25. Friends

1.9K 97 33
                                    

Sisa malam itu penuh dengan canda tawa. Kurasa setelah tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, kami lebih rileks.

Beralaskan bed cover tebal, kami tidur di lantai di depan dinding kaca dengan pemandangan kota Seoul dan sungai Han di kejauhan. Hoseok benar, memandangi city lights ternyata bisa membuat perasaan menjadi lebih baik.

"Jadi sekarang kau mau memberikan apa yang kuminta?" Hoseok bertanya.

"Kau memberiku apa yang kuminta, jadi aku harus memberikan apa yang kau minta."

"Aku minta... setiap aku memanggilmu, kau datang padaku." Ia mengelus wajahku.

"Ada cara yang lebih mudah. Kau bisa jadikan aku pacarmu."

"Aku tidak bisa." Ia menggeleng. "Aku tidak mau punya pacar. Atau istri. Aku bahkan sulit membahagiakan diriku sendiri, aku tidak tahu cara membahagiakanmu."

"Aku bahagia hanya dengan melihatmu."

"Tapi sebagai pacar rasa bahagia itu akan berkurang. Lalu kau akan pergi. Yang aku minta, kau tidak pergi, seumur hidupmu."

"Bagaimana aku bisa memenuhi permintaan seperti itu? Bagaimana kalau aku nanti menikah? Bagaimana kalau aku sudah tua dan bungkuk?"

"Kalau kau menikah jadikan aku selingkuhanmu. Kalau kau sudah tua kita akan bertemu ngobrol-ngobrol sambil minum wine."

"Kau mabuk!" Aku mendengus.

"Tidak cukup mabuk untuk meminta sesuatu yang nggak akan bisa kau penuhi. Aku tidak akan memanggilmu setiap hari. Mungkin hanya seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali. Tapi kalau aku minta kau datang, tolonglah, segera datang padaku."

"Permintaanmu terlalu berat"

"Kau kira pura-pura jadi Jin-hyung dan memukulimu tidak berat? Aku hampir menangis tadi." Hoseok merengut.

Aku memeluknya erat. Membenamkan wajahku ke dada telanjangnya. Samar bau parfumnya tercium. Masih parfum yang sama semenjak pertama kali kami bersama.

"Maafkan aku." Ia memeluk kepalaku. "Ini bukan salahmu. Aku, aku tidak pernah berpikir untuk terikat pada apapun atau siapapun kecuali BTS."

Ia mengangkat wajahku, menatap langsung ke mataku. "Kalau kau jadi pasanganku, selamanya, kau akan jadi prioritas kedelapan, atau mungkin lebih rendah." Ia menciumku. "Kau terlalu baik buat itu. Kau akan menemukan orang lain yang lebih baik dariku."

Aku memejamkan mataku. Berharap keajaiban terjadi. Berharap saat aku membuka mataku, Hoseok berubah pikiran.

"Sampai saat itu datang, biarlah kita seperti ini." Ia memandang ke arah luar dengan mata nanar.

Sialan. Keajaiban memang tidak pernah datang saat benar-benar dibutuhkan. Mataku berkaca-kaca. Syukurlah disini gelap, hanya cahaya kebiruan dari luar berpendar sendu memantul di tubuh kami.

Kuelus wajahnya pelan. Sampai kapan aku bisa meminta bibir ini untuk menciumku, merasakan tangannya memelukku, memiliki tubuh ini di tempat tidurku? Suatu saat, diapun akan menemukan penggantiku. Aku menggigit bibirku keras, berusaha mengalihkan rasa sakit hatiku.

"Permintaanmu...bolehkah aku minta waktu buat menjawabnya." Aku termanggu. "Buat saat ini, kurasa itu sangat berat."

"Besok?"

"Besok?"

"Berikan jawabannya sepulang kencan kita."

"Kencan apa?"

"Aku ingin mengajakmu kencan." Ia tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Seperti yang dulu kau chat aku, movie and coffee?"

Aku tersenyum sedikit. "Sounds great."

Master's Mind [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang