“Apakah ada rapat?” Gadis cantik berdiri di depan pintu sambil tersenyum miring.
Semua menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar.
Disa melangkah masuk dengan santai. Memilih bersender di salah satu meja dengan tangan menekuk di dada.
Mereka diam. Tahu siapa yang ada dihadapan mereka ini.
Matanya melirik sekilas berkas-berkas dan tampilan layar laptop yang ada di meja meeting. Tak lama ia melirik Jack, pria itu hanya mengalihkan pandangan dengan raut wajah takut.
“Kau sangat keras kepala,” ujar Disa pada William. Pandangannya fokus pada CEO terkenal itu. “Kau hanya perlu mengikuti permainanku, tikus bodoh itu akan dengan mudah tau siapa Diva dan dimana dia jika kau bertindak seolah melindungi,” lanjutnya dengan nada tak suka.
“Aku tau kau mencemaskan putrimu, tapi berpikirlah seribu kali sebelum melakukan suatu hal.”
“Sekarang kau berusaha mencaritahu anak buahku? Untuk apa? Adakah itu akan menguntungkanmu?” tanya Disa dengan alis terangkat.
“Kau hanya perlu mengawasi Diva lewat anak buahmu yang kau suruh. Jangan bertindak gegabah jika tak ingin tikus itu maju selangkah,” kata Disa.
“Dan kalian,” ujarnya melirik semua guru kesiswaan. “Cukup perhatikan Diva layaknya murid kalian yang lain. Jangan katakan apapun pada guru lain,” lanjutnya.
“Kau juga, Dis,” sahut William. Membuat Disa meliriknya. “Jangan memancing perhatian dengan tingkah berbahaya, jangan membuat Diva terasa disegani karena ulahmu,” tutur William.
Disa terdiam. Percayalah dalam hatinya ia sangat lemah jika harus memikirkan Diva. Ia tak tega membuat adiknya itu merasa tersiksa.
“Sudahi ini semua. Kalian kembalilah mengajar,” suruh Disa, “dan kalian berempat ikut bersamaku.”
Segera mereka membereskan berkas dan laptop.
Disa keluar diikuti Jack. William menghela nafas, menggeleng pelan lalu ikut keluar bersama Sam dan Wier.
Mereka meninggalkan sekolah. Menuju markas Eagle Hell.
Sesampainya disana, Disa langsung bergerak menuju lapangan yang dikelilingi tembok beton tinggi. Para penjaga membuka pintu yang terbuat dari besi baja itu lalu mempersilakan mereka masuk.
Disana sudah ada 15 orang tertidur terlentang tanpa menggunakan atasan membuat punggung mereka langsung bersentuhan dengan lantai cor-cor an yang panas.
“Kau sudah selidiki latar belakang mereka?” tanya Disa pada Yosi yang sudah ada disana.
Yosi mendekat ke arah Disa. Mengajaknya untuk duduk di tenda di ujung lapangan.
“Ada beberapa kerabat mereka yang berprofesi sebagai polisi. Aku belum merekrutnya, tapi ia mantan narapidana. Sangat mulus ketika ia bekerja sebagai bandar selama puluhan tahun,” jelas Yosi.
“Polisi,” kata Disa.
“Jika kau tak ingin mengambil resiko, kita tak akan menerimanya,” tutur Yosi.
“Tak apa ... biarkan saja, ambil dia. Urusan polisi, kita bisa menanganinya jika diantara mereka tertangkap,” utusnya.
“Kau yakin? Selama ini kau selalu menolak keras jika ada calon anggota yang mempunyai kerabat polisi atau pihak berwajib lainnya,” bingung Yosi.
“Aku ingin sedikit pengalaman baru,” sahut Disa.
Tak lama muncul dua orang gadis cantik dari gerbang lapangan membuat mereka menoleh. Kedua gadis itu mendekat ke tenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAYA [END]
Teen FictionTrauma masa lalu dan faktor lingkungan membuat Diva mengalami depresi diumurnya yang masih belia, hingga membuat jiwa lain hidup di dalamnya. Semakin beranjak, semakin banyak fakta yang baru diungkap. Semakin banyak masalah dan semakin banyak skand...