34. Kesempatan Besar

61 8 1
                                    

34. Kesempatan Besar

Beginilah hidup ketika terlalu lama tidak memiliki banyak teman, sekadar berjumpa di muka pintu kelas yang memaksa kantuk, hingga berakhir dengan suara bel pulang yang melegakan. Ada sebuah harmoni yang tidak pernah dimengerti oleh Freya, mengapa di antara keramaian ini ia begitu bahagia. Titik itu belum pernah ia alami selama SMA karena ia hanya terkatung di dalam kesendirian, tanpa teman-teman seperti mereka. Freya boleh tertawa bersama-sama di kelas, tetapi tidak ada yang ingin mengajaknya untuk duduk di luar sekolah. Namun, kini Freya mendapatkan hal baru. Pesta bersama teman-teman begitu menyenangkan.

Mungkin begitulah arti kebersamaan, sesuatu defenisi yang belum terlalu Freya dalami karena ia selalu sendiri dan merasa sendiri. Hatinya kini terasa seperti diisi sesuatu, seperti layaknya sekat-sekat kosong yang dilengkapi oleh kayu penyangga agar bisa tetap berdiri. Harmoni itu kini yang mengisi hati Reira yang selama ini sunyi. Bungah rasanya senyum Freya lepas di tengah candaan, saling berpadu dengan pancaran cahaya lampu LED yang kelap-kelip.

Sebagaimana sungai yang mengalir deras, kebahagiaan itu mengalir tanpa henti, berganti dengan harmoni yang menyelaraskan hati selanjutnya. Percakapan saling sambung menyambung, seakan tidak kehabisan ide, terutama pada Raka yang cakap dalam berbicara dan bercanda. Arion yang semula terbiasa diam, kini sedikit demi sedikit berbuka suara. Meskipun hanya sepatah kata, tetapi ia menyambung candaan yang menyemarakkan malam hari ini.

Tidak sia-sia rasanya Freya dan Arion menyiapkan minuman. Rasanya nikmat dengan pencampuran manis dari teh dan segarnya jeruk peras gula merah. Meriahnya hati Freya bertambah ketika Raka memuji nikmat teh tersebut, sembari mengangkat gelas di tengah-tengah meja. Pria itu aktor utama dalam rencana malam ini, sehingga ucapan itu sangat berharga bagi Freya.

Seluruh makanan sudah dihabiskan, terutama oleh Raka dan Arion. Perut para wanita tidak sebesar mereka untuk menghabiskan semuanya. Beruntung pula kucing-kucing liar yang sempat mampir, mereka berbagi makanan agar tidak mubazir. Setelah Raka bersendawa halus berkat kenyang malam ini, pria itu berdiri seperti ingin menyampaikan sesuatu.

“Gue ada berita bagus,” ucap Raka.

“Apa itu?” tanya Karin. Nadanya selalu terdengar ingin menantang lawan bicara, sebuah ciri khas yang tidak bisa dihindari dari seorang Karin.

“Libur semester ganjil berapa bulan lagi?”

Zeta segera melihat tanggal di handphone-nya. “Enggak sampai dua bulan lagi. Kira-kira kita ujian semester ganjil berakhir di pertengahan Desember. Emang ada apa?”

“Ada event budaya Jepang yang diadain di salah satu kampus. Kebetulan gue ada kenalan orang di Jurusan Sastra Jepang yang jadi ketua penyelanggaranya. Gue mau kita ikut event itu. Kira-kira event diadakan sewaktu liburan semester.”

“Wah ... event apa aja?” Zeta mengedarkan pandangannya pada kami. “Kita harus ikut!”

“Ya, tepat sekali, kita harus ikut. Bakalan ada banyak event, yang pasti kita semua akan berperan ikut lomba.” Ia menunjuk kami satu per satu. “Freya lomba cosplay, Karin ikut di lomba akustik, sedangkan gue, Arion, dan Zeta ikut di lomba manga.”

“Kita bertiga ikut lomba bikin komik? Gue mana bisa gambar,” balas Zeta.

“Lo dibutuhin buat susun script naskah, sedangkan gue dan Arion menggambar komik. Lo penulis terbaik di sekolah.” Raka menoleh pada Arion. “Lo mau kan Arion?”

Arion mengangguk. “Kolaborasi kita paling ditakuti mungkin. Ayo, kita ikut ....”

“Nah, itu dia ... lombanya sesuai tingkat pendidikan. Kalau tingkat SMA, gue rasa kita masih diperhitungkan.” Raka menepuk meja kayu, lalu matanya berbinar menatap yang lain. “Juara satu lomba manga di masing-masing tingkat pendidikan akan mendapatkan kontrak penerbit! Ini adalah kesempatan buat nunjukin sama semuanya, kalau kita patut diperhitungkan.”

“Mari kita ikut!” Karin mengangkat minumannya.

Aksi Karin diikuti oleh teman-teman yang lain. Kini, gelas saling beradu satu sama lain.

“Setelah pengumuman juara keluar, kita semua berangkat di kegiatan kemah sekolah waktu liburan semester. Bayangkan kita yang juara dan liburan yang menyenangkan!” Raka tersenyum senang. “Cheers!”

Freya bergeming melihat Raka yang berapi-api menjelaskan rencananya tersebut. Ucapan Raka seperti naungan yang terus membakar semangat Freya agar lebih berusaha lagi. Ia tak ingin mengecewakan club yang sedang ia bangun dan harus mendapatkan peringkat pada event tersebut. Liburan yang menyenangkan? Freya tak sabar menunggu waktu itu ketika mereka semua berbahagia membawa piala juara, lalu duduk bersama di tengah kemah untuk saling bercerita betapa bangganya hati ini.

Malam ini menjadi awal berangkatnya ide besar Raka, tepat dimulai tatkala hentakan gelas masing-masing demi membakar semangat. Keesokan harinya mereka mulai merancang apa saja yang akan dipersiapkan. Raka yang menjadi arsitek ide besar ini. Beruntung Freya memiliki ketua sekelas Raka, yang memiliki visi dan misi jelas.

Idealismenya tidak pernah tergoyahkan, meskipun itu menuntut rasa malu dan rendahnya diri kepada Raka sendiri. Papan tulis ruangan penuh dengan tulisan Raka yang acak-acakan, tetapi masih bisa dibaca. Seperti malam kemarin, ia begitu berapi-api menyampaikannya hingga Karin berang dan meminta Raka menurunkan nadanya tersebut.

Freya mendapatkan peran sebagai cosplayer dalam event itu. Bincang diskusi mereka mengarah kepada Freya yang akan melakoni karakter Asuna di dalam anime Sword At Online. Freya menyanggupi tangguh jawab itu dan berjanji akan berusaha keras untuk sepersis mungkin dengan karakter Asuna. Karakter wanita tersebut memiliki sifat yang pemberani, cantik, serta anggun. Freya sudah menonton setiap seri anime-nya sehingga paham dengan karakter Asuna. Sebagai persiapan, Raka meminta Zeta memesan kostum di salah satu toko online serta seluruh pernak-pernik yang dibutuhkan, seperti pedang dan alat make up.

Lomba manga sudah jelas dipangku oleh Raka, Arion, dan Zeta. Wanita berambut pendek itu tidak diragukan lagi dalam merancang jalan cerita karena ia merupakan seorang penulis. Tema yang dipakai ialah romance yang notabene bukanlah ranah dari Arion, tetapi Arion tetap menyetujui rencana tersebut. Ia sanggup berkolaborasi dengan Raka sebagai partner.

Hal yang mengejutkan bagi mereka ialah ketika Raka meminta Arion sebagai pengiring gitar bagi Karin. Freya baru tahu kalau Arion bisa bermain gitar. Jika dibawa ke sebuah perlombaan, berarti kemampuan Arion sudah cukup mumpuni. Sebenarnya Freya bisa bermain gitar karena pernah belajar sewaktu SMP, oleh karena itu Freya mengangkat tangan ketika Raka bertanya siapa yang bisa bermain gitar.

“Arion pengiring gitar Karin,” ucap Raka.

Kepala Arion berdiri oleh permintaan tersebut. “Kenapa harus gue?”

“Hey, gue tahu lo handal bermain gitar.” Raka menoleh kepada semuanya. “Sebagai informasi, Arion pernah jadi gitaris di band SMP. Gue dan dia satu SMP.”

Oh, ternyata mereka satu SMP. Pantas saja saling mengenal, ucap Freya di dalam hati. Sewaktu itu, Raka pernah menyapa Arion yang sedang bersepeda dengannya. Mereka saling menyebut nama sebagai tanda sudah saling mengenal.

“Jangan bahas masa lalu,” balas Arion dengan sinis.

“Gue bisa sendiri bermain gitar. Dia enggak perlu ikut,” ucap Karin menyanggah kalimat Raka. “Jangan bawa orang yang belum terbiasa mengiringi gue.”

“Hey, jangan begitu. Itulah gunanya kita satu tim, biar saling terbiasa, dan saling berlatih. Tampil berdua bisa jadi nilai tambah. Jangan ragukan kemampuan gitar Arion. Jarinya secepat dia menggambar komik fantasy.”

“Gue enggak mau,” tegas Arion.

Raka mendekat kepada Arion. “Ayolah, Arion. Ini kesempatan besar buat kita menang.”

“Gue ke sini bukan buat jadi musisi, tetapi mangaka. Jadi, jangan paksa gue untuk itu!” tegas Arion padanya.

Raka terdiam mendengar kalimat Arion. Ia pun mundur selangkah, lalu menyentuh papan tulis. Perlahan ia hapus nama Arion sebagai pengiring gitar. “Baiklah, gue hargai keputusan lo. Karin akan solo di lomba akustik.”

Mata Freya menatap Arion yang menunduk. Ia tidak mengerti mengapa Arion begitu berang dengan menjadi pengiring gitar. Padahal, jika ia berhasil menang, pria itu bisa menyabet dua piala sekaligus. Itu sebuah kebanggaan besar. Jikalau Freya handal bermain gitar, ia ingin ikut menjadi pengiring. Namun, Freya sekadar pandai dan pelepas suntuk di kamar dalam bermain gitar. Bahkan, dirinya tak mengingat semua chord gitar.

“Gue permisi keluar dulu.” Arion berdiri, lalu membuka pintu untuk pergi dari mereka.

***



Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang