Duduk di rooftop, menyandarkan bahu kirinya di tembok gudang dengan kaki menjuntai ke bawah di bagian pinggir rooftop. Tak ada pembatas seperti pagar besi ataupun kayu untuk membatasi rooftop, setidaknya untuk mengantisipasi jika ada yang terpeleset atau kejadian apapun yang tidak diinginkan hingga jatuh dari lantai atas. Menikmati semilir angin yang berhempus tak terlalu kencang, hanya memberikan kesan lewat saja.
Alas
Batin Diva selalu mengucapkan kata itu. Pikirannyapun terfokus pada lelaki bernama Alaska De Franco.
Memejamkan matanya berusaha menenangkan pikiran dan moodnya. Diva menggerayahi bagian depan pahanya mencari ponsel. Ia teringat jika tadi semua ponsel mereka ada di mejanya termasuk ponselnya sendiri.
Hari ini hari apa?
“Ada yang spesial emang?” lirih Diva.
“Hari apasih?!” gemas Diva, “Rabu kan?!”
Diva memukul dinding itu. Hatinya masih dengan suasana yang sama. Kacau, gelisah.
“Ini gue kenapa, sih?!” rancaunya bingung.
Helahan nafas terdengar sangat dibarengi usapan kasar di wajahnya.
Teringat kertas kosong dan notes yang ditulis Alaska, Diva segera bangkit. Membersihkan roknya dari kotoran dan debu yang menempel dan turun dari sana.
Tujuan Diva saat ini kantin. Cacing di perutnya dengan rakus memakan makanan yang sudah Diva berikan tapi masih saja menggigiti usus-usus Diva.
-oOo-
02.55
Lia melirik jamnya dengan pandangan penuh cemas dan bingung.
“Ini Diva kemana?!”
“Bentar lagi pulang. Kemana coba?! Yakali Diva bolos?!” rancau Imel menghentakkan kaki kanannya kesal.
“Kantin mungkin. Diva kalo habis marah gitu biasanya kan suka laper,” ucap Raka.
“Gue juga gitu,” sahut Vero.
“Ga nanya!” jawab Imel, Lia, Septa, Tama, dan Raka barengan.
“Sekedar info. Kamu harus tahu nggak pakek tagar,” balas Vero menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri dengan cepat seperti mengucapkan bye bye, tapi ini artinya tidak.
“Nggak ada untungnya juga sih buat gue,” ujar Lia mengendikkan bahunya.
“Lo mah mau habis marah ato habis ngapainpun pasti ke kantin. Orang pas makan kebelet beol setelah itu makan lagi,” jelas Septa terkekeh.
“Hahaha dasar dikampret!” tawa Imel sekejap. Dikampret? Julukan Vero. Vero Dika Pradiba, dipanggil Dikampret.
“Yeee! Liliput kenyih!” Vero membalas Lia.
“Diem cot!” Lia memelototi Vero berusaha menakuti. Dipikir si Vero takut apa sama dia!
“Si Kenyih! Ati-ati nanti matanya keluar,” canda Raka.
Lia semakin kesal sehingga semakin lebar ia melotot. “Biarin! Biar lari ngejer-ngejer elo!”
Diva datang dengan wajah masih lesuh. Memandang temannya satu persatu.
“Sorry,” katanya.
“Gue lagi nggak mood aja. Nggak tau kenapa. Pengennya marah terus,” ucap Diva sedikit melirih.
“I-iya kita tau kok,” sahut Imel.
“Kalo ada masalah jangan sungkan buat cerita sama kita. Kita siap dengerin cerita lo,” ujar Lia bijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAYA [END]
Teen FictionTrauma masa lalu dan faktor lingkungan membuat Diva mengalami depresi diumurnya yang masih belia, hingga membuat jiwa lain hidup di dalamnya. Semakin beranjak, semakin banyak fakta yang baru diungkap. Semakin banyak masalah dan semakin banyak skand...