Commencer 0.8 - LXXIII

745 174 12
                                    

Pemandangan kota dimalam hari sangatlah indah, gak peduli di negara manapun gue berdiri.

Sejak tiga minggu lalu gue udah balik ke Italia dan melanjutkan bisnis juga rutinitas.

Gue tentu memenuhi janji pada Krystal untuk pergi dari Za dan gak mendatangi dia kembali, maka hal tersebut sedang gue penuhi.

Meski gue disini, gue tau bagaimana perkembangan di London.

Juanpa pada akhirnya siuman saat kami semua mengira dia mungkin tinggal menunggu malaikat maut untuk  menjemput.

Gue turut senang mendengarnya.

"Sena,"

"Ya Michelle?"

"Kamu serius gak akan pergi ke London lagi?"

"Aku harus tepat janji,"

"Tapi mungkin dia juga ingin bertemu kamu,"

"Aku? Yang bener aja,"

"Bisa jadikan,"

"Aku ini lelaki brengsek, bajingan kalau kata dia. Mana mungkin atmosfir kerinduan bisa dia kasih, sementara aku yang paling dibenci."

"Kamu gak melanggar hukum atau berbuat dosa, apa yang salah dari mencoba?"

"Jalan kami seperti ini,"

"Engga sayang, kamu lah yang memutuskan jalan seperti ini."

"Am i?"

"Hm. Out Sena, i wanna sleep."

"Bad habit!"

Ya, Michelle memang seperti itu. Seringkali meninggalkan seribu pernyataan tanpa penjelasan, membuat gue terkadang bingung.

Gue beranjak dari kamar Michelle, meninggalkan dia yang lelah dan ingin berisitirahat.

Saat gue sedang banyak pikiran, biasanya gue akan pergi ke apartemen Michelle dan menikmati sampanye sambil mengobrol santai, dia selalu ada setiap kali gue datang. Kami teman kuliah dan menjadi dekat salah satunya karena memiliki banyak kesamaan, hobi gonta ganti pacar, misal?

Dia perempuan cantik dan cerdas, pandai olahraga dengan tubuh semampai seperti model. Memang memenuhi syarat untuk menjadi playgirl.

Sampanye kembali gue teguk, pikiran gue sejenak kembali mengingat keadaan satu bulan lalu.

Gue masih menangis saat gue sadar, tangan Za bergerak. Gue sungguh terkejut.

"Za?" Ucap gue begitu senangnya.

Perlahan dia membuka mata, menerawang langit-langit lalu melihat ke arah gue.

Dia terdiam, hingga halisnya mengeryit lalu dia menangis.

Ada luka yang tersirat, kepedihan dan rasa sakit.

Gue tertegun, sepanjang hidup barangkali itu kali pertama gue melihat hal tersebut.

Tangan Za balik menggenggam gue, meskipun gak erat.

Kejadian itu selalu berhasil membungkam kedamaian gue, ironis ngelihat dia seperti itu.

s w i p e - u p
vote and comment yes!

JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang