Prolog
Waktu merupakan hal yang paling berharga bagi sebuah permulaan cinta. Betapa banyak orang larut untuk terus membuka kisah, kisah yang akan dibayarkan pada setiap momen yang tercipta. Banyak orang terjebak dalam lika-liku mendayun haluan pandangan untuk pertama kali, mengikat hati yang berusaha untuk tetap tertutup. Waktu menciptakan awal yang indah untuk sebuah pertemuan. Senyum yang disajikan akan terus diingat dalam ingatan. Abadi mengikat dalam setiap lembaran hari yang diiringi sayup wajahnya pada imaji.
Ada yang bilang, masa sekolah merupakan sesuatu yang indah untuk dijalani. Banyak tercipta momen yang membentuk jati diri, permusuhan, dan termasuk cinta itu sendiri. Ada kalanya pahitnya pertemanan membentuk sebuah permusuhan. Ada pula tatap-tatap mata yang tak sengaja berubah menjadi benih-benih yang disebut sebagai cinta. Cinta tak seperti buah yang jatuh begitu saja, namun terdapat serangkaian proses yang membentuk sekuntum bunga ranum yang perlahan dipetik oleh pemilik cinta. Setiap orang pasti akan selalu mengingat masa-masa orientasi siswa yang begitu menarik itu. Senyum, tawa, serta canda bercampur dalam satu momen kebersamaan. Hati yang penuh keragu-raguan masa remaja kini diwarnai oleh permulaan menuju kedewasaan yang ditempa untuk mengenali lingkungan baru.
Sentak hati mendengar bentakan para senior tentu saja menjadi kecemasan tersendiri, namun itulah daya tariknya. Cemas bercampur penasaran akan wajah manis kakak kelas yang berwajah masam tidak urung membuat setiap diri beranjak pulang. Tidak akan ada lagi momen-momen seperti itu kembali, kecuali di sana.
Setidaknya itulah yang Freya rasakan tatkala itu. Ia sempat takjub oleh lingkungan SMA yang baru hingga ia memikirkan banyak hal ketika bertemu dengan orang baru. Setiap orang membawa barang-barang unik sebagai properti yang diwajibkan oleh para senior. Pikirannya seketika tersentak ketika kecemasan itu memuncak. Freya tidak membawa barang penting yang seharusnya dibawa di hari pertama orientasi ini. Ia telah mencari keseluruh celah tas, tetapi tidak ditemukan tas karung yang sudah ia buat semalaman suntuk itu. Padahal, seluruh tenaganya sudah digunakan untuk menghias karung tersebut dengan motif daerah asal masing-masing.
Cemasnya kini tertuju kepada orang diseberangnya yang habis dimarahi oleh senior laki-laki. Hatinya bergetar ketika melihat wajah cemas teman baru satu angkatannya tersebut, berkabung malu ketika seluruh orang menoleh padanya. Freya membenamkan wajahnya di antara lutut. Ia lupa menaruhnya tadi pagi karena terburu-buru. Kecemasannya bertambah ketika melihat barisan orang-orang yang tidak lengkap membawa atribut, kini diminta untuk melakukan hukuman berlari di lapangan basket. Memang, mengelilingi lapangan basket bukanlah hal yang rumit, tetapi wajah malu ini tak bisa ia tutupi. Seorang senior berawajah sinis pun turut hadir di tengah-tengah mereka yang tengah menjalani hukuman.
“Kenapa?” tanya pria di sampingnya.
Ia tidak menghiraukan pertanyaan tersebut. Mata Freya hanya sibuk memerhatikan barisan di samping pria tersebut yang sudah mulai bergerak menunjukkan seluruh atribut. Sebentar lagi merupakan giliran barisan dirinya.“Hey, gue tanya kenapa? Lo pucat,” ucapnya lagi.
Barang yang ia cari benar-benar tidak ada di dalam tas. Meskipun ia tahu barang itu tertinggal, Freya tetap saja mencarinya di dalam tas, berharap keajaiban datang.
“Gue lupa bawa tas karung. Mati gue!” balas Freya dengan cemas.
“Oh, begitu ….” Pria itu berdiri untuk bergerak ke depan. Gilrannya kali ini untuk menunjukkan properti yang diminta. “Nih, gue enggak butuh.”
Tas karung miliknya mendarat tepat di wajah Freya. Wangi cat lukisan pada permukaan karung kini menyeruak ke rongga hidungnya. Sayup-sayup ia tatap pria tersebut. Pria berwajah manis dengan kulit yang bahkan lebih cerah darinya itu menunjukkan aura yang tak biasa. Ia tersenyum lebar di tengah siswa lain yang kini berdegup kencang memikirkan komentar para senior yang mereka hadapi. Hatinya tambah bergetar tatkala menatap senyum pria tersebut yang tidak sedikit pun gentar akan hukuman yang akan dihadapinya nanti.
“Ini kan punya lo?” tanya Freya. Ia menggenggam karung itu dengan tangan dingin yang bergetar. Perutnya perlahan mulas karena gugup yang menggerogoti hatinya. Cemas begitu tampak tak bisa dihindari. Terlihat pucat dengan mata yang memerah.
“Ya … tapi, gue enggak butuh.” Ia malah tersenyum.
“Enggak butuh bagaimana? Lo bisa kena hukum,” ucap Freya dengan cemas
Ia memberikan jempolnya. “Gue ini Raka … gue enggak takut sama siapa pun.”
Freya seakan tidak percaya dengan kalimat pria tersebut. Seseorang yang sama sekali tidak ia kenali kini berkata bahwa ia tidak takut dengan siapa pun. Bagaimana bisa seseorang tidak menyimpan rasa takut? Sementara seluruh siswa kini hanya bisa menatap senior dengan wajah datar. Tidak dengan pria yang sekarang tengah melangkah ke depan.
Tidak ada sepatah kata pun yang sanggup ia katakan kepada pria itu. Terima kasih yang tertahan hanya ia sampaikan melalui kata hati dan tatapan sayunya menyorot kebaikan hati. Dari lembut senyuman pria yang sangat ingin ia tanyai namanya, mengantarkannya pada awalan waktu pada pandangan pertama. Pandangan itu menyentuhnya, membelai perasaan yang menumbuhkan sebuah rasa. Dirinya merasa menjadi wanita yang paling spesial hari itu.
Bunga sakura seakan jatuh di tengah pandangan pertamanya itu. Cinta berkata jangan pernah pergi. Abadi hingga musim akan terus berganti. Rasa berucap untuk tidak padam. Cemerlang hingga mengusir kelam.
Akankah engkau mengenalku?
Aku butuh lebih … Akankah engkau menjadi milikku?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
JugendliteraturFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...