78

4.1K 293 55
                                    


Laksana malam yang dingin hingga masuk kedalam tulang dan menembus kerelung hati. Mau dikata seperti apapun, dalamnya hati manusia tidak ada yang pernah tahu. Sedalam samudera sejauh jalan raya setinggi menara yang nampak dibumi. 

Bibir bisa menolak saat tawaran begitu menggiyurkan tapi hati akan tetap mengiyakan meskipun tak terdengar. Terlalu rumit jika semua hal disangkut pautkan dengan rasa, semua terasa menyesakkan jika mengingat memori terburuk sepanjang hidup.

Apa yang tengah dirasakan Stevani? Mengapa begitu sulit membuatnya mengiyakan permintaan Marvel? Mereka masih berstatus suami istri secara hukum. Tentu akan sangat mudah jika jawaban iya terucap saat permintaan kembali ia terima. 

Marvel masih setia menunggunya selama setahun, tidaklah mudah bagi seorang pria hanya menunggu 1 wanita yang bisa saja sudah melupakannya. Apa cinta memang semembutakan mata dan hati manusia?

"Stevani sayang, menantu kesayang Mom," seru Reta kala baru saja Stevani membuka pintu.

Mata Stevani melebar saat melihat begitu banyak orang berada di teras rumahnya. Seluruh keluarga Marvel sepertinya memang sengaja datang untuk membujuk 1 wanita saja. 

Jangan salahkan Marvin yang memang sudah memesankan tiket untuk kedua orang tuanya. Pria satu itu memang suka membuat masalah dengan Stevani, seperti situasi saat ini. Tatapan tajam Stevani tertuju pada Marvin yang hanya cengar-cengir tidak jelas.

Reta mengurai pelukannya, "Mom kangen sekali Van, tega sekali kamu," protesnya, "Apa kabar kamu sayang?" lanjut Reta membelai lembut rambut Stevani.

Stevani tersenyum, "Maaf Mom, Vani baik-baik saja. Mom Dad apa kabar?" tanyanya menatap Reta dan Thomas bergantian.

"Kami baik-baik saja sayang seperti yang kamu lihat sekarang," jawab Reta yang diangguki oleh Thomas dengan senyumnya.

"Masuk dulu Van," suara Marvel mengintrupsi setelah diamnya.

"Ayo Mom Dad masuk dulu," persilahkan Stevani. Reta mengangguk menoleh ke arah suaminya mengajak masuk bersama.

"Kami boleh masuk kan Kak Van?" tanya Marvin seolah tak terjadi apa-apa.

"Masuk aja kalau mau," jawab Stevani dingin lalu melanjutkan lagi langkahnya diikuti Reta dan Thomas.

"Ayo masuk," ajak Marvel berjalan lebih dulu.

Disinilah mereka duduk di kursi dengan ketebalan spons yang begitu tipis. Tapi seolah itu tidak menjadi alasan mereka untuk bersikap tidak nyaman. Reta tengah menggendong cucu pertamanya, senyum mengembang pada 2 insan yang tak lagi muda itu. Orang tua manapun akan bahagia saat anak mereka sudah memiliki garis keturunan yang artinya silsilah keluarga mereka akan terus berlanjut.

Stevani sedang berada didapur menyiapkan minuman untuk para tamu yang sudah memenuhi ruang tamu rumahnya yang tidak besar itu. Ada segelintir rasa sesak saat kedua orang tua Marvel datang kerumahnya pagi ini, tidak pernah disangka bahwa mereka akan datang secepat ini setelah Marvel. Tak bisa di pungkiri jauh didalam relung hati yang paling dasar ia juga bahagia karena putra kecilnya bisa bertemu dengan Ayah dan juga Kakek Neneknya.

"Maaf sudah membawa Mom Dad kemari," suara Marvel membuyarkan lamunan Stevani.

Stevani mengatur nafasnya, berbalik. "Tidak apa-apa, Bisa minta bantuanmu?" tanyanya.

Marvel mengangkat kedua alisnya, "Bantuan?" Stevani mengangguk.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Marvel.

Apakah ini suatu hal baik? Stevani meminta bantuan Marvel adalah sesuatu yang langka setelah beberapa jam yang lalu dingin sikap perempuan itu. Hanya bahagia yang diharapkan dari kisah panjang yang hingga saat ini masih terlalu rumit diantara mereka.

"Tolong bawakan minuman ini ke luar, aku bawa makanan riangannya." Jawab Stevani sambil menyerahkan nampan berisi 4 kopi dan 1 sirup. Marvel mengangguk patuh dan mengambil ahli.

"Oh ya," ucapan Stevani menghentikan langkah Marvel. Menoleh ke belakang.

"Bisa antarkan aku setelah ini?" tanya Stevani sedikit ragu.

Rasanya seperti memenangkan tender milyaran atau bahkan lebih. Dalam hati Marvel ingin berlari dan memeluk wanita yang bertingkah malu-malu didepannya saat ini. Jangan, tetap harus stay cool sampai wanita ini mengatakan ingin diantar kemana.

"Mau diantar kemana Van?" tanya Marvel berusaha menormalkan suaranya. Kalau kalian bisa dengar saat ini detak jantung pria bodoh ini sungguh cepat dan tidak beraturan.

"Bahan-bahan di kulkas sudah habis Vel. Sedangkan aku mau masak untuk makan malam."

"Bagaimana jika kita pesan makanan cepat saji?" tawar Marvel agar terlihat normal. Sesungguhnya ia sangat senang mendapatkan tawaran untuk mengantarnya sang istri. Tapi jawaban iya sepertinya terlalu cepat.

"Tapi aku tidak ingin makanan cepat saji di sajikan untuk makan malam kita Vel." Jawab Stevani dengan hembusan nafas.

Ow sebuah kata 'kita' membuat senyum tipis terbit di sudut bibir Marvel. Mungkin terlihat sepele, tapi arti dari kita lebih dari sekedar aku dan kamu. Ada makna dimana menunjukkan bahwa aku dan kamu akan melakukan hal yang sama.

"Apa makan diluar saja?" tawar Marvel lagi. Stevani menggelengkan kepalanya.

"Baiklah, mau diantar sekarang atau kapan?" tanya Marvel memastikan.

Stevani menatap pria didepannya lekat, "Setelah mengantar camilan dan minuman ini kita berangkat," jawabnya. Tersenyum.

Marvel mengangguk, "Baiklah."

Biarkan semua berjalan semestinya, seharusnya dan sejadinya. Jangan memaksakan semua hal sesuai keinginan diri. Suatu hal yang dipaksakan terkadang tidak berjalan dengan baik bahkan bisa berakhir lebih buruk. Jika hari itu Marvel dan Stevani memaksakan untuk bersama, mungkinkah hubungan mereka akan baik-baik saja? Ahli-ahli merasa bahagia seolah tidak terjadi apa-apa, bisa saja malah hubungan mereka akan selalu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan dari Stevani yang masih belum sepenuhnya mempercayai Marvel.

Semua orang membutuhkan waktu untuk melupakan suatu kejadian yang menyakitikan. Proses penyembuhan dari luka tidaklah mudah, ada tahap-tahap dimana semua akan terasa lebih menyakitkan. Waktu yang akan menjadikannya lebih baik, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan agar luka itu menutup dengan sempurna.

Jangan tanya apakah Stevani sudah lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu. Anggap saja satu tahun sangat cukup untuk proses penyembuhan luka itu. Hanya Stevani yang tahu tentang bagaimana perasaannya saat ini.

"Apa kamu tidak ingin berziarah ke makam Papa Mama Van?" tanya Marvel memecah keheningan.

Saat ini mereka sedang berada di mobil. Perjalanan menuju supermarket.

Stevani melirik Marvel sekilas, "Ingin. Sekali."

"Kamu mau mengantarku berziarah ke makam Mama dan Papa?" tanya Stevani.

Marvel menoleh menatap Stevani dengan alis saling bertautan, "Aku tidak salah dengar?"

"Tidak mau mengantarku?"

"Tentu mau." Jawab Marvel cepat.

"Baiklah, saat Mom Dad pulang ke Jakarta aku akan ikut." Ucap Stevani dengan anggukan kepala

Marvel mengerjap saat mendengar ucapan Stevani, "Kamu serius akan ikut kami pulang? Maksudku ikut bersamaku dan aku antar berziarah?" tanyanya.

Stevani tersenyum menoleh ke arah Marvel. Mengangguk setelahnya.

"Apa kamu sedang sakit Van? Atau salah makan gitu?" tanya Marvel heran.

Stevani tertawa melihat ekspresi heran Marvel, "Aku tidak sedang sakit atau salah makan. Kamu ada-ada aja deh Vel, fokus nyetir saja." Jawabnya dengan cekikan.

Marvel menoleh kearah Stevani, menatap lekat penuh arti perempuan yang tengah tertawa. Semoga esok dan esok lagi aku bisa melihat tawamu di sepanjang hariku dan mengisi celah kosong yang telah kamu tinggalkan cukup lama Van, aku harap.

Perjalanan menuju supermarket seperti sedang menonton adegan romantic dari sang tokoh utama yang sudah lama tidak pernah bertemu, canggung tapi mengharukan. Semoga.

MARRIAGE CONTRACTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang