Prolog

9.1K 186 24
                                    

Di sore yang tenang itu, ringtone ponselku berbunyi nyaring memecah kedamaian.

"Halo?"

"Anakku, apakah benar berita itu? Kau tidak apa-apa kan? Mereka tidak pernah melakukan hal-hal buruk padamu kan?"

Mendengar rentetan pertanyaan Ibu aku menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab. Bahkan aku sedikit berlama-lama menjawab dengan bangkit dulu dari tidurku lalu mendudukkan diriku di lantai.

Aah, lagi-lagi ada hal yang membuat Ibu panik. Mendengar kepanikannya di hari Minggu saat aku sedang ingin bersantai sendirian bukanlah sesuatu yang aku harapkan.

"Berita apa Bu? Aku nggak tahu."

"Coba kau sekarang nyalakan TV. Skandal besar di industri musik kita Nak."

Perlahan aku menyalakan TV di apartemen studio ku. Lalu pelan-pelan mengganti-ganti channel, mencari channel entertainment.

Akhirnya aku menemukan satu channel berita entertainment. Dua pembawa acara yang cantik dan tampan ditemani oleh seorang narasumber.

Kedua pembawa acara sedang ditengah-tengah mewawancarai narasumber. Ah, otakku masih lambat mencerna, sekilas aku mendengar mereka berbicara tentang "balas dendam" dan "mencari uang tutup mulut".

Kukucek-kucek mataku seakan-akan itu akan membuat gambar di layar TV bisa terlihat lebih jelas.

Akhirnya aku membaca judul berita yang sedang disampaikan "Skandal terbesar tahun ini! Budak seks para idol angkat bicara."

Aku terdiam sejenak. Detak jantungku terasa keras di dada. Aku bersumpah aku bisa mendengar setiap detaknya dengan jelas seakan-akan jantungku ada di sebelah kupingku.

"Aku baru tahu tentang skandal ini Bu."

"Orang-orang mulai berspekulasi tentang idol-idol yang terlibat dalam skandal ini. Ibu ingat, sebagian dari mereka pernah bekerja denganmu. Kau tidak apa-apa kan? Mereka tidak pernah melakukan hal yang kurang ajar padamu."

"Aku tidak apa-apa, Ibu. Semua idol yang pernah bekerja denganku, mereka sopan dan memperlakukanku dengan baik." Aku tersenyum, walaupun aku tahu ibu tidak akan bisa melihat senyumku tapi kuharap senyum ini bisa merubah nada suaraku agar lebih meyakinkan.

"Oh, syukurlah kalau begitu. Kalau mereka pernah memperlakukanmu dengan tidak baik, aku akan langsung datang kesana dengan gunting dan kucukur habis rambut warna-warni kebanggaan mereka itu!"

Mau tidak mau aku tertawa. Ah, cinta Ibu pada anaknya memang sangat besar. Rasa bersalah mulai menyeruak didalam hatiku.

"Haha, tidak perlu sebegitunya Ibu. Tenanglah, aku tidak apa-apa. Aku profesional."

"Baiklah anakku. Kau jangan tidur terlalu malam, jangan lupa makan dan kabari aku apabila ada kesulitan ya. Aku sayang padamu."

"Aku juga sayang pada Ibu" balasku cepat sebelum mematikan sambungan telepon.

Termanggu, aku menatap keluar jendela apartemen studio ku. Langit sudah mulai berganti malam, sinar matahari yang memerah menyinari lantai, dinding dan langit-langit apartemen kecilku seakan-akan aku duduk di tengah kobaran api.

Narasumber di TV masih berapi-api menjelaskan berbagai hal yang akan dialami oleh orang-orang terlibat di dalam skandal tersebut.

"Akhirnya..." aku membatin "Beberapa bulan sudah kubuka semua cerita itu ke dunia. Aku menutup semua jejak digitalku. Aku menutup semua jejak yang bisa membuat orang menebak siapakah tokoh-tokoh sebenarnya dalam blog ku. Aku yakin orang-orang tak akan pernah menemukanku dan mereka, sekeras apapun mereka mencari."

Kecuali dia. Ya dia. Dia akan tahu aku yang melakukan ini. Dia juga alasan aku melakukan ini.

"...saya sudah membaca tulisan itu. Menurut saya, kalau tulisan ini kejadian sungguhan, penulis ini sebaiknya memiliki bukti-bukti dari semua kejadian yang dia paparkan disana. Kalau ini hanyalah hate speech, dia sangat rentan dituntut oleh para idol yang merasa dilecehkan..."

"...tapi kita harus ingat bahwa tulisan seperti ini sangat banyak di ranah fanfiction. Bagaimana kalau tulisan itu tidak lebih daripada sebuah fanfiction, yang ditulis dengan sangat bagus, membuat kita pembacanya mengira kalau itu adalah kejadian nyata?" Narasumber di TV masih terus berbicara. Sekarang otakku sudah bisa mencerna semua pembicaraan itu bahkan tanpa aku menginginkannya.

"Ah, fanfiction. Ya bertahun-tahun hidupku seperti fanfiction. Tidak salah." Aku berbicara sendiri.

Kubaringkan lagi tubuhku di kasur. Kupejamkan mataku. Di kejauhan kudengar suara burung dan sesekali suara kendaraan yang lewat dibawah gedung apartemenku.

Tiba-tiba tubuhku seperti memiliki keinginannya sendiri.

Tanpa kupaksakan untuk mengingat, bibirku mengingatkanku pada kelembutan bibirnya, dalam sesi ciuman yang seakan tidak akan pernah berakhir. Ah, kugigit bibirku, tapi tubuhku menolak untuk berhenti. Terasa desiran aneh di pahaku, seperti jari-jari panjang yang dimainkan menggelitik semakin lama semakin naik, sampai akhirnya..

"HAH!!!" Aku berteriak. Langsung kuberlari ke kamar mandi, kunyalakan shower dan kuberdiri dibawahnya. Dengan pakaian lengkap.

Tapi, apapun usahaku, ternyata otakku sangat keras kepala. Atau mungkin tubuhku sudah sebegitu mengingat rasa itu, sehingga otakku tidak lagi bekerja. Kini syaraf-syaraf perasa di sekujur tubuhku bekerja sendiri, memanggil semua memori.

Tiba-tiba kurasakan hembusan nafasnya dileherku. Alih-alih ketakutan, mulutku justru mengeluarkan desahan yang tidak bisa kutahan. Aku menyandarkan kepalaku ke dinding kamar mandi, merasakan sensasi tangan-tangan yang tidak ada merayapi payudaraku, lidah-lidah imajinasi yang menjilati perutku semakin turun dan terus turun. Lalu rengkuhan itu terasa, begitu kuat, keras mencengkeram bahu dan pinggulku.

"Master, oh, master" Jeritku.

Tapi itu bukan dia, bukan master. Melainkan jari-jari tanganku sendiri yang menghunjam masuk kedalam tubuhku diantara kedua belah pahaku. Tanganku bergerak seperti mesin yang tidak bisa kukontrol lagi, masuk, keluar, masuk, keluar.

Tubuhku terasa panas, lebih panas daripada air panas yang menghujani tubuhku. Napasku terengah-engah, seirama dengan ritme jemariku. Rasa itu mulai muncul, naik, naik ke dadaku, mencekik leherku. Aku tak bisa bernapas. Ujung jariku seperti mengeluarkan gelombang kenikmatan yang tidak tertahankan. Aku terduduk di lantai kamar mandi. Kututup mataku dan berusaha keras merasakan sisa-sisa gelombang itu yang sedikit demi sedikit meninggalkan tubuhku.

Di saat itu ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk. Dari nomer tidak dikenal.

Tanpa pikir panjang, kubuka pesan tersebut. Aku tau siapa yang mengirim pesan itu.

"Hei kau perempuan jalang. Apa yang kau pikir kau lakukan, hah?"

"Kau mau uang, atau apa? Rumah? Mobil? Kau mau memeras kami, hah?"

Ah, aku tersenyum. Dia tidak berubah. Dia masih yang dulu.

"Temui aku tempat biasa hari Rabu minggu depan jam 2 pagi."

"Datang sendirian. Ini antara kau dan aku."

Aku tidak membalas pesan tersebut. Pesan dari dia tidak pernah perlu dibalas.

Alih-alih yang kulakukan adalah menscreenshot pesan tersebut, lalu kusave kedalam cloud drive.

Tiba-tiba kurasakan panas di pipiku. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Tidak, aku tidak sedih. Justru bibirku menyunggingkan senyum yang lebar, teramat lebar. Lalu aku mulai tertawa. Tertawa sendiri, basah kuyup berdiri di tengah apartemen setengah kosong. Seperti orang gila.

Aku tidak bisa menahannya. Kebahagiaan seperti meledak keluar dari dadaku.

Akhirnya, Master, kita akan bertemu lagi.

•••
Next chapter:
Kamis, 26 Nov 2020

Sambil menunggu update bantu vote dan kasih komen di bagian yang kalian suka ya
Follow juga IG aku @zeedoori

Thank you for reading 💜

Master's Mind [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang