Chapter 19

5.9K 262 19
                                    

William POV

"Saya memohon bantuanmu," ujarku memelas.

"Jika kita menyerang mereka untuk mendapatkan putrimu dan ternyata putrimu tidak ada pada di sana?" tanyanya, "sia sia pasukanku jika harus membantumu."

"Dia pergi bersama Vegas Land dan membawa anakku," ungkapku dengan yakin.

"Aku tahu," singkatnya.

Kami sama-sama terdiam. Tak lama setelahnya pria kepercayaan gadis berjuluk Angel Hell itu menyerahkan map berwarna biru. Ia mulai melihat dan membacanya, membalik lembar demi lembar kertas yang ada.

"Kau belum pernah melihat putrimu?" tanyanya.

"Hanya satu kali. Ketika ibunya melahirkan." Aku mengingat kembali kenangan sebelum akhirnya kehilangan putriku.

"Kau ada dendam lain dengan Vegas Land?"

"Tidak," ucapku tak bersemangat. Aku cukup lelah dengan pencarian yang sudah ku lakukan sejak dulu. Aku hanya ingin putriku kembali.

"Tak usah menyerang mereka. Menetaplah di Indonesia jika ingin segera menemui putrimu. Karna putrimu ada di sini, tidak bersama mereka. Cukup beri tahu nama ibu dari putrimu dan usianya." Ia menutup map itu.

Hatiku menghangat mendengarnya. "Namanya Rusna umurnya sekitar 35 tahun," ungkapku penuh keyakinan.

Ia mengangguk memberi kode kepada bawahannya agar segera pergi. Mungkin mencari informasi tentang wanita jahat itu.

"Jangan bertindak gegabah jika kau benar-benar ingin bertemu dengan putrimu. Ikuti perintahku," ancamnya. Gadis itu sangat serius, jika dia bukanlah orang yang ku andalkan saat ini, aku tentu akan meremehkan perkataannya.

"Siapa namamu, Angel?" tanyaku sedari tadi penasaran.

Ia kembali tersenyum miring. Sangat menyebalkan tapi aku tidak ada waktu untuk menggerutu tentang itu.

Ia merogoh kolong mejanya, mengeluarkan papan nama berbentuk segitiga yang biasanya diletakkan dimeja.

Meletakkannya dengan sangat santai dan kembali bersikap selayaknya bos-berkuasa dan seenaknya.

Aku mulai membaca tulisan disana.

"Marcellia Disa Gewaki. The Leader of Eagle Hell."

Tiba-tiba terbukalah tembok yang berada di depanku. Memperlihatkan mural indah bergambar logo mereka yang sudah tersebar keseluruhan dunia. Juga tulisan Eagle Hell yang sangat cantik.

Dia menaikkan sebelah alisnya. Memandangku sombong. Aku masih memahan diri walaupun sangat kesal dengan sikapnya.

"Pertemuan selesai. Kau bisa datang lain kali," usirnya.

"Bukankah terlalu cepat? Kita masih bisa berbincang dan menjadi teman," saranku walaupun hanya sekadar basa-basi.

"Teman?" ulangnya terkekeh.

"Aku tak pernah punya teman," balasnya dengan santai.

"Kau tak bisa hidup tanpa teman," ujarku kembali mengeluarkan omong kosong.

"Mereka semua keluargaku. Keluarga besarku. Aku punya mereka. Aku tak butuh teman," ujarnya sambil melihat kearah para anggotanya.

"Selayaknya angin, keluarga juga seperti itu. Teman sangat rentan berubah menjadi topan."

Damn, gadis itu sepertinya sangat senang membuat orang berpikir. Aku memilih mengabaikan kalimatnya. Memperhatikan langkahnya keluar dari ruangan.

RAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang