20. Aneh

80 8 0
                                    

20. Aneh

Sungguh berdebar hati Freya ketika membayangkan dirinya bersanding berdua bersama Raka. Akan ada hari di mana panggung hanya diciptakan untuk mereka berdua, lalu memadu kekompakan bersama. Seluruh pasang mata akan tertuju kepada mereka dan menyadari betapa serasinya kedua kostum itu. Melekat ingatan bagaimana Raka menyetujui hal tersebut, di dalam hati Freya berharap sekali ia akan melakukanya. Pada akhirnya, realita pun menjawab sudah, Raka ingin membersamainya dua hari lagi.

Senja bersisa di ujung langit yang sedikit menguning. Awan-awan kecil menaungi Freya yang baru saja menaiki sepedanya, cahayanya berbercak membentuk garis-garis di langit barat. Freya menadahkan pandangan ke atas, terlintas bagaimana apabila dirinya pulang bersama Raka. Tentu saja ia akan menuliskannya besar-besar di dalam catatan harian malam apabila itu terjadi. Lalu, Raka akan berjalan di sampingnya yang sedang menggerek sepeda. Bercanda ria sepanjang jalan dan berpisah di ujung simpang.

Sebesar apa pun Freya berharap itu terjadi, ia tetap sadar akan diri sendiri. Mana mau Raka melakukan hal itu untuknya. Ia tak seberapa penting, kecuali sebagai teman satu club-nya. Freya ingin lebih dari itu, tetapi rasanya tidak mungkin saja orang setampan dan sekeren Raka ingin kepadanya. Tentu saja berbanding jauh dengan pamornya di sekolah selama ini. Raka mungkin lebih memilih orang-orang seperti Vioni yang selalu mendapatkan perhatian dan pengaruh. Sementara dirinya sendiri hanya berkuasa di kursinya sendiri, mengenal baik hanya satu orang, yaitu Lani.

Benar saja, baru Freya keluar dari parkiran sepeda, terlihat Raka keluar dengan motor sport-nya dengan seorang wanita. Ia bukanlah Karin yang biasa pulang bersama Raka, melainkan wanita lain. Tak heran bagi Freya menemukan Raka bersama orang lain, jangan pula berharap bersama dirinya.

Bersingkap tangan wanita itu di atas rok selututnya, lalu tersipu malu ketika duduk di belakang Raka. Freya hanya bisa berdiri di samping sepeda sembari melihat mereka lewat, tanpa sedikit pun bagi Raka untuk memandangnya balik, meskipun ia tak ingin dipandang jika dalam suansa seperti ini.

“Wow, Raka dengan wanita lain ....” Seorang pria berbicara di sampingnya.

Sontak Freya memandang ke samping, pria sipit bermuka dingin tengah berdiri dengan menggenggam tali tas. Tubuhnya tegap, dadanya berotot dengan sedikti tonjolan. Freya hanya setinggi dadanya yang bidang. Sedikit berbeda dengan pria-pria yang lain, seragamnya tetap dibiarkan apa adanya, tanpa sedikit pun dipermak untuk membungkus tubuh lebih ketat lagi. Tatkala ia memandang ke bawa, sepatunya hitam polos tanpa corak warna.

“Arion, sejak kapan lo di sini?” tanya Freya.

“Sejak lo bertanya itu, gue udah di sini ....”

Aneh sekali gaya bicaranya, Freya tak mengerti maksud dari kalimat Arion itu. Tak ia pedulikan, Freya segera naik ke atas sepeda.

“Oh, begitu ... gue balik dulu―” Kalimat Freya terhenti oleh sanggahan dari Arion.

“Bukannya teman selalu pulang bareng?” tanya Arion.

Wajah Freya memereng. Sebegitu kakunya Arion berbicara padanya. Dirinya bukanlah orang asing yang harus dibuat sekaku itu.

“Arion, kita memang teman. Tapi, jangan diperjelas lagi kalau kita adalah teman. Aneh banget tahu, enggak?” kritik Freya.

Tak ada respon dari Pria itu. Arion hanya lurus memandang Freya yang sedikit menaruh perasaan aneh kepada dirinya. Perlahan, tangan Arion merayap ke tas Freya, lalu menariknya agar kembali turun. Tarikan tangan Arion terkesan memaksa, hingga terpaksa bagi Freya mengikuti arah tangannya itu.

“Sebagai teman, lo cukup sadis menyebut gue dengan sebutan aneh,” balas Arion.

Freya menghela napas berat. “Sekali lagi gue bilang, jangan sebut kata 'teman' lagi. Kita udah tahu kalau kita sama-sama berteman. Okkay?”

“Baiklah, sahabat ....”

“Dasar aneh!” Freya menarik tasnya kembali, lalu segera naik ke sepedanya. Namun, Arion menghadang pergerakannya tepat di hadapan. Tangannya melebar agar Freya tidak pergi.

“Boleh gue ikut?” tanya Arion.

“Kenapa lo harus ikut?”

“Gue kehabisan uang untuk pulang. Sepertinya gue harus meminjam sepeda lo ....” Arion menempelkan telapak tangannya satu sama lain. Matanya penuh harap agar Freya mengiyakan permintaannya.

“Orang seperti lo bisa kehabisan duit? Heran gue ....”

“Gue enggak sekaya Raka,” balas Arion singkat. Ia dorong stang sepeda agar tidak bergerak. “Tapi, gue enggak mau minta uang lo atau berhutang sama lo.”

Sungguh bodoh sekali pria itu di mata Freya. Ada orang yang selama ini dibicarakan oleh para wanita di sekolah, kini memohon pada dirinya seperti anak kecil. Wajahnya memelas seakan Freya begitu sulit untuk mengiyakan permintaannya itu. Berpikir ulang bagi Freya untuk mengiyakan permintaannya, lalu perlahan kepala Freya mengangguk. Ia menyetujui permintaan Arion.

“Oke, naiklah di belakang. Ngomong-ngomong, rumah lo jauh?”

“Lumayan jauh ... tapi, dengan sepeda bisa dipersingkat.” Arion memerengkan wajah. “Lo bener-bener mau memboncengi gue? Tinggi gue 170 cm lebih, berat gue 70 kg.”

“Yaudah ... gue yang naik belakang. Cepetan! Gue malu dilihatin orang!”

“Iya ... gue baru tahu lo pemarah seperti ini,” balas Arion.

Harapan untuk bersama dengan Raka malah digantikan dengan realita bersepeda dengan orang sekaku dan seaneh dirinya. Tak sebanding dengan wajah tampan dari Arion, makin lama semakin terasa bahwasanya Arion memiliki sisi keanehannya sendiri. Mungkin saja para wanita naif yang membicarakan pria itu hanya tahu Arion yang tampan dan dingin, tetapi tak tahu sisi lain darinya. Barangkali karena mereka tidak pernah mengenal secara langsung kepribadian Arion. Selain itu, sifat Arion yang tertutup turut membuat orang di luar sana tak tahu menahu mengenai Arion.

“Pelan-pelan bawanya ....” Freya menepuk pundak Arion. Seketika dirinya melihat ke sekitar. “Aduh ... kita dilihatin.”

Mereka baru saja keluar dari gerbang sekolah, lalu bergerak menuju jalan aspal.

“Lihatin balik,” balas Arion.

“Apaan, sih?!”

Sepanjang jalan Arion yang aneh itu tak berhenti mengomentari jalanan yang ramai akan kendaraan. Selebihnya, ia berteriak seru karena berhasil memacu sepeda lebih kencang dari sebelumnya, Hanya Freya yang cemas di belakang. Tubuhnya berkali-kali berguncang di atas sanggahan. Ia terus berpegangan erat ke pundak Arion agar tidak terjatuh. Goncangan itu semakin terasa tatkala Arion baru saja berbelok secara tiba-tiba, tak mengikuti arah jalan ke rumah Freya. Freya mengira bahwasanya Arion akan berhenti tepat di simpang komplek agar bisa bagi dirnya melepas sepeda untuk pria itu, lalu berjalan kaki menuju ke rumah.

Tangan Freya menepuk pundak Arion berkali-kali.

“Hey, kita mau ke mana?” tanya Freya.

“Kita pulang ....”

“Kenapa lewat sini?” tanya Freya kembali.

“Ikut aja, gue enggak bakalan nyulik lo, kok.”

Entah akan dibawa ke mana Freya hari ini oleh Arion. Freya pasrah mengikuti alur perjalanan pada senja ini.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang