Kadang beberapa hal emang kerap lepas kendali, dan semua memperburuk suasana hati. Karena tidak sesuai dengan ekspektasi.
∆∆∆
Gevan menatap nanar sebuah gelang berwarna hitam di telapak tangannya. Gelang itu, gelang pemberian Sandra tempo dulu. Tadi Gevan tak sengaja menemukannya di bawah nakas saat cowok itu tengah merapikan kamarnya.
"Shit," umpat Gevan merutuki dirinya saat ia merindukan gadisnya, Sandra. Ralat, Gevan memang selalu merindukan gadis itu. Seolah-olah seluruh atensinya hanya terpusat pada Sandra. Katakan saja Gevan itu tipikal cowok yang bucin akut. Karena memang itu benar adanya. Ia sangat mencintai Sandra, hanya saja Gevan tidak tau cara menunjukkan perasaannya, juga sangat sulit untuk mengalahkan egonya.
Sebenarnya masalahnya dengan Sandra tidak akan serumit ini jika saja Gevan mau mendengarkan penjelasan gadis itu. Namun Gevan lebih memilih mempertahankan rasa egois dan gengsinya, dan tanpa sadar melukai perasaan Sandra. Hingga sampai pada akhirnya, Sandra menghilang dari ruang pandang Gevan. Nasi sudah menjadi bubur. Begitulah orang mengibaratkan.
Gevan bergeming, membiarkan satu persatu memorinya bersama Sandra berputar di benaknya.
***
"Lo itu cewek yang paling menyedihkan, Lio," Auri berdecih menatap Sandra dengan tatapan jijik, seolah Sandra adalah orang yang hina. Sandra tak menghiraukan, membuang pandangannya tak ingin menatap wajah Auri yang bisa saja memancing amarahnya.
Saat ini, hanya ada Sandra dan Auri dalam ruangan itu. Tristan dan Drax, kedua lelaki itu pergi entah kemana.
"Sifat lo itu childish, Stell," menatap sembarang arah, Sandra berucap dingin pada Auri yang dibalas gadis itu dengan tatapan 'Maksud lo apaan?'
"Karena Ares kan lo jadi berubah gini?"
"Nggak usah sotoy deh lo!" elak Auri bersedekap dada, mengangkat dagunya sombong.
"Sayangnya lo nggak bisa ngelak. Bodohnya gue yang terlambat buat menyadari perasaan lo waktu itu," Sandra menatap Auri dengan tampang mengejek.
"Iya, gue gini karena lo yang udah ngerebut Ares dari gue! Lo rebut Ares dari gue! Karena lo Ares nggak pernah peduliin gue lagi, nggak pernah ada waktu buat gue. Ares cuma mikirin lo, lo dan lo Lio!" aku Auri buka-bukaan.
"Kalau lo lupa, gue nggak pernah rebut Ares dari lo. Gue nggak pernah ada niatan buat ngejauhin lo dari Ares!" Sandra memberikan pembelaan yang nyata.
"Tapi nyatanya lo buat Ares jauh dari gue. Lo itu penghancur!"
"Kalau aja saat itu lo ngasih tau perasaan lo, semua ini nggak akan terjadi," papar Sandra masih enggan membalas tatapan Auri.
"Buat apa? Biar lo bisa ngetawain gue gitu? Biar lo bisa bully gue karena Ares lebih milih lo? Gue nggak sebodoh itu asal lo tau!"
"Lo terlalu cepat menyimpulkan, Stell..." tatapan Sandra berubah kosong.
"Lo nggak pernah ngertiin perasaan gue, Lio. Lo selalu nunjukin kedekatan lo dan Ares ke gue, tanpa mau mikirin gimana rasanya jadi gue. Lo egois, Yo. Lo rebut Ares dari gue!" Auri merasakan matanya memanas menahan sesuatu yang mendobrak ingin keluar.
"Gue sahabatan sama lo nggak setahun dua tahun, Stell. Dari bocah gue udah kenal lo. Kalau lo mau jujur ke gue, gue akan mundur demi lo, Stell! Gue rela ngejauh dari Ares demi lo. Gue lebih milih sahabat gue daripada cinta gue. Tapi apa? Lo sama sekali nggak cerita ke gue. Lo lebih milih buat mendem semuanya sendiri. Gue bukan Tuhan yang bisa tau perasaan lo gimana...."
Sama seperti Auri, Sandra mati-matian menahan dirinya untuk tidak menangis. Terlalu cringe jika keduanya sama-sama mewek dengan hubungan keduanya yang kini masih renggang.
"Andai aja ya, Stell. Andai waktu itu gue lebih cepat menyadari perasaan lo. Pasti, kita masih jadi sahabat kayak dulu. Lo tau, selama ini gue kelihatan benci banget sama lo? Tapi nyatanya nggak, gue nggak pernah benci sama lo. Gue kangen masa-masa kita dulu. Gue kangen main bareng sama lo, gue kangen semua tentang kita yang dulu. Kadang gue mikir, bisa nggak ya kita kayak dulu lagi? Tapi ngelihat sikap lo sekarang, jujur gue kecewa, Stell,"
Auri diam tak menjawab ucapan Sandra. Tanpa bisa ditahan air mata Auri meleleh membanjiri pipinya. Pertemuan pertamanya dengan Sandra terlintas cepat di benaknya.
***
'Temui dia di depan gedung tua dekat pemakaman. Aku sudah membebaskannya dari Tristan. Cepatlah, sebelum Tristan mengetahuinya!'
Si pembicara itu mengakhiri panggilannya tanpa mendengarkan balasan Arkan. Arkan menggenggam handphone nya gelisah. Sebisa mungkin ia meyakinkan dirinya. Karena cepat atau lambat, kebohongan yang selama ini ditutupnya pasti akan terbongkar juga.
***
"Kenapa, Ar? Kenapa lo lakuin itu?" baru saja Arkan menghentikan motornya di sebuah pinggiran jalan raya, Sandra sudah menodongnya dengan pertanyaan yang sangat ingin Arkan hindari.
"Kenapa, Ar? Jawab gue!" desak Sandra menatap nanar wajah Arkan.
"Maaf," bahkan untuk mengucap satu mata itu, lidah Arkan terasa sangat keluh.
"Maaf lo udah nggak ada artinya, Ar. You're too late. Bertahun-tahun gue nyimpen dendam buat seseorang yang sama sekali nggak bersalah. Selama ini gue yakin kalau yang udah ngebunuh Ares itu Drax, tapi gue salah. Elo yang sebenarnya pembunuh!" sosor Sandra. Air matanya kini dengan tidak sopan nya turun membasahi kedua pipinya.
Plakk!
Sandra mengangkat tangannya mendaratkan tamparan sekuat yang ia bisa, hingga mengahasilkan bunyi nyaring. Wajah tampan Arkan terlempar ke samping, dengan pipi kirinya yang memerah bekas tangan Sandra.
"Sampai gue berambisi buat balas dendam sama Drax. Nggak cuma itu, Ar. Gue sampai libatin Gevan. Gue nyakitin dia, Ar. Gevan nggak akan pernah maafin gue,"
Arkan ingin mengangkat suaranya, namun tak tau untuk berbicara bagaimana, seolah ada sesuatu yang mencekik kuat lehernya hingga membuatnya sulit membuka suaranya.
"Gue benci lo, Ar!"
Pada akhirnya hanya itu yang dapat Sandra ucapkan. Cacian dan makian yang sudah ia siapkan untuk lelaki itu seolah lenyap begitu saja. Sandra mendudukkan dirinya di pinggiran trotoar, tak memperdulikan pakaiannya yang kotor. Gadis itu memeluk lututnya sembari menenggelamkan kepalanya dalam-dalam.
"Kita pulang," lama terjebak dalam hening yang menyelimuti, Arkan membuka suaranya tak ingin membuat Sandra semakin terhanyut dalam amarahnya.
"Tinggalin gue sendiri,"
"San, please," Arkan menatap Sandra khawatir.
"Let me alone! Jangan buat gue semakin benci sama lo, Ar!"
Arkan menghela nafasnya pasrah. Mau tak mau, Arkan menuruti permintaan Sandra. Menatap Sandra sekilas, lelaki itu menaiki motor Ninja-nya dan segera melesatkan kuda besi nya itu. Namun Arkan tak benar-benar meninggalkan Sandra. Ia hanya sedikit menjauh dari tempat Sandra. Bagaimana pun juga, Arkan masih khawatir kalau-kalau Tristan mengetahui keberadaan Sandra.
Kini tinggallah Sandra seorang diri. Gadis itu mendongakkan kepalanya menatap langit yang terbentang luas di atasnya. Ingatannya tentang beberapa hal yang dilakukannya kembali terulang. Hingga lagi-lagi hanya air mata yang mampu menjelaskan perasaan gadis itu. Sandra kini terjebak dalam kubangan rasa bersalah yang tak berdasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN SANDRA (END)
Teen FictionDia datang menaburkan banyak warna indah dalam hidupku. Namun aku lupa, bahwa kelabu juga bagian dari warna. Namanya Cassandra Liora. Seorang gadis dengan kisah kelam di masa lalunya yang mengubahnya menjadi sosok dingin tak tersentuh. Hingga rahas...