63. Salahkah?

57 7 0
                                    

63. Salahkah?

Apakah Freya salah?

Semua ini hanyalah ketidaksengajaan yang bertaut pada kesempatan yang pelik. Freya tidak ada menginginkan hal tersebut, bahkan jika bisa ia menghindari pria itu. Namun, Freya tetap menghargai itikad baik Raka yang mengajaknya duduk berdua dalam koridor sebatas teman. Hanya itu, tidak akan pernah lebih. Ia tidak ada bermaksud untuk membagi rasa kepada Raka karena rasa itu sedang ia usahakan tumbuh kepada Arion.

Tidak ada bunyi dari Arion, setidaknya untuk dua hari ini. Malam kemarin tempatnya Freya kembali berusaha menemui Arion di toko bunga, tetapi tidak ada satu orang pun yang berada di sana. Setahu Freya, Arion akan bermalam di toko bunga setiap hari. Keesokan harinya, Freya menuruti keinginannya untuk kembali mengunjungi rumah Arion. Rigel, adiknya Arion, hanya mengatakan bahwasanya Arion sedang di luar semenjak pagi hari. Hanya saja, gadis itu tidak tahu ke mana kakaknya pergi. Bahkan, ibunya pun turut berkata hal yang sama. Arion hanya pergi keluar bersama teman-teman.

Freya mencoba untuk menghubungi pria itu berkali-kali. Tidak ada satu pun panggilan yang berhasil dijawab. Arion seakan tenggelam di lautan, tidak timbul ke permukaan dalam dua hari ini. Entah ke mana dirinya, Freya pun tidak tahu. Seperti biasa, tentu Freya akan bercerita kepada Lani mengenai hal tersebut. Lani selalu ada solusi baik ketika Freya memintanya, meskipun ia sering dibuat kesal. Suara Lani pun berbunyi dari balik handphone-nya. Sementara Freya, duduk berpangku tangan di atas meja sembari menyentuh kaca aquarium ikan maskoki pemberian Arion.

“Lo sih udah punya pacar, tapi malah duduk berdua sama cowok lain. Lo itu belum cocok buat jadi fakgirl. Bagaimana, sih?” tanya Lani dengan penuh penekanan.

“Gue enggak ada maksud berduaan sama Raka. Gue itu enggak sengaja ketemu Raka di minimarket, terus dia secara paksa ngetraktir gue mie cup. Enggak mungkin gue pergi gitu aja, kan?” balas Freya mengklarifikasi.

“Terus Arion ngeciduk kalian, begitu?”

Freya menggeleng. “Enggak, sih. Tapi, dia tahu kalau gue lagi duduk sama Raka. Kayanya dia di bus kota atau lagi ngelintas pakai motor. Gue enggak tahu juga.”

“Besok kan ujian ...  kali aja dia enggak bisa diganggu, walaupun sama pacarnya sendiri. Tenang, besok kalian bakalan ketemu. Bicarain itu baik-baik.”

“Gue ngerasa enggak enak hati banget sekarang. Gue takut Arion kecewa dengan gue,” balas Freya.

“Arion itu orangnya dewasa, enggak mungkin dia bakalan ngambek terus. Wajar aja sih kalau cowok cemburu waktu lihat ceweknya lagi berdua dengan cowok lain. Tapi, Arion bakalan paham kok kalau lo ngejelasinnya baik-baik.”

“Iya, gue harap begitu.” Freya menatap jendelanya. Matahari sudah sangat condong ke barat. “Ya sudah, gue terima saran lo. Gue besok bakalan bicara baik-baik sama Arion. Itu aja ... makasih banyak ya Lani. Ganbatte! Semangat belajar buat ujian.”

“Iya, Beb. Lo juga ....”

Berhela panjang napas Freya sesaat mematikan sambungan panggilan. Kini, ia harus mengosongkan pikiran negatif itu agar mempersiapkan mental untuk ujian besok. Pikiran jernih haruslah dibawa untuk ketenangan. Dengan ketenangan, ia akan bisa meraih nilai yang baik ketika ujian. Mengingat, nilai ini sangatlah ia butuhkan untuk bisa lulus di universitas tanpa mengikuti tes. Freya sangat berharap bisa masuk universitas dengan jalur undangan.

Jika menelisik di kemampuan rata-rata murid di kelas, Freya sadar ia tidak menjadi yang terbaik di kelas, kira-kira hanya menengah dari seluruh murid. Namun, ia dibilang cukup rajin. Buktinya ia tidak pernah ketinggalan tugas satu pun karena ia terbiasa meng-list daftar tugas dan dikerjakan secepatnya. Ia tetap berusaha belajar, meskipun ia tidak pernah mendapatkan peringkat di atas lima besar. Berbanding terbalik dengan Lani. Gadis itu memang malas belajar dan buat tugas, tetapi peringkatnya lebih baik daripada Freya. Ya ... dia memang murid yang cerdas di kelas.

Detik jarum jam bersenandung di senyapnya goresan pena. Freya memusatkan pikiran di hadapan buku dan catatan yang ia tulis. Ia pantang menghapal, lebih baik memahami sebuah persoalan. Jika menghapal, baginya tak akan menyesap ke dalam pikirannya dan mudah lupa.

Handphone Freya berdering. Tatap mata Freya tertuju kepada layar yang hidup. Tulisan kecil itu memperjelas seseorang yang sedang menghubunginya, yaitu Arion.

“Gue di luar. Turunlah ....”

“Arion―” Dengung panjang terdengar akibat Arion mematikannya secara sepihak.

Segera Freya menutup buku dan melihat melalui jendela. Benar, seorang pria berjaket tengah menunggunya di luar. Langkahnya yang cepat hingga membuat heran Mama yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Freya membuka pintu. Arion tengah berdiri di depan gerbang seperti sebuah patung yang kaku. Tatapan lemah pria itu menuntun Freya untuk mendekat.

Tepat setelah Freya menggeser gerbang dan berdiri di hadapan Arion, tangan dingin pria itu melekat pada wajahnya.

“Lo rindu gue?”

“Iya, gue rindu lo. Lo menghilang dua hari tanpa kabar.” Mata Freya tertuju ke arah dinginnya pandangan Arion. “Gue enggak ada maksud buat ngecewain lo. Yang kemarin itu―”

“Temenin gue nyari makan. Gue laper.”

“Lo itu selalu aja memotong kalimat orang lain.” Dahi Freya mengernyit kesal. “Besok kita ujian. Besar kemungkinan gue enggak boleh keluar.”

“Hanya orang bodoh yang belajar sehari sebelum ujian. Jadi, selama ini lo ngapain?” Arion tersenyum pelan, meskipun tak terlalu memberikan kesan. “Biar gue yang bicara sama Mama, pasti diizinkan.”

“Itu karena lo udah pintar sejak lahir. Kami perlu berusaha lebih keras daripada orang-orang kaya kalian.”

Arion menggeleng. “Enggak ada orang yang terlahir langsung pintar. Semuanya butuh belajar. Tetapi, gue lebih dahulu belajar daripada orang-orang seperti kalian.”

Nada bicaranya yang datar dan sinis memberikan dua kesan, menyindir atau bercanda. Sudah Freya pahami, pria itu memang pembawaannya seperti itu sehingga ketika bercanda pun terdengar serius. Setalah mengatakan hal tersebut. Arion mendahului Freya untuk masuk ke pekarangan rumah tanpa basa-basi.

“Arion, lo mau ke mana?” Langkah Freya ikut bergerak berkat tangan Arion yang menggenggamnya.

“Ketemu mertua gue. Gue harus minta izin buat ngebawa anaknya keluar. Itu cowok yang keren, kan?”

Berhentilah menyebutkan defenisi cowok keren!

Lo udah keren meskipun enggak ngapa-ngapain.

Freya tersenyum mendengarnya. Detak jantungnya bergerak dua kali lipat, terutama tatkala tangan Arion yang terus menggenggam Freya. Seakan tidak ingin lepas, ia biarkan kagum sesaat ini menjamah dirinya dan begitu pula dengan Arion.

***



Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang