Ending

5K 251 50
                                    


"Americano anda sudah siap Nona. Selamat menikmati,"

Selalu seperti setiap akhir pekan. Café dipenuhi dengan hiruk pikuk pengunjung. Mereka datang sendiri atau bersama keluarganya. Bersama dengan pasangan mereka duduk santai setelah selama satu minggu disibukkan dengan urusan dunia.

"Kamu tahu besok aku ada ujian matematika," pekik remaja dengan suara lantangnya.

"Oh kemaren itu benar-benar membosankan. Aku sungguh lelah," seru suara lain.

Suara itu saling menyahut memenuhi café ini. Wanita berparas cantik dengan peluh didahinya terus melayani pembeli yang masih antri panjang di cafenya.

"Ini Tuan Tai Teanya. Selamat menikmati semoga hari anda menyenangkan," persilahkannya pada pembeli terakhir.

"Ah lelahnya," eluhnya dengan helaan nafas lega.

"Kenapa hari ini ramai sekali Din? Sampai aku harus turun tangan," ucap wanita itu pada teman disebelahnya.

"Entahlah Lun. Padahal akhir pekan sebelumnya tidak seramai ini. Apa mereka baru saja mendapatkan banyak rezeki hingga datang kemari,"

"Seorang owner memang harus turun tangan bukan?" ketus suara bas memaskui patry dari arah belakang.

Dua wanita itu memutar bola matanya malas. "Jangan dengarkan dia Lun. Akhir pekan memang membuat otaknya sedikit tidak beres,"

"Kamu sudah mencuci semuanya?"

"Sudah Ibu Alluna Mahetta. Semua sudah bersih mengkilap,"

"Lihatlah Dinda. Temanmu Aldi ini sungguh membuatku ingin memecatnya," canda Alluna.

"Pecat saja Lun, toh tenaganya tidak terlalu dibutuhkan disini."

Aldi menatap dua wanita didepannya dengan tatapan memelas. "Oh janganlah pecat aku. Kalian sangat membutuhkanku saat malam harinya," mohonnya.

Dua wanita itu tertawa melihat ekspresi satu-satunya pria yang bekerja di cafenya. Mereka adalah sahabat karib semasa SMA. Café ini adalah milik Alluna, Mahetta Café namanya. Sudah berdiri sejak setahun belakang ini karena kecintaan Alluna dengan Kopi.

"Apa kita langsung pulang ke Hotel Tuan?" tanya Glen.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah acara di Mansion Marvel selesai. Acara tujuh bulanan Stevani berjalan dengan lancer dari awal hingga akhir. Daniel berpamitan setelah seluruh kerabat Marvel pulang.

"Terimakasih sudah mengundangku kemari," ucap Daniel.

"Seringlah kemari Niel. Ayahmu dan aku berteman dekat dari dulu. Kalian juga adalah sahabat juga," balas Thomas.

"Sering-seringlah datang kemari Nak. Kamu sudah kami anggap anak Daniel," ucap Reta memeluk Daniel.

Daniel membalas pelukan Reta. "Terimakasih Tante sudah mau menerima Daniel setelah semua yang telah aku lakukan pada kalian," pelukan mereka terurai.

"Terimakasih sudah datang," Stevani tersenyum tulus. Daniel membalas dengan anggukan.

Daniel berbalik setelah berpamitan dengan seluruh orang. Langkahnya pelan menuju mobil yang sudah siap untuk meninggalkan Mansion Marvel. Sampai bertemu lain waktu. Semoga saat itu kita sama-sama bahagia dengan hidup masing-masing, batin Daniel.

"Tuan Daniel?" seru Glen menyadarkan Daniel dari lamunannya.

"Aku tiba-tiba ingin American Ice Glen. Kita bisa mampir di café dekat sini," balas Daniel.

"Baik Tuan,"

Suasana Café sudah sedikit sepi. Ini sudah sore hari tentunya pengunjung akan berkurang. Biasanya rame kembali saat malam hari. Banyak anak muda nongkrong di café, bersenda gurau dengan teman sebayanya.

"Apa kamu sudah bertemu dengan pria itu?" tanya Dinda.

Alluna menghembuskan nafasnya. "Belum Din. Aku ingin mengembalikkan miliknya ini."

Dinda menepuk pundak sahabatnya. "Ini sudah 4 tahun lamanya Lun. Mungkin pria itu sudah meninggal atau bahagia ditempat lain. Toh sapu tangan itu bisa digantikan dengan sapu tangan lain,"

"Entahlah Din. Aku belum sempat berterimakasih saat itu padanya."

"Sudahlah. Oh ya kabar Moren mantanmu itu bagaimana?" tanya Dinda dengan nada mengejek.

Alluna memutar bola matanya. "Berhenti menyebut namanya. Aku merasa muak mendengar namanya disebut," balasnya.

"Sepertinya kita membutuhkan pegawai tambahan deh Lun,"

Alluna melihat sekeliling. "Belum terlalu membutuhkan sih," jawabnya enteng.

Dinda memutar bola matanyaa. "Setidaknya tambah satu untuk membantu Aldi menyiapkan camilan di belakang dan juga mencuci."

"Saat sudah menambah pegawai tiba-tiba sepi. Mampus dah bayarnya gimana,"

"Kita bisa tentukan untuk gajinya Lun. Jangan samakan dengan yang bekerja di perusahaan."

Alluna mengurai rambut panjangnya kebelakang. "Harus ada kriteria?" Dinda mengangguk antusias.

"Kita cari mahasiswa yang sedang mencari pekerjaan sampingan atau mencari orang yang baru saja lulus. Mereka pasti membutuhkan pengalaman kerja setidaknya,"

"Ini hanya sebuah café Din. Pengalaman apaan," balas Alluna malas.

"Pengalaman bagaimana rasanya bekerja. Itu akan merubah pola pikir mereka tentang pekerjaan," tausiyah Dinda terjeda,

"Pengalaman kerja tidak selalu dari perusahaan besar, HRD pasti akan mempertimbangkan seseorang yang tidak suka menganggur yah walaupun cuma di café. Toh untuk fresh graduated jangan terlalu berharap muluk-muluk deh," lanjut Dinda.

"Contohnya kita bertiga kan? Lulusan Sarjana Pertanian malah buka café," jawab Alluna dengan tawa renyah.

Mereka terus mengobrol. Membahas kelanjutan café yang dikelola oleh tiga sahabat itu. Tidak mudah menjadi seorang sarjana dengan kecerdasan yang pas-pasan. Sangat sulit mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang akademis yang diambil. Jalan satu-satunya ya membuka usaha sendiri, menciptakan lapangan pekerjaan. Toh walaupun gajinya sedikit yang terpenting halal.

Karena terlalu asyik mengobrol mereka sampai tidak sadar ada pria masuk dalam café. Seluruh pengunjung mengalihkan pandangannya pada dua pria yang baru saja masuk. Terpesona dengan ketampanan mereka.

"Selamat Sore. Bisakah kami memesan?" suara barinton itu membuat dua wanita yang tengah asyik mengobrol spontan menoleh.

"Wow pria dewasa yang seksi," gumam Dinda dengan mulut menganga. Pria itu masih menunggu jawaban atas pertanyaannya.

Tubuh Alluna terhenyak saat melihat siapa pemilik suara itu. Tatapan Alluna terkunci pada pria didepannya. Mereka saling menatap. Pria itu mengangkat alisnya heran saat ada wanita yang melihatnya begitu lama. Ada getaran aneh saat matanya bertemu dengan sorot mata tajam itu. Tatapan mata penuh intimidasi tapi sangat menarik. Dunia seolah berhenti seketika, sore hari menjelang malam. Dia datang.

"Halo bisakah kami memesan?" tanya pria itu lagi.

Dinda menyikut lengan Alluna. "Jawab tolol,"

Alluna terhenyak. "Ah iya Tuan. Anda mau memesan apa?" tanyanya.

"Kamu mau apa Glen?"

"Samakan denganmu saja Tuan,"

"Dua Americano dengan sedikit Es dan tambahkan susu sedikit. Camilannya onion ring dan chicken finger," pesannya.

Alluna menyetuh tab didepannya dengan gugup. "Mau dibawa pulang atau minum disini Tuan?"

"Minum disini," jawabnya.

"Atas nama siapa kalau boleh saya tahu?"

Alluna menatap penuh harap pada pria itu. Dia penasaran nama pria yang menolongnya beberapa tahun yang lalu.

"Daniel."

-End

MARRIAGE CONTRACTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang