Chapter 68

4.1K 240 8
                                    

Biasakan vote terlebih dahulu
Mohon diingatkan jika ada typo atau semacamnya
Happy Reading

-oOo-

Satu minggu berlalu, keadaan sudah membaik. Tidak ada lagi ketegangan dan kegelisahan. Semuanya kembali berjalan seperti biasa. Begitupun dengan kehidupan Diva. Kembali bersekolah, mengikuti ekstrakurikuler, dan les bahasa.

William teramat senang ketika anaknya berpinta ingin belajar bahasa spanyol. Dengan segera ia mencarikan guru bahasa yang cocok untuk Diva. Beberapa hari yang lalu juga ia dan Diva melakukan video call dengan Charles Jorge dan Emma Jorge yang tak lain orangtua William. Setelah satu jam mereka berbincang akhirnya panggilan diakhiri. Dan disaat itu juga Diva mengatakan ingin belajar bahasa spanyol agar lebih enak berbincang dengan kakek dan neneknya.

Pagi ini dengan segala pikiran yang mengusik kepala Diva ia berangkat ke sekolah. Tentu dengan ojek pribadi yang setia menjemput dan mengantar kemana pun ia mau.

“Pa, Diva berangkat dulu,” pamitnya sambil menyalimi William.

“Ngomong sama Alaska biar hati-hati,” pinta William.

Diva lantas mengangguk. “Iya, Pa,” jawabnya.

“Hari ini Papa pergi ke Surabaya, ada beberapa urusan. Mungkin pulangnya malam, kamu mau dibelikan apa?” tanya William sekaligus berpamitan.

Diva berpikir sejenak. “Um ... enggak usah, Pa,” katanya.

“Beneran?” tanya William meyakinkan Diva.

“Iya, Papa,” jengah Diva.

“Ya udah kalau gitu. Belajar yang benar ya. Jangan kehasut sama Aya, okay?” pinta William.

Diva tertawa renyah. William memang tampak sudah mengerti bagaimana sifat Aya maupun Meisya. Aya adalah gadis bar-bar sedangkan Meisya, gadis kelewat kalem dengan pandangan datar namun tajam. Jika dibandingkan antara ketiga gadid itu, Diva paling normal. Kalem iya, bar-bar kadang, toxic kadang, bacot kadang.

“Papa apaan sih. Dia temen aku ya!” bela Diva masih dengan tawanya.

“Iya temen. Temen sesat, setiap hari ngajak bolos,” sungut William.

Diva menggeleng pelan sambil tertawa. Habis sudah Aya, dia tidak punya muka lagi di depan Papa Will. Gadis itu memang sudah tidak peduli omongan orang. Mungkin jika ia seorang seniman ataupun sutradara, ia tidak peduli dengan kritik dari kritikus. Yang penting bikin karya pikir Aya mungkin.

“Bye bye, Assalamualaikum,” kata Diva sambil berlari kecil keluar rumah.

Di halaman depan sudah ada Alaska dengan motor ninja hitam. Dengan santai Diva menghampiri Alaska. Sedangkan lelaki itu memandang Diva lekat dengan kaki yang menghentak kecil di lantai cor.

“Pacar aku udah mulai berani telat nih?” sindir Alaska.

Diva yang tidak mengerti hanya mengerutkan dahi. “Maksudnya?” bingung Diva.

“Coba liat jam? Sekarang jam berapa?”

Dengan segera Diva mengangkat tangan kirinya dimana jam melingkari tangannya. 6.50 AM.

“Hehehe, ya udah ayo jalan. Nanti malah terlambat beneran,” ajak Diva sambil berjalan ke belakang motor Alaska.

Alaska menaiki motor dan menghidupkannya. Diva berpegangan pada pundak Alaska ketika ingin menaiki motor yang tinggi itu. Setelah dirasa sudah, Alaska melajukan motornya meninggalkan kawasan rumah.

Pintu gerbang SMK Barsel tampak sudah hampir ditutup, kurang lebih jarak satu meter antara satu gerbang dengan gerbang lain. Diva segera turun dengan tergesa dan Alaska dengan cekatan melepas helm dan berteriak pada Mang Ari agar mengamankan motornya. Lelaki itu bergegas menghampiri Diva yang sudah di pinggir jalan.

RAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang