Sekusut apapun dirimu, berdamailah. Tidak semua hal harus sesuai seperti yang kamu inginkan.
∆∆∆
"Dan untuk Ares, Arkana lah yang sudah membunuhnya,"
Sandra terkesiap mendengar penuturan Drax. Menggeleng-gelengkan kepala tegas seolah menolaknya. Auri yang sedari tadi mengamati interaksi antara Sandra dan Drax pun sama kagetnya. Gadis itu sama seperti Sandra yang tidak mengetahui fakta mengejutkan itu. Sementara Tristan, cowok itu tampak duduk anteng seolah sudah mengetahuinya.
"Ng-nggak mungkin! Lo pasti bohong. Elo yang udah bunuh Ares!" sentak Sandra.
"Tapi itulah kenyataannya, Darl," Bukan Drax yang menjawab, melainkan Tristan yang sedari tadi mengatupkan bibirnya. Lelaki itu menyeret langkahnya mendekati Sandra.
"Entah apa yang membuat Arkan begitu mencintaimu. Tapi kau dengan sombongnya mengatakan bahwa kau tak memiliki perasaan sedikit pun untuknya. Setiap hari dia dia selalu menahan sakit hatinya, kalau kau mau tau. Memamerkan kebersamaan mu dengan Ares, tanpa memperdulikan perasaan Arkan. Cih! Kau kira siapa dirimu!" Tristan berdecih sinis, melempar tatapan membunuh untuk Sandra.
Sandra memang mengetahui jika Arkan memiliki perasaan padanya. Tapi bukan seperti itu maksudnya. Tidak pernah sedikitpun Sandra berniat untuk melukai hati cowok itu.
"Malam itu, sebenarnya aku yang ingin membunuh Farestha. Callista menolak ku hanya karena lelaki bodoh itu. Tapi ternyata Arkan bergerak lebih cepat. Farestha sudah mati sebelum aku menyentuhnya. Setidaknya aku tidak perlu mengotori tanganku untuk melenyapkan orang itu..." Tristan mengeluarkan seringai liciknya.
Sandra mengepalkan tangannya erat. Entah drama macam apa yang sedang ia jalani. Mengapa hidupnya harus sesulit ini. Siapapun yang sudah menciptakan alur cerita hidup Sandra, yang pasti Sandra sangat membencinya. Memangnya siapa yang mau hidup dalam kesengsaraan walaupun dia sebagai tokoh utamanya?
"Dan satu lagi. Tentang malam itu, sama sekali bukan keinginanku. Kakak mu sendiri yang menyuruhku untuk merusak mu."
'Apa lagi ini?' batin Sandra frustasi. Mengapa semua kebenaran yang sama sekali tak diketahuinya, bermunculan secara bersamaan seolah menyerang Sandra bertubi-tubi?
"Ck. Drama banget sih hidup lo. Kasihan gue liatnya," Auri menatap Sandra dengan tampang kasihan. Ralat, lebih tepatnya kasihan yang dibuat-buat. Ucapan Auri disambut dengan kekehan oleh Drax dan Tristan, seolah menertawakan Sandra.
"Sesuai janjiku, aku akan membuat hidupmu hancur, Cassandra Liora. Dan hari ini aku akan membuktikannya," Tristan menatap sangar pada Sandra.
"Tanpa lo susah-susah pun hidup gue udah hancur, Tan! Sejak gue lahir ke dunia, gue udah ngerasain yang namanya diasingkan. Dan lo, sejak lo ngerusak masa depan gue, hidup gue udah nggak ada artinya sedikit pun! Nggak ada lagi yang bisa lo hancurin, hidup gue udah hancur asal lo tau!" Sandra mengeluarkan semua perkataan yang sejak tadi dipendamnya. Gadis itu menundukkan kepalanya, membiarkan air mata yang bertumpuk di pelupuk matanya berjatuhan menyentuh lantai gedung tua itu.
"Sayangnya aku tidak peduli dengan hal itu. Dan asal kau tau, tentang kejadian malam itu sama sekali bukan keinginanku. Callista yang memintaku untuk merusak mu. Cih! Bahkan kakakmu sendiri pun tidak menyukai kehadiranmu,"
Untuk kesekian kalinya, Sandra merasa tetohok dengan fakta yang baru saja diterimanya. Entah mengapa, hati kecil gadis itu lebih memilih untuk mempercayai kebenaran tersebut dan menelannya walau begitu pahit.
Kini Sandra kembali merasa kecewa yang teramat dalam hidupnya. Callista-- almarhumah kakak kandungnya, satu-satunya keluarga yang dulu dekat dengan Sandra yang Sandra kira menyayangi dirinya layaknya seorang adik, ternyata pun sama berniat untuk menghancurkannya. Kasih sayang dan kebaikan yang selama ini Callista tunjukkan ternyata hanyalah manipulatif semata. Air mata Sandra kian mengucur, namun tak ada isakan. Kenangan demi kenangannya bersama Callista berputar dengan cepat di otaknya, kayaknya kaset usang yang diputar paksa.
"Ke-napa kak? Kenapa kakak sejahat itu? Gue salah apa sama lo kak?" lirih Sandra pelan menundukkan kepalanya, yang masih bisa di dengar oleh Tristan, namun cowok bertato itu menghiraukan lirihan Sandra. Tristan semakin mendekatkan dirinya pada Sandra. Lelaki itu menggerakkan tangannya mencengkram rahang Sandra kuat.
"Kau tau, aku sudah lama menanti kesempatan untuk bisa membunuhmu langsung dengan tanganku. Dan hari ini, waktu yang ku nanti-nantikan sudah tiba," Tristan semakin mengeratkan cengkraman sembari menarik salah satu sudut bibirnya.
Tristan mengeluarkan sesuatu dari balik jaket yang dikenakannya. Cowok itu menatap benda yang kini digenggamnya dengan senyuman devil. Dengan lihai, Tristan menggoreskan pisau itu ke wajah Sandra berkali-kali, hingga membentuk garis panjang di beberapa bagian wajahnya.
"Wajah ini, wajah menjijikkan yang membuatku muak!" ucap Tristan dengan Geraman tertahan. Kilat kebencian jelas terpancar dari matanya.
Hingga darah segar berwarna merah kehitaman berjatuhan dari pipi mulus Sandra, gadis itu sama sekali tak meringis atau menangis kesakitan. Sandra justru mengeluarkan senyumnya, seolah mendukung tindakan Tristan. "Bunuh gue langsung!" suruh Sandra menatap Tristan dengan sorot memohon. Sandra benar-benar merasa putus asa dengan hidupnya yang benar-benar tidak berguna.
Tristan menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. "No, Darling. Aku tidak akan langsung membunuhmu begitu saja. Kau harus menikmati detik-detik terakhir kehancuran mu,"
Sandra menghembuskan nafasnya lemah. Ia sudah pasrah dengan kelanjutan hidupnya. Lagipula memang itu yang diinginkan Sandra. Mati. Namun hingga kini, Sandra belum mengetahui pasti alasan mengapa Tristan kelihatan begitu sangat membencinya. Padahal jika diingat, dulu Sandra dan Tristan berteman cukup dekat. Bahkan Tristan memperlakukan Sandra layaknya seorang adik, mengingat usia antara Sandra dan Tristan yang terpaut 6 tahun.
Namun entah mengapa, Tristan tiba-tiba saja menjauhi Sandra. Bahkan terang-terangan menunjukkan tatapan sinis nya.
"Kenapa, kenapa lo lakuin itu ke gue, Tan? Gue salah apa sama lo?" tanya Sandra menatap Tristan sendu, yang tergurat kesedihan disana. Lelaki itu tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya, tak ingin bertubrukan dengan manik sendu Sandra.
Pria itu menghembuskan nafasnya berat, dengan ekspresi yang berubah dingin.
"Jika saja bukan karena kesombongan mu, adik ku pasti masih ada bersama ku saat ini," ungkap Tristan pelan, tak memandang lawan bicaranya.
Flashback on.
Seorang cowok yang tak lain adalah Tristan, menatap sendu tubuh yang terbujur kaku tanpa denyut jantung di hadapannya. Dengan sangat berat, Tristan mengayunkan tangannya menyapu lembut surai sang adik yang kini hanya tinggal nama. Tanpa terasa, buliran air menetes dari pelupuk mata lelaki itu. Rasanya begitu berat untuk mengikhlaskan kepergian adik laki-lakinya untuk selamanya. Lamat-lamat dipandanginya wajah pucat itu, barangkali untuk ia rekam sebagai memory kenangan nantinya.
Dia, Alden Charvio. Adik kandung Tristan Charvio, sekaligus satu-satunya keluarga yang dimiliki Tristan.
"Bodoh!" rutuk Tristan mengingat alasan mengapa adiknya itu meninggal. Bagaimana tidak, Alden dengan bodohnya memilih untuk mengakhiri hidupnya hanya karena ditolak oleh seorang gadis. Memangnya tidak ada gadis lain? Sungguh Tristan tidak habis pikir dengan adiknya itu.
"Kau tau, kau orang terbodoh yang pernah ku temui! Dan sialnya orang bodoh itu adalah adikku!" maki Tristan seolah ia tengah memarahi Alden. Detik berikutnya, sorot sendu lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi tatapan tajam. Tangannya mengepal kuat hingga menampakkan buku-buku jarinya yang memutih. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang mengucapkan sumpah serapah.
"Cassandra Liora, kau harus membayar lunas kesombongan mu itu, gadis sialan!"
Flashback off.
***
TBC.
Makin ga ngerti akutuu:(
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN SANDRA (END)
Fiksi RemajaDia datang menaburkan banyak warna indah dalam hidupku. Namun aku lupa, bahwa kelabu juga bagian dari warna. Namanya Cassandra Liora. Seorang gadis dengan kisah kelam di masa lalunya yang mengubahnya menjadi sosok dingin tak tersentuh. Hingga rahas...