72. Are You Happy Now?

1K 60 43
                                    

"Korea gempar! Jin BTS mengumumkan pernikahannya!"

"Jin BTS akan menikah 1 minggu lagi, hanya 1 bulan sebelum wajib militer."

"Siapakah mantan ulzzang yang menjadi calon istri Jin BTS?"

"BigHit merilis foto-foto prewedding Jin BTS dan calon istrinya yang non-selebriti."

"ARMY menuntut Jin dikeluarkan dari BTS"

Aku mengerang kesal. "Hentikan, Seokjin. Aku tidak mood." Aku mendorong dada Seokjin keras-keras.

Seokjin menyingkir dari atas tubuhku, duduk di sebelahku dengan wajah khawatir.

Aku merapikan t-shirt tidurku, meraih remote TV di ujung tempat tidur lalu mematikan TV dengan gusar. Matahari bahkan belum lama terbit, tapi semua acara televisi diisi oleh berita yang sama: Pernikahanku dengan Seokjin.

"Kau tidak apa-apa?" Seokjin bertanya hati-hati. Ia memegang bahuku dengan perlahan.

Aku menyentakkan tangannya, menggosok wajahku keras-keras dengan tanganku sendiri. "Apa aku kelihatan seperti baik-baik saja, Seokjin? Kau punya mata kan? Kenapa tidak kau pakai matamu itu dan pikir sendiri bagaimana perasaanku sekarang?"

Seokjin menarik tangannya, menggigit bibirnya. Ia tampak sangat sedih.

"Maafkan aku." Aku menghembuskan napas keras. "Perasaanku benar-benar sedang tidak baik."

"Ini tentang pernikahan kita, kan?" Ia menunduk dalam. "Kau tidak senang."

"Aku senang bisa menikah denganmu. Sungguh." Aku bangkit dari tempat tidur. "Tapi tidak begini caranya Seokjin. Yang kau lakukan, bukan melamarku. Kau menjebakku."

"Kurasa, kita bisa undur tanggalnya, mungkin..." Ia menjawab dengan nada tidak yakin.

"KAU SUDAH GILA, KIMSEOKJIN?" Aku membentaknya keras. "Setelah semua press release, keluarga kita, undangan yang sudah disebar, teman-temanku yang sudah membeli tiket pesawat...ARGH!!! SEMUANYA!!! Lalu kau segampang itu berpikir buat mengundurkan tanggal?"

"Maaf." Ia berbisik. Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar.

Aku hanya diam memandangnya dengan kemarahan yang tidak bisa lagi kutahan. Segala kalimat balasan berputar dalam kepalaku yang pening, tetapi aku tidak bisa menemukan satu kalimat pun yang bisa mengungkapkan betapa mendidihnya darahku saat ini.

Aku membalikkan badan, merogoh tas tanganku. Kuambil rokokku, lalu berjalan keluar kamar. "Fuck, Seokjin. Kukira dengan kembali padamu aku akan bisa berhenti merokok. Ternyata sekarang aku justru merokok lebih banyak." Aku menjerit frustasi.

Aku menuju balkon, satu-satunya tempat di apartemen ini yang bisa kupakai merokok. Kubanting pintu balkon sekuat tenaga. Pintu kaca itu tertutup dengan suara kencang menyeramkan, aku bahkan bisa melihat lembaran kacanya bergetar keras.

Kupantik rokokku dengan tangan gemetar. Butuh tiga kali percobaan sampai akhirnya rokokku menyala. Kuhisap asapnya dalam-dalam, lalu aku terbatuk-batuk kencang. Sial. Saking marahnya aku, aku menarik asap lebih banyak daripada yang paru-paruku dapat tahan.

Aku berjongkok, kedua tanganku memeluk lututku, kepalaku menunduk diantaranya. Aku mulai menangis. Aku sungguh-sungguh lelah dan marah.

Aku masih teringat malam itu, 3 minggu yang lalu saat aku kembali ke Korea Selatan.

Keanehan sudah kurasakan semenjak hari pertama. Seokjin memaksaku untuk terbang ke Busan, dan bukan ke Seoul. Semua barangku yang kukirim ke alamat apartemennya akan diurus oleh manajernya.

Sebulan sebelumnya, ia memaksaku untuk mengenalkannya ke orang tuaku melalui video call. Dan di hari kedatanganku, ia lagi-lagi memaksaku untuk diperkenalkan langsung dengan orang tuaku.

Master's Mind [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang