Prolog

13.5K 856 189
                                    

Klian tidak akan pernah tau kedalaman air jika kalian tidak menyelaminya dengan perlahan. Daripada menerka-nerka, mengapa tidak mencoba saja? Tapi awas, jangan sampai kalian tenggelam di dalamnya.
Jangan menebak-nebak suatu cerita dari cover dan part awalnya. Kalian tidak akan tau isi ceria itu jika tidak membacanya. Jadilah pembaca yang bijak. Jangan sampai kalian dibunuh oleh asumsi kalian sendiri.

***

"Buat apa lo kesini?" Pria itu melemparkan tatapan dinginnya

Hujan yang turun dengan lebatnya mengguyur tubuh rapuh Sandra hingga basah kuyup. Gadis itu mendekat hendak merengkuh tubuh Gevan. Namun secepat kilat, pria dihadapannya itu mendorongnya hingga terjatuh.


"Jangan sentuh gue. Lo pikir gue mau disentuh sama cewek murahan kayak lo?"

Dengan air mata yang kian mengucur deras, gadis itu meringis tatkala sikutnya menghantam kerasnya pinggir tangga hingga mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Ia tersenyum pedih, luka di kakinya tak seberapa jika harus disandingkan dengan luka hatinya. Hancur, itulah yang kini ia rasakan. Mendapat penolakan dari pria yang ia cintai.

"Van, lo salah paham sama gue . Lo harus dengerin penjelasan gue!" bujuk Sandra di sela-sela tangisannya. Tak menyerah, ia berusaha menjangkau tangan Gevan.

Gevan tersenyum remeh ke arah Sandra. "Simpen baik-baik penjelasan lo. Gue nggak butuh."

"Nggak, Van. Lo harus dengerin gue. Semua tuduhan Lo ke gue itu nggak bener,Van!"

"L kira gue percaya sama lo? In your dream, Ra!"

"Just for this time, Van. Tolong percaya sama gue. Gue butuh lo, gue nggak punya siapa-siapa. Tolong, Van."

"Emang cowok-cowok lo pada kemana? Udah pada bosen jadiin lo piala bergilir?" senyum mengejek terpatri jelas di wajah Gevan. Namun percayalah, apa yang diucapkan pria itu berbeda dengan apa yang hatinya katakan.

Bagaikan terhunus ribuan belati, Sandra merasakan sakit yang teramat kala mendengar tuduhan Gevan tentang dirinya.

"LO SALAH PAHAM, GEVAN! Harus berapa kali gue bilang, semua yang lo denger itu bohong. Gue nggak kayak apa yang lo pikirin. Hidup gue hancur, Van. Semua ninggalin gue. Gue nggak punya siapa-siapa, cuma lo, Van."

"Shut up your mouth. Gue jijik!an Lo kira gue masih peduli sama lo? Semua kepedulian gue udah habis, Ra. Kepercayaan gue udah lo hancurin! Lakuin apapun yang lo mau, gue udah nggak peduli!"

Dua sungai di pipi Sandra semakin mengalir deras. "Hanya lo satu-satunya alesan gue buat bertahan dalam hidup gue yang udah nggak ada gunanya. Hanya lo, Van. Lalu buat apa gue hidup kalau lo nggak mau nerima gue lagi." Sandra berusaha meraih tangan Gevan, namun segera disentak kuat oleh sang empunya.

"Gue udah muak sama semua ucapan manis lo. Cukup sekali, Ra. Cukup sekali gue percaya sama lo. Pergi lo dari hadapan gue dan jangan pernah nunjukin muka lo di depan gue!" Cowok itu menatap sembarang arah, menghembuskan nafasnya perlahan berusaha menutupi perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Hujan turun semakin deras seolah turut merasakan kesedihan Sandra. Bagaikan tersambar petir, Sandra merasakan sekujur tubuhnya menegang. Gadis itu kian terisak dengan paru-paru yang terhimpit seakan pasokan oksigen di dadanya semakin menipis.

"Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo, Van." Sandra menangis. Ia tak ingin kehilangan cintanya lagi. Haruskah ia kembali merasakan sakitnya kehilangan? 

'Gue juga cinta sama lo,Ra. Tapi gue udah terlanjur kecewa.'

"Jangan pernah muncul di hadapan gue," ulang Gevan dengan nada dingin yang terdengar sangat menyakitkan di telinga Sandra.

Kini Sandra terdiam mematung, menghakimi semesta yang tak pernah membiarkannya merasakan kebahagiaan,semesta yang lagi-lagi menjauhkannya dari orang yang disayangi, menghakimi semesta yang tak pernah adil dalam hidupnya. Untuk yang kesekian kalinya,dia kembali merasakan kehilangan.

"Gue akan pergi yang jauh dari lo. Jaaauhh banget. Mungkin ini terakhir kali lo lihat gue," ucap Sandra pelan. Ia tertawa miris. Menertawai hidupnya yang malang. Selucu inikah takdir mempermainkan alur hidupnya? Bibir Sandra memang tertawa lepas namun matanya menangis dengan sorot kesedihan yang terpancar jelas dalam netra coklat terang itu.

Tanpa Sandra ketahui, Gevan juga menangis dalam diam. Percaya atau tidak, Gevan juga merasakan sakit sama seperti yang Sandra rasakan. Gevan ingin memeluknya, merengkuh tubuh yang terlihat rapuh itu dan melindunginya dalam dekapannya. Namun rasa gengsi selalu menjadi pemenangnya. Egonya telah mengalahkan Gevan.

"Bagus. Gue pegang omongan lo," Ingin rasanya Gevan menghapus air mata Sandra.

"Kalau gue pergi, lo harus bahagia yaa, Van. Biar kepergian gue nggak sia-sia."

"Oh tentu. Gue akan selalu bahagia tanpa ada lo yang selalu nyusahin gue." Ucap Gevan mengepal tangannya kuat. Gevan sangat membenci dirinya yang begitu lemah. Rasa kecewa telah membutakan hatinya.

Sandra menatap lamat wajah Gevan, merekam setiap jengkal wajah itu dalam memorinya. Memori yang suatu hari nanti akan ia kubur bersamaan dengan semua kenangannya. Sandra berlari menembus hujan, menyamarkan setiap tetes air matanya diantara rintik sang hujan. Salahkah jika ia memberontak marah pada Tuhan atas semua rasa sakit dalam hidupnya?

Membawa luka di hatinya yang menganga begitu lebar, Sandra menyusuri gelapnya malam. Diselimuti kesepian yang selalu menjadi temannya. Tak perduli dengan sakit di kakinya, ia terus berjalan tak tentu arah. Namun tak diketahui oleh gadis itu, bahwa bahaya sedang mengincarnya.

BROKEN SANDRA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang