11. Lihat Saja!

107 11 0
                                    

11. Lihat Saja!


Salah satu alasan Freya tidak ingin menunjukkan diri di depan orang-orang populer ialah kesombongan. Tawa mereka menyiratkan bahwa selalu ingin diperhatikan. Kumpulan mereka tersimpul bahwa mereka tidak ingin ada yang mendekat. Gelak tawa di keramaian itu menandakan dominasi. Freya tidak mengerti kenapa ia harus menerima semua ini. Seumur hidup tidak pernah baginya mendapatkan musuh, kecuali saat ini. Saat-saat kritis di mana dirinya harus mencari jati diri, menemukan makna kebahagiaan, serta menelusuri lika-liku cinta yang penuh misteri.

Perasaan itu begitu mendalam menyesap kesedihan di dalam benak. Tidak peduli ia rasa sakit di wajah ia rasakan, namun ia tidak menerima jika hati ini dilukai. Ia sudah direndahkan begitu hina hingga menangis tersedu-sedu. Namun, apalah daya jika Freya hanyalah murid biasa yang sedikit pun tidak mempunyai pengaruh. Jangankan pengaruh, teman saja bisa dibilang tidak banyak. Tidak ada daya baginya untuk melawan dan tempat mengadu. Ia masih merasa sendirian di tengah naifnya hati untuk bersedih.

Seberusaha mungkin Freya menyembunyikan bekas cakar yang menggores ujung matanya dengan bedak. Ia takut jika Lani turut marah dengan perlakuan Vioni. Lani tidak akan diam jika ia mengetahuinya, tidak peduli yang ia lawan itu merupakan seorang Vioni. Satu hal yang paling tidak ingin orang itu mengetahuinya ialah Raka. Ia tidak ingin menganggu ketenangan Raka di sekolah ini.

Tangan Freya menjelajahi ujung-ujung buku di perpustakaan. Ia suka dengan perpustakaan, terutama di bagian buku-buku novel dan komik yang berada di rak khusus. Wangi perpustakaan menggugah keinginannya untuk segera duduk sembari membaca dan mendengarkan lagu dengan tenang. Tempat ini terdengar sunyi, meski pun banyak murid yang sedang duduk di meja bundar lesehan. Suasana tenang ini hanya bisa ditemukan di perpustakaan.

Freya terhenti di sebuah buku novel romantis. Langkahnya menetap bukan karena keinginannya untuk bersua segera dengan buku tersebut. Namun, seorang pria tegap dengan rambut lurus setelinga itu tengah berdiri di rak buku novel sembari mendengarkan musik di telinganya. Tangannya terpegang beberapa buku komik yang sudah pernah Freya baca. Senyum Freya melebar, Arion diam-diam membaca buku yang acap kali disebut sudah tidak cocok lagi untuk orang-orang seumurannya.

"Eh, elo Freya ...." Arion menyadari kehadiran Freya. Ia melepaskan headset yang terpasang di telinga. "Mencari buku?"

Freya mengangguk. Sempat ia tatap wajah Arion sebentar, lalu kembali menoleh pada rak buku.

"Iya, gue kehabisan stok buku novel yang akan dibaca," balasnya.

"Oh begitu, baiklah." Arion melangkah menjauh.

Begitu aja?

Tak sudi ditinggalkan, Freya mengikuti langkah Arion. Pria itu membawa sesuatu yang membuatnya tertarik.

"Lo suka komik? tanya Freya.

Arion berbalik. Ia angkat beberapa komik yang sedang ia genggam di tangan.

"Ini?" tanya Arion. "Gue kebetulan lewat di sebuah meja dan di sana ada tumpukan komik yang belum dikembalikan."

"Kalau lo suka, bilang aja ke gue. Gue punya banyak," ucap Freya sembari tersenyum

Pria itu hanya mengangguk. Tidak lama kemudia ia menarik sebuah bangku untuk duduk di hadapan tumpukan komik yang ia bawa. Tidak ada sedikit pun gelagat Arion untuk mengajak duduk bersama Freya. Ia seakan tidak mempedulikan kehadiran wanita itu. Wajahnya yang dingin serta mata yang selalu sayu itu mengikat sebuah kesimpulan bahwa ia ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Namun, Freya malah ikut di sampingnya.

"Ceritakan gue apa menariknya dari sebuah komik?" tanya Arion tiba-tiba.

Helaan napas Freya terasa berat. Baru kali ini ia mendiskusikan buku bacaan faforitnya ini dengan seseorang. Selama ini, teman-temannya tidak ada yang peduli, bahkan Lani sekali pun. Hanya saja, Lani terkadang ikut membaca bersamanya tanpa mengerti esensi dari cerita komik tersebut.

"Lo bisa temukan hal yang berbeda dari hidup ini. Di sana tersajikan berbagai cerita yang bikin gue tertarik."

"Apa bedanya sama novel? Bukannya novel juga di dalamnya ada hal-hal yang kadang mustahil ditemukan di hidup ini."

"Misalnya?" tanya Freya.

"Misalnya, seorang wanita miskin yang menikah dengan pangeran. Cerita seorang cewek jelek yang malah disukai oleh kapten basket SMA."

Freya tersenyum. "Entahlah ... gue suka sama komik tanpa ada alasan khusus. Gue memang suka."

"Hahah ... kalian berbeda dengan gue."

"Maksud lo?" tanya Freya.

Tangan Arion membuka lembar demi lembar komik tersebut. Ia sentuh garis tebal wajah karakter utama wanita yang begitu cantik.

"Lihat ini ... menggambar berbeda dengan menulis. Novel hanya berupa kalimat-kalimat, namun komik berbeda. Komikus harus bisa menyentuh hati hati pembaca melalui garis-garis ini, lalu dipadukan oleh dialog antar karakter."

"Filosofis sekali, ya? Sepertinya lo paham tentang komik. Lo suka komik, kan? Jangan mengelak." Freya menyentuh garis wajah karakter wanita yang Arion tunjukkan.

Lengan baju Freya terangkat. Terlihat sebuah bengkak membiru pada pergelangan tangannya yang masih bertahan berkat kejadian kemarin. Tanpa Freya sadari, Arion sudah memerhatikan tangannya sedari tadi. Namun, ia tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat. Ia tahan tangan Freya untuk tidak terangkat, menyentuh bagian bengkak dengan seksama.

"Lo kenapa? Tangan lo ini." Arion menyorot mata Freya.

Napas Freya seakan berhenti. Tatapannya begitu tajam.

"Oh, bukan apa-apa. Gue kemarin jatuh dari sepeda."

"Jatuh dari sepeda? Ini bekas terkilir. Lo harus lebih berhati-hati." Arion melepaskan tangannya.

Begitu lembutnya hati pria itu. Tidak sama dengan wajahnya yang dingin kaku itu. Freya dibuat kagum oleh Arion. Namun, tetap saja rasa cemas itu kembali memuncak. Kembali teringat bagaimana seringai senyum Vioni yang mencoba menyakitinya di toilet wanita. Tidak bisa dielakkan, Freya dibuat mengigit bibir kali ini. Ia begiu takut jika hal itu kembali terjadi padanya.

"Iya, gue harus berhati-hati."

"Jujur saja sama gue. Gue tahu semuanya."

"Maksud lo?" tanya Freya.


"Vioni, kan?"

Freya tidak tahu harus menjawab apa. Ia biarkan pertanyaan itu terus mengawang di pikiran.

"Jawab gue!" paksa Arion. Wajahnya tegas untuk meminta jawaban secepatnya. "Diam berarti gue benar."

"Enggak, kok. Sumpah gue jatuh dari sepeda."

Kepala pria itu menangguk. Kembali ia angkut seluruh komik yang ia tumpuk di meja, lalu berdiri untuk bersiap pergi.

"Okelah kalau begitu. Kalau ada apa-apa lo bisa bilang ke gue, terutama Vioni."

Ia tidak sempat menjawab kalimat Freya. Dadanya terasa berdegup kencang oleh kalimat Arion yang memaksanya untuk menguak kejujuran. Desir darahnya yang mengalir membuat pupil matanya melebar karena takut. Air matanya perlahan tumpah. Sungguh, ia tidak ingin melanjutkan permasalahan ini.

Sementara itu, Arion berjalan menuju kelas untuk membaca komik dengan leluasa. Sedari kemarin ia sudah menunggu untuk berbicara dengan Freya tentang hal yang membuatnya menangis setelah keluar dari toilet wanita. Padahal, ia sempat kagum terhadap pakaian kimono yang sedang Freya kenakan.

Ia hentak meja Vioni.

"Vioni, berhenti menganggu Freya!" ucap Arion dengan nada tinggi.

Handphone yang sedang Vioni genggam hampir terjatuh. Hentakan tangan Arion di meja begitu kuat sehingga membuatnya terkejut. Seluruh teman-teman yang masih bertahan di meja menyorot Arion yang tiba-tiba naik pitam. Seorang yang selama ini jarang sekali berbicara, tiba-tiba datang dengan sebuah kejutan yang tidak biasa.

"Maksud lo?" tanya Vioni.

"Gue lihat lo keluar dari toilet cewek kemarin dan Freya menangis setelah itu. Lo kan pelakunya?" tanya Arion.

"Maksud lo apa-apaan, hah?" balas Vioni. Ia singkirkan tangan Arion dari mejanya.

"Vioni, sudahlah ... gue itu bukan tipe cowok yang tertarik sama cewek kaya lo. Sementang lo itu cantik dan kaya bisa buat gue tertarik, lo salah besar."

Napas Vioni tidak teratur. Sebuah tamparan melesat ke wajah Arion.

"Oke kalau begitu, gue berhenti ngejar lo. Tapi─"

"Tapi apa?" Nada Arion semakin tinggi. Ia menghentak meja sehingga membuat murid di di sekitar terkejut. "Jangan lo sentuh orang-orang yang lo anggap sebagai musuh."

"Enggak ada satu orang pun di sekolah ini yang bisa halangi gue, terutama lo." Vioni tunjuk dada Arion.

"Coba saja lo sentuh Freya lagi, lo yang kena imbasnya."

"Gue enggak bakalan sentuh Freya." Vioni menggeleng. "Menyingkirkan seseorang enggak perlu dengan fisik. Lihat saja!"

Vioni mendorong Arion dan pergi dari kelas. Selama melangkah ia genggam tangannya dengan kuat. Seseorang mengobarkan bendera perang dengannya. Ia tidak akan membiarkan hal ini.

Lihat saja! teriak Vioni di dalam hati.

***





Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang