52. Ironi

43 8 0
                                    

52. Ironi

Fakta itu pun terkuak, jika Arion merupakan mantan dari Karin sendiri. Segudang peristiwa yang pernah terjadi akhirnya membuat Arion terpaksa berpisah dengan wanita yang ia cintai. Cinta itu pun tetap bertahan, meskipun terbentang jarak di antara mereka berdua.

“Iya, Karin itu mantan gue waktu kelas 10. Jujur, semenjam putus ... rasa suka gue masih sama sampai sekarang. Dia cinta terbaik gue untuk saat ini.”

Tak mampu Freya mencernanya. Bagaimana bisa pria itu berpacaran dengan Karin yang cerewet? Lalu, bagaimana awalnya Arion yang pendiam bisa mendapatkan hati seorang Karin? Ia merenung sesaat sembari melihat wajah Arion yang datar itu.

“Ini enggak bohong, kan? Jika itu benar, kalian kok bisa putus?” tanya Freya.

Arion menggeleng. “Gue enggak bohong. Kami putus karena kesalahpahaman. Dia mengira gue bermain dengan cewek lain dan cewek yang ia curigai adalah Dinda. Gue enggak suka aja Karin ngerendahin Dinda sebagi perebut pacar orang. Gue lebih mentingin sahabat daripada pacar gue sendiri.”

“Jadi, karena Karin menganggap Dinda itu saingan, makanya kalian putus?”

“Iya, kira-kira begitu. Gue enggak nyesal, sih. Gue tetap milih Dinda daripada dia. Dinda adalah sahabat gue. Tapi, gue enggak bisa ngelepas rasa suka gue dengan Karin sejak dulu.”

Sebenarnya ada hal yang ia curigai dari Karin, yaitu hubungannya dengan Raka. Jelas benar waktu awal mereka putus, Raka menyentuh wajah Karin sembari bercerita riang di ruangan club Jepang lama. Tentu saja ada hubungan di antara mereka. Namun, masih belum bisa ia pastikan. Raka berkali-kali menyatakan bahwasanya ia tidak menyukai Karin, jelas sekali Arion tidak menerima itu mentah-mentah. Selain itu, ia tidak akan bisa menceritakan rahasia ini kepada Karin demi menjaga hatinya. Jika ia ceritakan, tentu saja akan melukai hati orang yang akhir-akhir ini berperan hampir sebagai sahabat sendiri.

“Yang semangat, ya. Lo pasti pasti bisa memperbaiki hubungan lo dengan Karin. Lo itu pria yang baik, Arion. Enggak mungkin lo main dengan cewek lain begitu aja.”

Arion tersenyum ringan mendengarnya. “Iya, makasih banget. Gue harap lo semakin dekat dengan Raka. Hmmm ... ngomong-ngomong di lapangan Dinas Kebudayaan ada pameran budaya. Lo mau ke sana?”

Wajah Freya berubah antusia. “Oh, ya? Lo dari mana tahu?”

“Gue punya kenalan di komunitas budaya Jepang. Mereka mendirikan stand di sana. Ada banyak stand budaya Jepang di sana. Lagian, ini namanya festival budaya, kan? Tentu aja ada bermacam budaya berbagai negara dan daerah Indonesia. Gue bisa ajak Dinda kalau bisa.”

Freya menganguk cepat. “Ayo, ke sana. Pasti banyak makanan. Tapi, gue cuma pakai bus.”

“Tenang, gue bawa motor. Tapi, motor gue enggak sekeren motor Raka.”

Tangan Freya mengangkat gelas coffe latte miliknya, lalu menenggaknya sampai habis. “Ayo, yang penting bisa jalan.”

Motor butut Arion kini membawa Freya ke tempat yang dimaksud. Pantas saja Arion tidak pernah membawa motor itu karena malu rasaya membawa motor yang terlalu terlihat seperti rongsokan, setidaknya itu yang dikatakan Arion pada Freya. Namun bagi Freya, kendaraan tetaplah kendaraan. Yang terpenting baginya ialah bisa membawanya ke sebuah tempat tanpa harus mengayuh sepedanya. Andai saja ia pandai menggunakan sepeda motor, pasti ia sudah kelilingi kota ini. Tidak ada yang mengajarinya untuk naik motor, lagi pula umurnya belum siap untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi.

“Lo udah dapet SIM?” tanya Freya sembari menahan rambutnya yang berantakan oleh angin.

“Gue tua setahun dari kalian.”

“Lo bisa bawa motor ini ke sekolah, kita bisa naik berdua! Hahaha ....” Freya tertawa.

“Lebih baik gue jalan kaki!”

Motor itu merupakan motor tua milik ayahnya dahulu. Pergaulannya di sebuah bengkel ternyata membuat Arion sedikit pandai mengenai permesinan. Hasilnya ialah motor ini, motor tua yang semulanya tidak bisa berjalan, kini bisa melaju dengan peforma terbiak. Memang, bahkan sebagian body-nya tidak ada hingga kabel-kabel di dalam tampak dari luar. Meskipun begitu, motor ini pernah menjadi saksi antara dirinya dan Karin. Mereka sering jalan-jalan dengan motor ini, meskipun cewek cerewet itu mengeluh oleh suaranya yang berisik.

