Gue gak berniat jadi CEO."

"Um?"

"Semua karena ajang balas dendam,"

"Balas dendam?"

"Ya, kata orang-orang hidup gue suram. Gue bisa bertahan hidup itu pun karena gue anak orang kaya,"

"Lalu?"

"Setelah Lo pergi Sy, Papah nantangin gue."

"Apa?"

"Papah bilang gue mirip sama Mamah, gue cuman sampah dan gue bakal berkahir persis seperti apa yang orang-orang bilang."

"Are you serious?"

"Bener Sy,"

"Kok bokap Lo kayak gitu sih? Orang tua gue bahkan selalu muji gue."

"Tapi mereka juga nekan Lo, hal yang sama bukan dengan gue? Bedanya ketika orang tua Lo bermain halus, Papah lebih terus terang."

"Entahlah,"

"Gue pergi kuliah dan mulai ngebangun perusahaan, semua berjalan baik bahkan ya melebihin target."

"Apa bokap Lo kemudian ngakuin Lo?"

"Maybe, tapi yang gue rasain justru kehampaan. Ya, gue memang bukan sampah dan gak seperti apa yang orang-orang bilang hanya aja ajang unjuk diri ini gak bikin gue puas entah apa yang gue cari setelah gue berhasil mencapai apa yang gue inginkan."

"Gue gak pernah ngalamin hal itu, jadi gue gak tau gimana perasaan Lo, sorry."

"Its ok."

"Tapi Lo gak sendirian, ada gue."

"Um, sejak kapan seorang Sy ngomong semanis itu?"

"Tadi?"

Gue tersenyum, menyapu helaian rambutnya yang basah terkena cipratan air. Dia balas menatap gue pun dengan senyuman manis.

"You so beautiful,"

"I know."

.
.
.

s w i p e - u p
vote and comment

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang