Matahari berganti bulan, malam ini bintang tak terlalu tampak menemani sang bulan. Diva berdiri di balkon kamarnya memandang taman belakang yang dihiasi lampu-lampu dengan latar belakang danau buatan.
Saat ini Diva berada di rumah William. Malam ini dan mungkin seterusnya ia akan tinggal di rumah minimalis ini. Setelah melalui debat panjang sore tadi akhirnya karena dibujuk Gio, Diva mau tinggal disini.
“Raya.”
Diva menoleh mendengar suara itu. William berjalan ke arahnya dengan memasukan kedua tangannya ke saku celana. Tubuh kekarnya dibalut kaos hitam memperlihatkan otot bisep dan dadanya yang membidang. Diva bahkan menerka umur berapa ayah kandungnya itu.
“Nyaman gak rumahnya?” tanya William bersandar di tepi pagar balkon. Tangannya melipat di dada, memandang Diva lembut.
“Nyaman kok. Tapi kamarnya kayanya kebesaran deh, Pa.” Diva memperhatikan kamarnya yang dua kali lebih luas dari kamarnya yang dulu. Balkonnya pun sangat luas, bisa diisi sofa, meja dan beberapa tanaman hias. Sangat nyaman dijadikan tempat nongkrong bersama teman-temannya.
“Yang penting kamu nyaman, kan?”
Diva mengangguk membenarkan. Tapi dia belum terbiasa dengan gaya hidup William yang mewah.
Suara bel membuat mereka saling berpandangan. Diva ingin beranjak namun William mencegahnya. Jadilah pria itu yang berjalan ke arah pintu kamar Diva.
William membawa dua buku album yang terlihat sedikit usang. Mengajak Diva untuk duduk di sofa yang ada di balkon. William mulai membuka album itu. Di lembar pertama tampak warna kertas yang sudah menguning.
Diva terpaku melihat senyum seorang anak kecil di album itu. Senyumnya sangat mirip dengannya. Rambutnya sedikit coklat dibiarkan tergerai ditambah poni yang menutupi kening membuat anak itu terlihat lucu.
“Dia mama kamu,” kata William. Jari kekarnya membelai foto itu dengan pelan. Matanya sangat memuja ditambah lengkungan senyum tipis yang menawan.
Diva bisa melihat ada kekecewaan di raut wajah papanya itu.
“Lucu,” timpal Diva tersenyum melihat foto itu lagi kemudian memandang William.
“Nama mama siapa, Pa?” tanya Diva penasaran.
“Rachel. Rachellia Smith,” jawab William.
“Mama kamu dulu aktif banget. Dia suka main di dekat danau di belakang rumahnya.” Tangan kekar itu membalik halaman album.
“Kalo dicari di rumah enggak ada, berarti dia duduk di atas pohon di dekat danau sambil makan remah roti. Katanya jagain danau biar gak ada yang mancing di sana.” William terkekeh diakhir kalimatnya begitupun Diva. Hanya dengan membayangkan saja sudah membuat Diva tertawa geli.
“Papa dari kecil dekat sama mama?” tanya Diva penasaran.
“Papa sama mama kamu beda empat tahun. Keluarga Papa dekat sama keluarga mama kamu. Bahkan pas mama kamu lahir, Papa orang ketiga yang gendong dia setelah ayah dan ibunya. Padahal waktu itu papa nggak kuat-kuat banget gendong bayi.
“Papa dari kecil selalu sama Rachel. Lihat dan mengamati tingkah dan kebiasaan Rachel, kami tumbuh bersama. Dari situ Papa protektiv sama mama kamu. Dia bahkan gak Papa biarin buat pacaran sebelum lulus sekolah. Papa sayang banget sama dia, bahkan cinta dari dulu. Cuma, Papa takut buat ngungkapin perasaannya. Ada waktu kami bicara tentang hati, Papa ngerti kalau Rachel juga cinta sama Papa. Hanya saja dia menyangkal karena perbedaan umur kami yang menurutnya seperti kakak adik.”
“Papa tidur sama banyak wanita, itu bikin Rachel sakit hati tapi selalu dia tutupi. Dia selalu marah-marah ketika lihat Papa pulang dalam keadaan mabuk. Gitu aja Papa udah seneng banget, Raya. Papa mikir mungkin akan ada waktunya buat yakinin mama kamu lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAYA [END]
Teen FictionTrauma masa lalu dan faktor lingkungan membuat Diva mengalami depresi diumurnya yang masih belia, hingga membuat jiwa lain hidup di dalamnya. Semakin beranjak, semakin banyak fakta yang baru diungkap. Semakin banyak masalah dan semakin banyak skand...