Happy Reading🎉
"Darimana saja kamu, Regal?!"
Suara berat itu menyapa pendengaran Regal ketika baru saja ia menginjakkan kakinya di dalam rumah. Dia menghentikan langkahnya. Dia diam, tak berniat menjawab.
"Rigel saja sudah pulang dari jam dua tadi, kenapa kamu baru pulang maghrib?!" tanya Dewa, sekali lagi.
Regal menghela nafas. "Regal capek, Regal males ribut!"
"Kamu itu mau jadi apa, Regal? Disuruh belajar biar pintar, malah keluyuran nggak jelas. Adik kamu saja nggak pernah keluar buat main. Makanya dia pintar, karena belajar terus. Nggak kayak kamu yang kerjaannya cuman kelayapan mulu, nggak pernah belajar," ujar Dewa, seolah tak mendengar ucapan Regal barusan.
Regal geram. Kenapa papanya selalu membandingkan dirinya dengan Rigel sih? Dia sangat tidak suka itu. Dirinya ya dirinya, bukan orang lain apalagi Rigel. Dia kadang berpikir bahwa papanya ini belum puas jika belum ribut dengannya, buktinya papanya selalu memancing emosinya ketika sedang bersamanya.
Regal menghembuskan nafas kasar, mencoba meredam emosinya. "Kenapa Papa selalu ikut campur urusan Regal? Mending urusin aja anak kesayangan Papa itu, jangan urusi Regal," ucapnya tajam.
Rahang Dewa mengetat mendengar ucapan anak sulungnya barusan. "Kamu juga anak saya, Regal!? Kalo bukan saya yang mengurus kamu, siapa lagi?! Saya hanya ingin kamu menjadi orang yang sukses nanti."
Regal tersenyum miring. "Kepintaran bukan satu-satunya tolak ukur menjadi orang yang sukses. Semua orang bisa sukses dengan caranya masing-masing."
"Kenapa Papa selalu nuntut Regal supaya pintar kayak Rigel? Otak semua orang itu berbeda-beda, Pa. Jadi, jangan pernah samakan Regal dengan Rigel!? Sampai kapanpun, Regal nggak akan pernah sama dengan Rigel!?" Lanjutnya.
Dewa bungkam. Ucapan putra sulungnya itu benar-benar menohoknya. Dia sadar selama ini dia selalu menuntut Regal untuk belajar, belajar, dan belajar. Namun, itu semua dia lakukan juga untuk kebaikan Regal sendiri. Dia tak ingin anaknya susah suatu saat nanti.
Regal yang tak kunjung mendengar jawaban papanya, segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
🍂🍂🍂
20.00
Regal yang merasa lapar pun beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju dapur untuk mencari makanan. Langkahnya tiba-tiba berhenti ditangga atas ketika melihat keluarganya berkumpul di ruang keluarga sambil menonton tv, tak lupa tawa mereka yang menggema di seluruh ruangan.
Regal tersenyum miris melihatnya. Keluarganya saja bahagia tanpa ada dirinya, lalu buat apa dirinya ada di rumah ini jika keberadaannya tidak pernah dianggap? Rasanya dia ingin sekali pindah rumah dan hidup sendiri, namun itu hanya akan menimbulkan masalah baru nanti.
"Bener-bener menyedihkan banget hidup gue," gumamnya.
Air matanya luruh begitu saja ketika melihat mamanya mengusap lembut kepala Rigel dan papanya yang merangkul bahu Rigel. Dia sebenarnya sangat pengen berada di posisi Rigel, yang mendapat kasih sayang kedua orang tuanya. Inilah salah satu alasan Regal tidak betah dirumah dan lebih sering menginap di apartemen Doni, pemandangan seperti inilah yang kerap kali menyiksa batinnya.
Regal mengusap air matanya kasar. "Sadar diri, Regal. Lo cuman anak yang nggak diinginkan, orang tua lo aja nyesel punya anak kayak lo," gumamnya diakhiri dengan tawa mirisnya.
Regal memilih tidak melihat lagi pemandangan yang membuat dadanya sesak, dia kemudian melanjutkan langkahnya menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
REGAL [END]
Teen Fiction[TAHAP REVISI] "Dia laki-laki yang dulu mencintai ku dengan sangat tulusnya. Namun, aku sia-siakan keberadaannya karena ketidakpuasan ku dan segala ambisi ku tentang laki-laki lain yang lebih darinya. Padahal kenyataannya dialah yang terhebat." -Sta...