Chapter 44

4.4K 204 7
                                    

Sudah satu minggu SMK Barsel tidak ada kegiatan pembelajaran karena diisi untuk acara diesnatalis.

Berbagai acara disuguhkan, mulai hari Senin dengan lomba hias tumpeng. Hari Selasa diisi lomba pensi dari masing-masing jurusan per angkatan mulai kelas sepuluh hingga duabelas. Hari Rabu lomba mural bertema go green dan anti-narkoba. Hari Kamis pensi dari berbagai ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Hari jumat lomba sepak takraw.

Hari Sabtu puncak acara Diesnatalis, mengadakan jalan sehat lalu diisi dangdutan, diselingi dengan pengundian kupon hadiah dan lomba tradisional seperti balap karung dan kelereng yang dilakukan oleh guru. Tingkah lucu mereka membuat murid tertawa meskipun kadang terselip rasa tidak hormat menertawakan gurunya sendiri. Tapi kapan lagi bisa melihat para guru berlomba seperti ini?

Hingga akhir acara sore hari smoke boom dinyalakan membuat lapangan SMK Barsel dipenuhi warna warni. Belum lagi sorak sorai dan goyangan para pemuda pemudi yang menikmati alunan musik dangdut koplo menambah ceria suasana.

Hari senin kembali mereka masuk sekolah. Masih terasa euphoria diesnatalis kemarin lusa. Melihat mural yang tergambar dibeberapa sudut sekolah membuat sekolah terasa lebih hidup, tidak flop.

Murid-murid juga terkadang berhenti sebentar hanya untuk melihat dan memandang mural karya masing-masing kelas. Tak memandang jelek atau bagus, yang terpenting senyum ceria tercetak di wajah mereka.

kini setiap menoleh di keluar kelas, bukan hanya dinding kelas lain yang polos tapi karya mural yang membuat mata tidak jenuh memandang.

“Eh, videonya gimana? Udah diedit?” tanya Septa.

“Tanya Diva coba, kemarin kan pake kamera dia semua,” jawab Vero yang sedang fokus mengatur kunci gitarnya.

Entah gurunya yang terlalu lelah karena event kemarin atau memang tidak ada kegiatan pembelajaran, beberapa kelas jam kosong.

“Div, videonya udah?” tanya Septa.

“Udah. Kalo mau di edit ditambahin efek-efek juga boleh.” Tangannya menggeledah tasnya mencari flash disk.

“Coba lo liat, kalo emang kurang waw, lo tambahin efek-efek gitu.” Septa menerima flash disk itu lalu duduk di belakang meja Diva.

Memang jika soal edit mengedit Septa sangat pandai. Dia juga suka memotret. Hobinya yang satu ini tidak diragukan lagi. Di instagramnya, hampir semua foto pemandangan, objek, ataupun foto dirinya semua hasilnya bagus. Ya walaupun tidak sebagus photographer profesional.

“Bro,” sapa Raka membawa dua kaleng minuman dingin dan duduk di samping Septa.

“Kagak ada takutnya lo ke kantin,” sahut Septa tanpa menoleh.

Raka hanya tertawa renyah. “Hahha kayak nggak tau gue aja lo.”

“Keknya bakal free sampe pulang deh,” ujar Raka.

Septa menoleh sebentar. “Tau gitu kagak usah masuk tadi,” ujarnya.

“Emang ya ... kesiswaan itu sayang banget sama kita, maunya kita masuk terus. Apa nggak bosen ya lihat muka muridnya yang gini-gini aja,” tandas Raka membuat Septa memandangnya lama.

Kepala Septa menggeleng. “Kagak tau. Mungkin mereka sayang sama kita,” jawabnya ngawur. Kembali fokus ke HP nya—mengedit video.

“So sweet ya ... nggak kaya cewek. Sok jual mahal. Bilangnya nggak kangen padahal kangen,” pungkas Raka.

Diva yang mendengar percakapan dua sahabat itu hanya bisa menahan tawa dan menggeleng pelan. Raka bener-bener nggak ada akhlak batinnya.

-oOo-

RAYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang