Tidak menahan mu pergi bukan berarti tidak cinta lagi. Hanya saja, terkadang lebih baik melepaskan daripada memaksa terus bersama.
∆∆∆
Flashback on.
Sepeninggalan Auri, Drax datang kembali menghampiri Sandra. Hanya seorang diri, tidak ada Tristan ataupun yang lainnya. Drax menarik sudut bibirnya, melangkahkan kakinya menyentuh lantai gedung tua yang diselimuti debu itu. Semakin dekat, hingga kini lelaki itu tepat berada di depan Sandra. Masih menatap Sandra, Drax berjongkok di depan gadis itu.
Sandra berulang kali menghembuskan nafasnya lemah, pasrah apa yang akan dilakukan Drax padanya. Ia sudah rela apa pun yang akan didapatnya, baik itu cacian atau pun melukai fisiknya. Gadis itu memejamkan matanya rapat saat tangan Drax melayang untuk menjangkaunya. Sandra menyiapkan dirinya, barangkali Drax ingin mencekiknya atau melukainya. Setidaknya itulah pemikiran Sandra.
Alih-alih merasa sakit, Sandra justru merasakan sentuhan lembut di wajahnya. Lebih tepatnya luka bekas sayatan Tristan. Perlahan Sandra membuka matanya. Objek pertama yang dilihatnya adalah wajah Drax yang sangat dekat dengannya. Dalam jarak sedekat ini, Sandra dapat melihat wajah Drax yang mirip sekali dengan Gevan. Apalagi netranya, persis seperti netra milik Gevan. Wajar saja, Drax dan Gevan adalah saudara kandung.
"Mengapa adikku mencintaimu?" Sandra yang sibuk memandangi wajah Drax kembali tersadar oleh suara lelaki itu. Ia mengerutkan keningnya, mana dia tau mengapa Gevan mencintainya.
"Cinta tidak membutuhkan alasan, right?" Drax masih setia menggerakkan ibu jarinya, mengikuti setiap sketsa luka di wajah Sandra. Sandra tidak meringis kesakitan saat lukanya di permainkan, karena menurutnya sentuhan Drax sangat lembut.
"Ku tau adikku sangat mencintaimu, dan mungkin kau juga mencintainya. Tapi dendam membuatmu buta akan segalanya. Karena kesalahpahaman kau menduga aku yang telah membunuh mantan kekasihmu hingga membalaskan nya pada adikku...."
"Kau menerimanya seakan memberinya harapan. Namun pada kenyataannya kau hanya mempermainkan Gevan. Sangat klasik memang, namun bisa membuatnya cukup terluka. Dan tanpa kau sadari, kau juga telah menyakiti dirimu sendiri," Sandra merapatkan bibirnya. Matanya menatap arah lain, namun telinganya mendengar jelas semua perkataan Drax. Dalam diamnya Sandra membenarkan. Menyakiti Gevan, sama saja menyakiti dirinya sendiri.
"Jika kau bertanya darimana aku mengetahuinya, tentu aku tau. Karena setiap saat aku selalu memata-matai mu dan Gevan,"
'Jadi Drax yang selama ini nguntit gue? Bodohnya gue nggak sadar!'
"Pergilah. Perbaiki kesalahanmu. Minta maaf pada Gevan," Sandra menautkan kedua alisnya tak mengerti maksud Drax. Melihat diamnya Sandra, dengan cekatan Drax melepas tali yang menahan pergerakan gadis itu.
"Kenapa lo lepasin gue?"
"Adikku membutuhkanmu," jawaban Drax tak sepenuhnya mampu membuat Sandra puas.
"Gimana sama Tristan?" cicit Sandra pelan.
"Aku yang akan menanganinya. Sekarang pergilah, sebelum dia kembali," dengan ragu, Sandra mengangguk. Perlahan gadis itu memutar badan melangkahkan kakinya setapak demi setapak.
"Tunggu!" panggil Drax yang mampu mengehentikan langkah Sandra. Sandra berbalik, menatap Drax dengan raut bertanya.
"Jangan beritahu Gevan jika kau bertemu denganku!"
Flashback off.
Ucapan Drax saat lelaki itu membantunya untuk lepas dari Tristan kembali terngiang-ngiang di kepala Sandra. Benar, ia harus meminta maaf pada Gevan. Yang menjadi pertanyaan apakah Gevan mau memaafkannya? Baiklah, akan Sandra coba. Besok Sandra akan kembali menginjakkan kakinya ke sekolah. Ia sudah merasa lebih baik daripada kondisinya sebelumnya. Tentang bekas luka sayatan di wajahnya, biarlah itu menjadi urusan make up dan para kawanannya.
***
Sandra menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, terkadang ia melirik ke belakang. Gadis itu sedari tadi mencari keberadaan Gevan yang hingga kini tak kunjung ia temukan. Semalaman Sandra tidak bisa memejamkan matanya karena seluruh atensinya berpusat pada Gevan. Mata Sandra berbinar saat pandangannya menangkap sosok Gevan. Segera, Sandra berlari kecil menghampiri cowok itu.
"Gevan!" Gevan yang tengah bersandar di sebuah pilar, menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Di sana ia menemukan Sandra yang tengah menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit Gevan artikan.
"Hai!" sapa Sandra ramah pada Gevan tak lupa dengan senyuman manisnya. Bukannya membalas, Gevan justru memasang wajah datarnya, sembari membuang pandangannya asal. Sebisa mungkin, cowok itu berusaha menunjukkan sifat dinginnya.
Namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Gevan berulang kali mengucap syukur saat melihat kondisi Sandra yang utuh. Setidaknya kekhawatirannya pada Sandra sedikit terobati. Walaupun sebenarnya Gevan tidak mengetahui apa saja yang telah dialami Sandra.
Sandra yang tak mendapat jawaban Gevan tak jua menyerah. Masih dengan senyuman yang tertahan, Sandra meraih lengan Gevan.
"Lo mau ke kelas kan? Bareng aja yuk," lagi, Gevan diam tak menjawab. Namun sorot matanya tertuju pada tangan Sandra yang mengapit lengannya, seolah berkata "Lepasin tangan gue!" Sandra yang mengerti mau tak mau menarik kembali tangannya.
"Van, gue mau ngomong!" Gevan mengangkat sebelah alisnya tak minat. Ia menatap Sandra dengan kedua tangan yang bertumpu di depan dadanya, menunggu kalimat yang akan dilontarkan gadis itu.
Sandra yang merasa diberi izin, segera mengungkapkan maksudnya. "Maaf.."
"Maaf karena udah mempermainkan perasaan lo.."
"Maaf karena gue udah nyakitin lo.."
"Maaf untuk semua kesalahan gue,"
ucap Sandra pelan dengan kedua tangannya yang meremas pinggiran rokoknya. Gadis itu menatap Gevan harap-harap cemas, takut-takut Gevan tidak memaafkannya dan malah membentaknya. Bisa saja kan?Bukan penolakan atau penerimaan yang Sandra dapat. Melainkan hanya deheman singkat dari cowok di hadapannya itu. "Hm,"
"Van, tunggu!" Sandra meraih tangan Gevan saat Gevan melangkahkan kakinya hendak meninggalkan Sandra.
"Apa lagi?"
"Lo nggak mau maafin gue? Sebesar itu ya, Van kesalahan gue. Sesulit itu ya maafin gue,"
"Mungkin," hanya mengucapkan itu, Gevan membalikkan badannya. Namun tangan Sandra kembali menghentikan Gevan.
"Van!" mau tak mau, Gevan menghentikan langkahnya. Menghela nafas sejenak, ia membalikkan badannya hingga matanya bertatapan langsung dengan Sandra. Entah siapa yang memulai, kini keduanya saling beradu pandang, saling bertukar perasaan yang mereka rasakan melalui tatapan itu.
"Gue kangen sama lo,"
__________
✨T O B E C O N T I N U E ✨
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN SANDRA (END)
Teen FictionDia datang menaburkan banyak warna indah dalam hidupku. Namun aku lupa, bahwa kelabu juga bagian dari warna. Namanya Cassandra Liora. Seorang gadis dengan kisah kelam di masa lalunya yang mengubahnya menjadi sosok dingin tak tersentuh. Hingga rahas...