10. Akankah menjadi milikku?

123 13 0
                                    

10. Akankah menjadi milikku?

Bahagia dan bangga menjadi satu. Tidak ada kata-kata yang bisa ia katakan untuk menjelaskan perasaannya. Cukup raut wajahnya yang menyimpulkan bahwa ia ingin untuk terus dipuji oleh pria itu. Lima belas menit berlalu semenjak Raka tersenyum kepadanya tadi. Masih ia simpan dalam jejak-jejak ingatan. Tersimpan dalam pikiran, lalu akan keluar dalam bentuk bunga tidur nanti malam.

Raut wajah riang Freya masih terjaga, padahal ia sedang berdiri di cermin toilet wanita. Sengaja ia tidak melepaskan pakaian Kimono ini karena Raka yang memintanya. Ia diperbolehkan untuk melepaskan setelah bel pulang berbunyi. Itu masih sekitar satu jam lagi. Suasana toilet yang sunyi ia manfaatkan untuk memperhatikan detail penampilannya. Begitu menakjubkan dibalik balutan Kimono bermotif bunga. Rona rias wajah yang merah semakin merekah tatkala ia mengingat kembali pujian Raka.

“Akankah lo jadi milik gue?” tanya Freya di depan cermin.

Hatinya sangat berharap itu akan menjadi sebuah realita. Tuhan akan menjawab doa-doanya yang ia panjatkan melalui bulir hujan kenangan. Tadahan harapan di ujung malam yang ia dendangkan, selalu terselipkan sepenggal nama itu. Bulan menjadi saksi, taburan bintang gemintang tak perlu mempertanyakan ketulusan hati.

Derap langkah orang membuatnya menoleh. Tampak tiga orang tengah masuh ke dalam toilet. Matanya terbelalak, cemasnya memuncak, sorot wajah benci itu melihatnya tajam seakan menusuk. Raut muka yang tak bisa ia elakkan, ia takut untuk bertemu orang itu. Vioni dan kedua temannya mendekatinya tatkala menyadari bahwa Freya sedang berkaca di depan cermin.

“Cantik juga baju lo,” puji Vioni.

Freya tahu jika Vioni tidak akan pernah bermaksud memujinya. Wanita mana yang akan memuji jika hatinya terselubung secuil benci.

“Vioni, gue enggak bermaksud─” Kalimat Freya terhenti.

Telapak tangan Vioni menggenggam rambut Freya hingga dagunya terangkat. Nanar matanya dipenuhi oleh kebencian. Freya tidak bisa menghindari betapa takutnya ia kali ini. Sama sekali tidak ada daya untuk melawan. Terlalu lemah baginya untuk bergerak. Mulutnya dibungkam oleh suasana.

“Gue minta maaf.” Freya mengeluarkan bulir air mata. Jatuh begitu saja tanpa hambatan. “Gue enggak ada pernah bermaksud mendekati Arion. Gue minta maaf. Biarkan gue pergi kali ini.”

“Lo kira gue bakal dengarin kata-kata lo, begitu?” tanya Vioni.

Masih dengan dagu yang terangkat dan satu tangan yang mencengkram wastafel demi meredam ketakutannya, Freya berusaha untuk tetap bernapas. Ritme jantungnya tak beraturan, berhentak-hentak seakan ingin pecah.

“Maafin gue, Vioni.” Freya kembali terisak-isak. “Tolong, jangan ganggu gue.”

Kedua teman Vioni turut menertawakan kalimat Freya yang terdengar tidak jelas.
Sebelah telapak tangan Vioni menampung air dari wastafel, lalu memercakannya ke wajah Freya. Ia hapus seluruh riasan itu berkali-kali dengan air. Freya tidak sanggup melawan, harga dirinya terlalu rendah untuk mengimbangi wanita itu.

“Kalau jelek, yaudah jelek aja. Mau di-make up bagaimana pun, lo tetap aja jelek.” Vioni mendorong Freya ke depan.

Tubuh Freya terhempas ke pintu WC hingga ia terjerembab ke genangan air yang berbau amis. Tidak ia pedulikan genangan air yang menjijikkan itu, ia geser tubuhnya ke belakang untuk menghindari Vioni yang mendekat.

Please, Vioni … gue minta maaf. Gue memang jelek dan enggak pantas untuk berhias diri seperti ini.” Ia mengusap wajahnya berkali-kali untuk menghapus riasannya.

“Nah, lo itu tahu, kan?” Vioni berjongkok di depan tubuhnya. Sebuah tamparan telak bersarang di wajah Freya. Tidak hanya sekali, namun dua kali wajahnya panas berkat telapak tangan Vioni yang menghantam. “Gue bilang kemarin, lo bakalan enggak lolos untuk kedua kalinya.”

“Sudahlah, Vioni. Lepasin gue kali ini. Gue janji enggak akan pernah berbicara dengan Arion lagi.”

“Lo tahu kan konsekuensi kalau lo melanggar janji lo?” tanya Vioni.
Freya mengangguk sembari melindungi wajahnya.

“Nah, begitu ….” Vioni membelai rambut Freya. “Anak baik.”

Tangis Freya pecah tak tertahan. Semakin ia lepaskan tangis itu tatkala Vioni meninggalkannya yang sudah terkapar tidak berdaya. Dunia tidak begitu adil bagi orang-orang yang tidak dianggap. Selalu diterkam oleh orang yang berdaya, direndahkan begitu saja.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang