poin de vu
- ZessyHabis dari Spa, gue pamit untuk datang ke apartmen tanpa Irene dan here i am, duduk nyaris tertidur hanya diam menikmati denting jarum jam berputar.
But, gue gak lagi di tempat Sena tapi tepatnya apartmen Chan, cuman sejak tadi gue gak merasakan tanda kehidupan cowok jangkung itu, mau nyari tapi gue juga mager.
Setelah beberapa menit berlalu, gue putuskan untuk melihat kamar Chan. Pintu hampir gue buka sepenuhnya meski terhenti saat gue sadar, Chan dan Wendy ada disana dalam satu selimut tanpa pakaian, sadar itu adalah privacy mereka segera gue tutup kembali tanpa mengundang perhatian.
Tapi,
"Pernikahan kamu makin cepet,"
"Kamu keberatan?"
"Enggak, Zessy sahabat aku."
"Sy gak akan ngelarang kita ketemu, aku tetep milik kamu."
"Aku cuman mikir, gelar baru ku sebagai perebut suami orang akan segera datang."
"Kita bisa tetap ngejaga hubungan ini tanpa gelar apa pun, kamu gak usah peduliin apa kata orang."
"Apa kamu berencana punya anak sama Zessy?"
"Gilak! Enggak mungkin, dia juga sahabat aku, gak pernah sekali pun aku mikirin hal itu."
"Tapi gimana kalau mertua kamu yang minta?"
"Ada banyak cara buat dapetin anak, yang jelas bukan anak kami."
"Akhir-akhir ini aku gak mau pisah sama kamu, apa aku mulai posesif?"
"Sama sekali enggak, mungkin orang normal gak akan ngelakuin hal ini sayang, maaf bikin posisi kamu jadi serba salah."
"Gak apa-apa sayang, aku seneng kok bisa bantu Zessy."
"Makasih udah mau coba buat ngerti,"
"Lagi pula, mungkin hubungan kalian akan tetap sama meski janji suci udah terucap."
"Pasti dan akan selalu seperti itu."
"Tapi kalau boleh jujur, masih ada sebagian dari diri aku yang belum rela ngelepas kamu, sorry because i love you."
"Ini gak akan lama, aku harap kamu bisa bersabar."
"Anything for you,"
Gue mematung, mendengarkan percakapan mereka.
Jebakan ini semakin menjerat gue dalam giringan rasa bersalah akan perasaan Wendy, sahabat mana yang tega ngambil orang paling dicintai merela hanya untuk memenuhi keinginan egois orangtuanya? Apa gue adalah mahluk paling hina di sini?
Wendy sering nangis diem-diem, gue tau. Wendy sering kali ngelamun kayak banyak beban, gue tau. Wendy sering menyendiri, gue tau. Wendy sering maksain senyum walau hatinya sakit, gue tau. Tapi diri ini tetep ngelajut skenario murahan mengesampingkan dia yang sangat baik sama gue, hell me.
Gue gak bisa ngeakhirin semua ini, sangat jelas tapi andai gue punya jalan lain untuk menebus dosa akan perasaan Wendy yang terluka apa pun itu akan gue lakukan.
Begitu kembali ke ruang tengah, gue berencana pulang dan minta Sena jemput but belum sempat gue telpon cowok itu udah manggil duluan.
"Halo Sy?"
"Gue mau balik Sen, gue lagi di apartment Chan."
"Kenapa baru bilang? Gue kaget waktu Irene ngasih tau Lo balik duluan,"
Nada suara Sena lebih tinggi dan seperti, khawatir? Entahlah.
"Iyah, gue gak enak kalau bilang mau ke sini."
"Jangan balik sendiri, tunggu di situ gue bakal jemput."
"Kebetulan banget gue juga baru mau minta jemput,"
"Yaudah tunggu gue, Lo gak boleh pulang dengan siapa pun selain gue, paham?"
"Ya, tapi, Lo baik-baik aja kan?"
"I am okay, i am just... miss you."
"Ya ampun Sena, gue baru pergi beberapa jam Lo jangan lebay."
"Yaudah kalau gak percaya,"
"Yaudah kalau gitu, cepetan datang. Gue tunggu."
"Yes madame, i am coming."
n o t e
Holaaaa gais! Strat from here, Jenaka bakal mulai kembali membuka lembarannya. Kangen anjir gue sama kalian 😶 Gue gak bisa ngasih janji atau memenuhi harapan apa pun dari siapa pun selain satu hal yaitu cerita ini bakal gue selesaikan. Jadi, gue harap kalian enjoy aja untuk menikmati Jenaka tanpa harus membebani diri kalian dengan apa pun itu yang mungkin mengundang kecewa. Happy Friday!
.
.
.s w i p e - u p
vote and comment yes
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 Para pendosa. start; June, 08th 2019 fin; © cafami 2019