Selang sehari sebelum ulang tahun, banyak temen perempuan yang gue undang bahkan sebenarnya tanpa gue bilang pun mereka bakal tetep datang.
Gue sengaja ngerayain di Yatch milik keluarga Nich, mereka yang nawarin. Sekali pun milik pribadi, Yach ini tetap dipakai komersil artinya gue cuman pakai rooftop dan kolam renang.
Sengaja gue yang minta, lagian gue gak perlu ngabisin ruangan sebanyak itu.
Belakangan gue bara tahu, temen Juanpa yang nikah itu juga temen Jun.
Gue mau datang ke pesta itu tapi kerjaan masih banyak, akhirnya gue pilih pergi ke club meskipun gak berniat bermalam disana.
Dentuman musik selalu berhasil menanggalkan segala frustasi dan penat yang gue rasa.
Asap mengepul ke udara, gue terus menghisap tembakau sembari sesekali menanggapi ciuman perempuan disisi kanan dan kiri gue.
Lama kami semua hanya saling bergumul memuaskan hasrat masing-masing, sampai mata gue tertuju sama satu hal.
Kalau dipikir-pikir, club langganan gue memang ada di hotel, apa iya itu Za? Dia menginap disini maksudnya?
Gue berhenti dari segala aktifitas, menenggak beberapa botol beer gak bikin gue dengan mudahnya mabuk.
Langkah kaki gue mantapkan untuk menghampiri perempuan di ujung sana, rambutnya yang menjulur panjang nutupin wajahnya yang tertunduk.
"Za?" Ucap gue memulai obrolan, dia menengadah, matanya menyipit seperti mencoba menganalisis, "Bener Lo ternyata. Ngapain disini? Gue pikir Lo udah anti dateng ke tempat kayak gini."
"O! Sena Nilkensen?"
"Iyah gue Sena,"
Dia nunduk lagi sambil geleng-geleng kepala, rupanya dia mabuk.
"Lo selalu gak punya rasa takut, padahal Lo sendirian apa jadinya kalau cowok yang ngeliatin Lo terus, berani macem-macem?"
Za kembali geleng kepala, "Lo... yang paling berbahaya disini. Lo yang udah bikin gue gak perawan."
Gue diem beberapa saat, ngeliatin dia dengan seksama.
"Sex itu hal biasa, lagian Lo ngelakuin itu suka rela Za, gue gak pernah maksa Lo."
"Karena gue harus jadi nakal! Ngerti gak sih Lo?!"
"Apa?"
Wajah ngantuk dan perpaduan hampir ambruk dia perlihatkan tepat di muka gue,
"Pernah gak sih Lo ngerasa terpenjara padahal Lo lagi sama orang-orang yang Lo cintain? Pasti gak pernah."
Pada akhirnya gue mulai menjadi pendengar daripada nyoba untuk menyadarkan.
"Oh! Atau Lo selalu sulit nolak permintaan yang bahkan gak sesuai sama kehendak Lo? Ah, berat rasanya..."
Hm, jadi,
"Gue iri sama Lo, gak harus peduli kata orang gak harus ikut keinginan orang, jadi diri Lo sendiri yang bajingan tapi tetep punya muka sekalipun dibenci banyak orang." Za tiba-tiba ngangguk-ngangguk gak jelas, "Padahal gue cuman nakal sehari, tapi dosanya susah gue lupain sampe hari ini. Lo sendiri gimana? Pasti Lo gak peduli dunia sama seisianya kan?"
"Gue peduli, cara kita cuman berbeda."
"Pembohong."
Bruk!
Dia mungkin mabuk parah, badannya ambruk kepelukan gue.
Hah.
Beberapa perempuan ngeliatin kami, padahal ini hal biasa, mungkin karena Za asing disini. Gue gak punya pilihan, terpaksa gue bawa Za pergi.
Setengah jam berlalu, kami sampai di kamar. Tubuh Za gue taruh diatas kasur, sesekali dia masih ngigo, entah kenapa bikin gue justru pengen ketawa.
Tebakan gue pasti gak melesat, kalau Za gak terlalu kuat sama minuman beralkohol.
Gue buka sepatu sama tasnya, gue sendiri nanggalin jas dan dasi.
Sambil ngelepas jam tangan, gue lihatin Za yang mulai menghernyit kayak lagi mimpi buruk.
Perlahan gue mendekat.
"Za are you ok?"
"Bunda maafin aku," jawabnya masih ngigo, dia mulai nangis tanpa gue ngerti. Sejenak kalau gue inget kembali, rasa-rasanya bukan kah tadi Za lagi ngeluh tentang hidupnya, "Zayn! Jangan nakal!"
Atensi gue semakin tinggi sama nama Zayn disebut, gue usap halus pipi juga rambut Za bergantian.
"You save here, don't worry."
Lama kami diam dalam keheningan, sampai Za tiba-tiba membuka mata dan ngelihat gue.
"Hug me, i am so tired." Katanya, mulai menangis tanpa gue pahami.
Sungguh gue dalam posisi bingung, sisi dalam diri Za yang gak pernah gue temuin sepanjang kita kenal sukses bikin gue terkejut.
Memang, gue gak pernah mau mencari tahu apapun yang menyangkut partner semalam gue kecuali mereka berkahir jadi teman, tapi Za... akhir-akhir ini gue agak akan cukup kecewa saat gue tahu gue masih gak tahu apa apa tentang dia.
Gue penuhi keinginan Za, meluk dia yang bahkan sudah menunggu gue dengan kedua tangannya.
Nafas memburu dia perlahan hilang saat tubuh kami saling bertaut dalam dekapan, gue speechless rasanya gue kayak ngehadepin anak kecil tapi juga perempuan dewasa dalam satu waktu.
Sesekali gue usap punggungnya, ikut menenangkan dia dari mimpi buruk yang gak gue pahami. Semakin dia tenang semakin gue sadar, aroma dan tubuh kecil dia selalu pas dalam pelukan gue.
Pada akhirnya, sesuatu berkecamuk saat gue justru jatuh dalam rasa nyaman dan enggan mengakhiri pelukan diantara kami. Kontradiktif, sungguh.
s w i p e - u p
vote and comment yes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 Para pendosa. start; June, 08th 2019 fin; © cafami 2019