CHAPTER 41

746 63 0
                                    

Happy Reading 🎉

Malam harinya sekitar pukul 12 malam, setelah memastikan mama dan papanya sudah tertidur, Regal segera mengendap-endap menuju kamar Rigel. Dia masuk, kemudian menutup kembali pintu kamar Rigel. Dari tempat Regal sekarang, dia dapat melihat Rigel yang tidur sembari memeluk sebuah ... bingkai foto.

Karena penasaran, Regal berjalan mendekat kearah Rigel, dengan gerakan pelan dia sedikit membalik bingkai foto itu. Ternyata itu adalah foto mereka ketika berusia sekitar 6 tahun yang difoto oleh kedua orang tuanya ketika mereka sedang tertidur sembari berpelukan.

Darah Regal berdesir, dada-nya sesak. Saat ini hanya satu pertanyaan yang terlintas di pikirannya.

Apa Rigel selalu memeluk foto itu ketika sedang sakit?

Pasalnya, dulu Rigel ketika sakit selalu tidak bisa tidur jika tidak dipeluk oleh Regal.

"Varo, aku sakit. Tolong peluk aku, biar aku bisa tidur!"

"Varo, ini sangat sakit. Tolong peluk aku!"

"Varo, tolong peluk aku, setidaknya sampai aku tertidur!"

"Varo, jangan lepaskan pelukan ini sebelum aku tidur!"

"Varo, kapan aku bisa sembuh? Ini sangat sakit, aku butuh pelukan mu!"

Suara anak kecil yang tak lain adalah Rigel begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Dia menjambak rambutnya sendiri, tak terasa air matanya lolos begitu saja.

"Maaf ... maaf ... gue minta maaf. Gue nggak becus jadi kakak, gu-gue nggak berguna jadi kakak, lo. Seharusnya lo berbagi rasa sakit itu sama gue, tapi malah gue nggak ada disisi, lo. Maaf," gumam Regal, frustasi.

Tangannya kemudian terulur untuk melepas kompresan Rigel yang sudah sedikit kering itu, dia kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Rigel. Panas, itulah yang dirasakan Regal. Dia kemudian mencelupkan kompresan itu kedalam air dan memerasnya, kemudian dia tempelkan lagi kompresan itu ke dahi Rigel.

Dia memandang Rigel dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tak lama kemudian, suara derap langkah membuat Regal segera bersembunyi disamping almari, dia takut itu suara langkah mamanya.

Lalu, terdengar pintu kamar Rigel terbuka. Regal sedikit mengintip, ternyata dugaannya benar, itu adalah mamanya.

Lusi mendekat kearah Rigel, kemudian mengangkat kompresan di dahi Rigel. "Lho, kok kompresannya masih basah," gumamnya.

"Ah, mungkin Bi Ima yang ganti."

Lusi kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Rigel. "Masih panas," ucapnya.

Dia kemudian menempelkan kompresan itu ke dahi Rigel lagi.

Lusi mengelus puncak kepala Rigel sembari memandang wajah Rigel yang damai itu. "Cepat sembuh, Nak. Mama nggak tega liat kamu kesakitan terus," ujarnya.

Lalu matanya mengarah ke bingkai foto yang dipeluk oleh Rigel. Dengan gerakan pelan, agar tidak mengganggu tidur Rigel, dia mengambil bingkai foto itu. Dia memandang foto itu dengan tatapan dalam. Lalu, beralih menatap Rigel.

"Rigel, Rigel, kamu sayang banget sama kakak kamu. Padahal dia aja nggak pernah peduli sama kamu," ucap Lusi. Kemudian dia menaruh bingkai foto itu di dalam laci.

Jika kalian tanya apakah Regal mendengarnya, jawabannya adalah iya. Dia mendengar semua ucapan mamanya, rasanya begitu sakit. Bahkan rasa sakit ini tidak sebanding dengan sakit ditubuhnya ketika di pukul oleh sang papa. Dia memejamkan matanya sembari memegang dadanya yang terasa sesak itu.

REGAL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang