Dengan lihai Diva menyemprotkan cat di tembok yang tingginya sekitar 2 meter itu. Kedua tangannya juga dibalut sarung tangan.
Bajunya tak luput dari warna. Begitupun dengan William, kemeja putih yang semula bersih kini bercampur warna warni dengan bagian punggung yang disempot emoji smile berwarna hitam oleh Diva.
Diliriknya jam di lengan kirinya, pukul 08.45 WIB. Kembali dirinya fokus pada mural yang ia buat bersama William.
“Om, sepertinya aku tak punya cukup waktu,” ujar Diva melepas maskernya.
“Kau ada urusan?” tanya William menghentikan semprotan pada salah satu titik.
“Alaska akan pulang limabelas menit lagi. Aku harus ada di rumah dalam limabelas menit,” jelas Diva.
“Ya ... akan ku teruskan ini. Aku akan mengirim hasilnya padamu.” William menyodorkan ponselnya. “Aku butuh nomormu,” ujarnya.
Diva mengetikan nomornya di kontak William lalu menyerahkan kembali ponsel mahal itu.
“Aku duluan, Bye bye!” serunya menjauh sambil berjalan mundur.
“Hati-hati, Girl!” balas William sambil melambai pada Diva.
Mata teduh William melirik toples keripik yang sudah tandas. “Bocah itu banyak makan ternyata,” kekehnya lalu kembali menutup hidungnya dengan masker dan kembali menyemprotkan pilok pada tembok.
-oOo-
Memasuki halaman rumah keluarga Franco, terlihat mobil sedan Alaska sudah terparkir disana.
Jam di pergelangan tangan Diva menunjukan pukul sembilan lewat tiga menit. Diva hanya tiga menit lebih lambat dari Alaska.
Tangannya meraih kantong plastik berisi tiga kotak macaroon yang ia beli di kafe favoritnya.
Di ruang tamu tidak terlihat siapapun. Diva berjalan menuju kamar tamu, dimana barang-barannya diletakkan.
Baru saja akan beranjak ke kamar mandi, panggilan Alaska membuatnya menoleh ke arah pintu.
“Raya,” panggil Alaska mengetuk pintu.
“Iya, Al,” sahutnya berjalan membuka pintu.
“Dari mana?” tanya si dingin itu.
“Kamu masuk dulu aja. Aku kebelet.” Detik berikutnya Diva berlari dengan hati-hati ke kamar mandi.
Alaska duduk di ranjang. Mengambil ponsel Diva yang tergeletak lalu memainkannya.
Dengan santai Diva keluar kamar mandi. Menghampiri Alaska dan duduk di sampingnya.
“Kenapa?” tanya Diva.
“Dari mana? Katanya mau hangout,” balas Alaska.
“Nggak jadi, akunya males.” Diva bangkit untuk meraih kantong plastik tadi yang ia letakan di meja.
“Macaroon.” Menaruhnya di pangkuan Alaska.
Ia mengeluarkan satu kotak lalu membukannya dan memakan macaroon itu dengan santai.
Sedangkan Alaska hanya memandang gadisnya yang sedang memakan macaroon itu. Pikirannya dipenuhi dengan hubungan Diva dan William. Saat try out pun dirinya hanya membaca sekilas soalnya lalu mengklik salah satu jawaban tanpa memahami terlebih dahulu.
“Kamu kenal sama Mr.William?” tanya Alaska.
Disuapan terakhir Diva berhenti sebentar lalu memandang ke atas seperti menerawang kemudian melanjutkan kembali kunyahannya sambil mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAYA [END]
Teen FictionTrauma masa lalu dan faktor lingkungan membuat Diva mengalami depresi diumurnya yang masih belia, hingga membuat jiwa lain hidup di dalamnya. Semakin beranjak, semakin banyak fakta yang baru diungkap. Semakin banyak masalah dan semakin banyak skand...