Lapangan Dinas Kebudayaan ramai didesaki oleh pengunjung. Muda-mudi, keluarga, anak-anak tampak meramaikan event yang diadakan sesekali ini. Tentu saja event seperti ini membawa pundi-pundi rupiah bagi pedagang kaki lima. Jalanan raya di depannya ramai oleh para penjual, belum lagi di dalam sana. Stand-stand budaya dari berbagai daerah berdiri dengan tenda yang sudah disediakan oleh dinas setempat. Bagi mereka yang tidak bisa mendapatkan stand, mereka dapat mendirikan stand sendiri. Terlihat dari beberapa stand yang berbeda coraknya dari yang disediakan.

Belum sempat berkata setelah turun dari motor, Freya menarik tangan Arion untuk mengunjungi salah satu penjual cumi goreng tusuk yang berlapis dengan lezatnya keju. Sungguh, Arion tidak suka ditarik begitu saja. Namun, Freya tak ingin melepaskan langkahnya itu dari Arion.

“Tenang aja, gue yang bayar,” ucap Freya sembari memaksa masuk cumi tusuk itu ke mulut Arion.

“Gue pengen minum cokelat dingin.”

“Lo kaya anak-anak yang lagi ngemis sama mamanya, ya?” Freya tersenyum. Kembali Freya berubah arah langkah menuju penjaja minuman cokelat, lalu membeli dua gelas untuk dirinya dan Arion.

Manisnya minuman cokelat itu membuka mata Arion. “Wah, ini enak banget. Makasih, Freya.”

Sanding langkah di tengah keramaian itu terasa seperti pasangan kekasih yang sedang melakukan kencan. Romantisme malam berpadu syahdu oleh suasana hangat yang terasa di antara mereka. Seperti yang dikatakan oleh Arion, ia nyaman bersama Freya karena tidak akan ada cinta di antara mereka. Sama persis seperti dirinya dan Dinda. Hati mereka sudah terukir nama yang berbeda, saling berharap bahwasanya akan ada satu titik mereka akan menggenggam pasangan masing-masing.

Puas mengunjungi banyak stand budaya. Mereka bisa memakai banyak aksesoris yang identik dengan budaya tersebut, seperti Jawa, Minang, Betawi, dan budaya-budaya lainnya. Belum lagi budaya internasional yang turut menjadi perhatian pengunjung. Tentu saja mereka tertarik untuk melangkah ke barisan stand budaya Jepang. Malu-malu Arion memakai pakaian kimono untuk berfoto berdua. Ia jarang berfoto dan tidak ada niatan untuk berfoto. Bahkan, ia sama sekali tidak memiliki media sosial yang biasa digunakan untuk mengunggah foto harian.

“Ayo, jangan dingin begitu, Arion. Coba tersenyum sedikit,” ucap Freya.

“Gue udah senyum.” Arion memandang ke samping. Tampak tubuh Freya yang memereng ke arahnya. “Kita terlalu dekat Freya.”

“Kalau foto, mana ada jauh-jauhan. Lo bagaimana, sih?” tanya Freya dengan heran.

Arion menarik napas. Ia panjangkan tangannya ke pinggang Freya. Bunyi potret kamera polaroid berdenting dengan cahaya putih untuk menerangkan. Bayang-bayang Freya dan Arion tertangkap pada sebuah kertas foto yang dicetak. Tersenyum mereka berdua menyadari foto tersebut terlihat apik.

“Wah, bagus banget fotonya,” ucap Freya.

“Itu bagus karena ada gue.”

Wajah Freya berubah datar. “Tadi lo malu-malu.”

“Gue enggak suka difoto.” Arion melihat ke jam tangannya. “Mari pulang, nanti mama lo cemas karena anak gadisnya pulang terlalu malam.”

Freya menganguk. Ia langkahkan jalannya menuju keluar stand. Tatkala ia hampir keluar, matanya tak sanggup untuk menatap. Jantungnya terasa berhenti sedetik untuk memompa darah. Napasnya tertahan lama, tubuhnya kaku untuk digerakkan. Pemandangan di depan begitu menyayat bagi realita. Air matanya tak bertahan untuk berkaca-kaca. Seluruh momen bahagia malam ini hancur dalam satu detik tatkala melihat sosok tangan yang bergandeng mesra berdua.

“Ada apa, Freya?” Arion mengikuti arah pandangan Freya yang kaku itu.

Tampaklah Raka dan Karin sedang berpegangan tangan berdua, bahkan manisnya wajah Karin menempel pada bidangnya bahu Raka. Ia memegang tangan Freya seketika. Tahu persis kini apa yang dirasakan Freya, kini terjadi pada dirinya sendiri. Namun, dirinya lebih tegar daripada hati lemah wanita itu.

“Sebaiknya kita pergi dari sini.”

Belum sempat Arion menoleh pada wanita itu, Freya sudah pergi untuk berlari menembus keramaian. Ia kejar wanita yang berlari kencang itu, tetapi ramainya pengunjung tak mampu bagi dirinya untuk mengejak tangan Freya.

“Freya tunggu!” teriak Arion tatkala melihat Freya yang berbelok arah.

Jarak yang terlalu jauh dan ramainya pengunjung tak bisa mempertemukan mereka kembali. Tangi Freya pecah tatkala getir langkahnya memaksa untuk berlari. Tidak ingin melihat ke belakang, ia menyasar masuk ke sebuah taxi kosong untuk kembali pulang. Hanya satu tujuannya malam ini, menangis di ujung kamar untuk membakar seluruh kisah manisnya bersama Raka waktu.

Lo bohong, Raka. Lo bohongi kami untuk pergi bersama Karin.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang