HAPPY READING:)♥️
__________________________________Bisa saja orang yang mendukungmu di depan, adalah orang yang berusaha untuk menancapkan tombak di belakang mu. Karena yang kelihatannya belum tentu kenyataannya.
∆∆∆
Sejak lampu operasi dinyalakan, Gevan tak henti-hentinya bergerak gelisah di depan pintu ruang operasi. Cowok itu bahkan sama sekali tidak pulang ke rumah, hanya untuk sekedar membersihkan tubuhnya.
"Lo bisa tenang nggak sih, Van? Pusing gue liatnya. Mondar-mandir mulu kek setrika," Cakra yang sedari tadi memperhatikan buka suara.
"Lo duduk aja. Kita tunggu sampe operasinya selesai," Satria ikut menimpali, merasa prihatin dengan sahabatnya itu.
"Lo pada mikir gue bisa tenang sementara di dalem sana, Sandra lagi berjuang antara hidup dan mati? Lo pikir gue masih bisa duduk tenang? Lo semua nggak ngerti apa yang gue rasain! Lo semua cuma bisa ngomong, tapi nggak tau apa yang gue takutkan!" bentak Gevan yang secara tidak sadar melampiaskan kekesalannya pada teman-temannya.
"Apa lo juga mikir kalau elo doang yang khawatir sama Sandra? Kita semua juga khawatir, Van. Tapi dengan lo kayak gini, apa Sandra bisa cepet sadar? Nggak, Van!" Satria berujar berusaha untuk memberi sahabatnya itu pengertian.
Gevan menghembuskan nafasnya gusar. Jujur ia sama sekali tak bermaksud untuk melampiaskan emosinya pada teman-temannya. Ia kalap. "Sorry. Gue cuma takut Sandra_"
"Kita semua ngerti perasaan lo. Makanya kita ada disini buat ngedukung lo. Jangan ngerasa sendiri," potong Cakra pengertian. Mereka sama-sama menutup mulutnya. Sementara Arkan enggan untuk buka suara. Sedari tadi cowok itu hanya bersandar di dinding Rumah Sakit menunggu operasi selesai.
"Pake. Nggak enak diliatin sama orang," Arkan melepaskan hoodie hitam yang dikenakannya pada Gevan, hingga menyisakan kaos putih polos yang melekat di tubuh atletisnya. Maksud Arkan memberikannya pada Gevan adalah untuk menutupi pakaian cowok itu yang kotor akibat bercak darah.
"Thanks," ujar Gevan berterimakasih. Cowok itu memakai Hoodie Arkan hingga menutupi pakaiannya.
"Ngomong-ngomong, si Erland kok nggak ada? Lo udah ngabarin dia?" tanya Satria yang mengedarkan pandangannya. Ia baru menyadari jika sejak tadi Erland tidak ikut bersama mereka.
"Gue tadi udah telepon, tapi nggak di angkat sama dia," jawab Cakra menoleh pada teman-temannya.
"Tumben-tumbenan tuh anak ngilang," gumam Arkan pelan. Sejurus kemudian ia berpindah dari tempatnya, meninggalkan Gevan, Satria dan Cakra.
"Eh lo mau kemana?!" teriak Cakra yang melihat pergerakan Arkan.
Arkan tak menggubris. Ia hanya mengedikkan bahunya acuh.
***
Arkan melajukan motornya membelah kerumunan jalanan ibukota dengan kecepatan sedang. Sedari tadi ia memacu kuda besinya itu untuk mencari keberadaan Erland. Hati kecilnya menduga kalau-kalau Erland lah salah satu dalang yang mencelakai Sandra. Bukan tanpa alasan Arkan berpikir seperti itu. Secara logika, Erland tidak mungkin bisa menerima kematian Ayahnya di tangan Sandra secepat itu.
Arkan menurunkan kecepatan motornya saat melihat kerumunan massa. Mengikuti instingnya, Arkan mendekat ke arah kerumunan itu.
Namun cowok itu tiba-tiba tersentak saat melihat Erland yang tengah berusaha diselamatkan oleh petugas keamanan untuk keluar dari truk yang seperti baru saja mengalami kecelakaan. Walaupun wajahnya nyaris tak dapat dikenali, namun Arkan sangat yakin jika itu adalah Erland. Ia sangat hafal postur tubuh sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN SANDRA (END)
Teen FictionDia datang menaburkan banyak warna indah dalam hidupku. Namun aku lupa, bahwa kelabu juga bagian dari warna. Namanya Cassandra Liora. Seorang gadis dengan kisah kelam di masa lalunya yang mengubahnya menjadi sosok dingin tak tersentuh. Hingga rahas...