53. Hancur

65 10 0
                                    

53. Hancur

Pernahkah hati yang teguhnya bukan main itu ternyata hancur di dalam satu waktu? Bunyi pecahnya bergema dalam ruang sunyi yang dingin, persis seperti malam penuh badai menghantam. Tak akan mampu mata menatap lagi, cahaya sudah redup oleh serpihan hati yang berderai pecah. Kepingan-kepingan itu terpisah jauh melekat dengan pembatas yang berupa jurang dalam sekali, gelap, dan dingin. Merengkuh kepingan-kepingan itu tidak bisa kembali karena rumah tempatnya bernaung sudah hancur diderai oleh air mata. Yang hanya dilakukan ialah mengikuti arus air dari jurang tinggi itu, mencari tempat bernauh, yaitu hati yang baru.

Jikalau cinta itu menyakitkan, benar rasanya rindu itu begitu perih dirasakan, terutama semenjak momen tangan bergandeng mesra itu. Adegan tersebut kembali tertayang dalam lamunan Freya yang singkat atau buah tidur yang tidak sengaja singgah untuk menggaduh ketenangannya. Benar sekali kata orang bijak, cinta menjadi kekuatan yang melemahkan, di sambing kekuatan yang bisa diberikan. Ia termasuk yang dilemahkan oleh cinta itu sendiri. Tangisnya tak henti keluar di ujung kamar, sembari mencabik selembar kertas buku harian yang terlalu banyak disebut nama pria itu.

Tak berkesudahan hati memikirkan itu, terlalu kuat menancap pisau yang disebut oleh patah hati pada Freya. Sulit untuk mencabut ingatan yang perih itu, Freya biarkan tetap tertanam hingga sampai ada seseorang yang bisa mencabutnya. Sudah tak bisa ia lihat lilin kecil yang ia hidupkan pada Freya, bahwasanya suatu saat ia akan bersama pria itu, meskipun ia harus memendam perasaan selama mungkin. Namun, cukup sudah harapan kecil itu sirna dalam satu malam. Raka sudah menjadi pemilik hati seseorang. Seseorang itu merupakan orang yang ia kenal dengan baik,  seseorang yang ia kagumi, dan seseorang yang ia hormati. Pada akhirnya ia sadar, seluruh kedekatan Raka bersama Karin ternyata menyiratkan sesuatu. Masing-masing dari mereka menitipkan cinta.

Bagaimana bukan jika sudah seperti itu, mereka tidak saling menitipkan cinta. Freya tahu sentuhan cinta maupun bukan, tangan yang saling tergenggam menandakan sebuah hubungan yang erat, yaitu romantisme asmara, bukan romantisme pertemanan. Kepala yang menindih bahu bidang Raka menyimpulkan bahwasanya Raka mengizinkan romantisme itu dilihat oleh setiap orang yang menatap. Tidak ada ragu yang ditampakkan oleh mereka waktu itu. Mereka benar-benar berpacaran, sementara itu Freya tetap di belakang merasakan retaknya hati tatkala melihat kemesraan.

Freya mengecamkan satu hal di dalam hatinya, Raka bukanlah miliknya. Raka bebas memilih siapa saja untuk memetik cinta darinya, meskipun bukan dirinya sendiri. Hati tidak akan bisa dipaksa untuk memilih. Hati memiliki arahnya sendiri tanpa paksaan. Jika benar Raka sudah memiliki Karin di dalam hatinya, Freya tidak bisa apa-apa lagi. Lagi pula mereka cocok untuk disandingkan berdua, tidak seperti dirinya. Ia patut untuk sendiri dalam keramaian, menantikan ada sosok pria yang akan merubah arah hatinya.

Hingga pagi, Freya masih bermata sembab oleh tangis tadi malam. Terasa sekali tenggorokannya seperti berduri, sakit setelah menelan. Ia terbatuk tatkala memberi makan ikan maskoki pemberian Arion. Tubuh Freya panas, tetapi ujungnya dingin seperti membeku. Angin segar pagi bukannya menambah kesegaran, tetapi malah semakin membuatnya menggigil.

Melihat ikan pemberian Arion, ia merasa bersalah meninggalkan Arion malam tadi. Sungguh, ia terlalu malu untuk menangis di hadapannya. Ia hanya ingin sendiri, oleh karena itu pergi tanpa kata-kata.

Maafin gue, Arion ....

Mama membuka pintu kamar Freya.

“Freya, bangun ... kamu harus siap-siap ke sekolah.” Seketika insting seorang ibu bekerja. Ia tahu bahwasnya sedang tidak ada yang beres dengan anaknya pagi ini. “Freya, kamu sakit? Wajah kamu pucat.”

Freya mengangguk kecil. Ia tidak ingin ke sekolah hari ini, tidak ada gairah sudah. Sakit demam yang ia derita hari ini menjadi kesempatan untuk tidak masuk sekolah.

“Iya, Ma. Tubuh Freya panas dan tenggorokan Freya sakit. Kayanya gara minum es tadi malam, deh.”

Segera Mama memerika keadaan tubuh Freya. Ia rasakan tubuh anaknya itu sedang dalam keadaan demam. Keadaan ini tidak memungkinkan bagi Freya untuk pergi sekolah. Tangannya kemudian membelai rambut Freya.

“Ya sudah, kamu istirahat hari ini. Lain kali, kamu kalau pergi mesannya minuman hangat aja. Nanti, Mama titip surat sama Raka.”

“Iya, Ma ... Freya juga minta maaf karena enggak bisa sekolah hari ini.”

Mama mengangguk. Ia pun mempersilahkan Freya untuk kembali melanjutkan tidur. Surat izin sakit akan dibuat dan diberikan kepada Raka sebagai titipan kepada Wali Kelas.

Tidak ada pilihan lain, selain beristirahat di atas ranjang seharian penuh. Demamnya perlahan membaik, tetapi tenggorokannya masih saja sakit. Suara Freya bahkan berubah serak. Suaranya parau ketika memanggil kucingnya untuk mendekat. Sekeras apa pun demam ini, tak bisa mengalahkan perihnya hati yang ia rasakan. Tetap saja terpikirkan, meskipun Freya berusaha keras untuk melupakan.
Freya tetap melakukan aktivitas agar meredakan pikiran negatif dan rasa bosan di kamar. Sesekali Freya bermain game konsol miliknya untuk melanjutkan progress petualangan yang kemarin. Penat bermain game, ia lanjutkan pula dengan menonton anime Sword At Online untuk melihat gaya karakter Asuna karena ia akan memerankan cosplay dari karakter tersebut. Saking gilanya Freya hari ini, ia malah mengajak ikan maskoki untuk berbicara. Ia bercerita mengenai risalah hati yang sedang ia rasakan kepada sepasang ikan. Ia pun meminta maaf, berharap Arion mendengarnya dari sana. Cerita Freya tersebut berakhir dengan rasa kantuk. Perlahan, kepalanya jatuh ke atas meja tersebut dan tertidur dalam keadaan terduduk.

Entah jam berapa saat itu, Freya terjaga oleh ketukan pintu. Ia membalikkan kepala sembari bersuara bahwasanya ia mengizinkan pintu dibuka. Matanya seketika terbuka lebar tatkala seorang pria yang meminta nomor handphone-nya kemarin kini berada tepat di ujung pintu kamar Freya.

“Kak Adit, kenapa bisa di sini?” Freya terheran-heran melihat Adit yang datang. Pria itu bahkan masih memakai seragam sekolah.

“Ini kamar gadis, jadi gue duduk di sini aja.” Kak Adit duduk tepat di daun pintu. “Gue baru pulang sekolah. Tadi pagi gue denger lo lagi sakit, makanya gue mampir buat ngejenguk lo.”

“Hmm gue memang lagi demam, Kak. Lemes banget tubuh gue.”

“Gue bawa sesuatu.” Adit mengeluarkan kantung apel yang ia beli dari perjalanan pulang adi. Lalu, ia meletakkan kantung di permukaan meja dekat pintu. “Buahnya di makan semua, gue enggak mau ada sisa. Jadi, bagaimana keadaan lo sekarang? Udah membaik?”

Freya berusaha untuk tersenyum. Hatinya senang apabila ada orang yang menjenguknya di kala sakit. Biasanya, Lani selalu menjenguk dirinya. Mungkin saja, hari ini ia tidak sempat. Freya masih berencana untuk tidak sekolah esok hari karena motivasi yang kurang.

“Demamnya udah turun, pusingnya masih tinggal. Kakak tahu rasanya kalau tenggorokan lagi sakit? Kaya ada duri-durinya gitu.”

“Hahah ... gue jarang sakit. Mungkin gue enggak punya sensor sakit. Kalau sakit, itu pun masih dipaksain buat main.” Adit tertawa kecil menanggapinya. Ia tatap mata lemah Freya. Meskipun begitu, baginya Freya tetap manis dengan rambut yang diikat. “Semoga lo cepet sembuh, ya. Biar lo bisa pergi ke sekolah lagi.”

“Iya, Kak. Kakak juga jaga kesehatan biar enggak sakit. By the way, makasih karena udah ngasih apel.”

Adit mengangguk. “Iya, sama-sama. Kalau lo butuh sesuatu, lo bisa hubungi gue. Misalnya lo butuh dibelikan sesuatu di luar atau lo butuh temen, gue pasti datang. Mama lo juga nyuruh itu.”

“Makasih, Kak. Kakak baik banget. Gue bakal ngehubungin Kakak kalau ada sesuatu,” jawab Freya.

“Kakak balik dulu.” Satu helaan napas dengan senyum kecil, Adit keluar dari kamar Freya. Namun, ia kembali lagi sesaat teringat oleh suatu hal. “Oh, Freya ... kalau lo udah sembuh nanti. Lo bisa datang ke rumah gue? Ibu pengen buat kue sama lo. Katanya, lo pandai bikin kue.”

“Wah, beneran? Iya, deh. Nanti Freya kabarin kalau udah sembuh. Freya pasti datang, kok. Mama juga pasti seneng kalau gue bantuin ibunya Kakak.”

Anggukan Adit menyisakan janji yang akan ditepati oleh Freya setelah sembuh.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang