35. Jangan Terlambat

56 7 1
                                    

35. Jangan Terlambat

Arion namanya, seorang pria yang Freya temui tatkala rantai sepeda bodoh itu putus. Entah garis takdir apa yang membuat pria itu ada tepat di kala Freya membutuhkan pertolongan, lalu wajah datar itu menolongnya tanpa imbalan. Tidak ada kata yang lebih bisa menjelaskan Arion, kecuali kemisteriusan. Tuturnya senyap, pergerakannya sunyi, wajahnya hanya cemerlang di momen-momen tertentu. Sedikit yang tahu mengenai Arion, termasuk Freya sendiri. Percakapan hangat antara Freya dan Arion tidak memberikan titik terang bahwasanya ia benar-benar mengenal pria itu. Bisa saja Freya hanya mengetahui Arion dari luar.

Entah apa alasan Arion menoleh untuk mengiringi Karin bernyanyi, padahal ia cukup diandalkan untuk menyentuh gitar. Seperti yang dikatakan oleh Raka, jemarinya secepat menggambar komik fantasy, begitu pula tatkala bermain gitar. Freya mempercayai hal tersebut karena kata-kata itu langsung bertutur dari Raka. Tidak mungkin Raka berkata tanpa dasar alasan. Hanya saja belum ada tali yang menyambung keputusan itu, Arion malah pergi meninggalkan ruangan tanpa melanjutkan diskusi.

Keterpaksaan, itulah yang disimpulkan dari Freya. Arion tidak menyukai keterpaksaan, dirinya bebas bergerak ke mana-mana tanpa ada satu pun orang yang bisa mengekang, termasuk Raka sendiri. Sebagaimana penyendiri gila itu bersikap, telah mengesankan bahwasanya Arion bergerak bebas. Ia bebas dalam kesendiriannya itu sendiri, tanpa bertutur, dan jarang tersenyum. Barangkali Freya merupakan wanita beruntung yang mendapati Arion tersenyum. Tak ada alasan tepat untuknya masuk ke club, kecuali mengenai kebebasan berkeinginan. Memang, dirinya mengakui sendiri bahwasanya Karin salah satu alasan bergabung. Hal itu memperlihatkan ia bebas memilih alasan itu sendiri.

Sudah beberapa hari ini Freya mendengar Karin berlatih lagu Jepang yang ia pilih sendiri. Suara Karin benar-benar bagus, menjadi hiburan tersendiri tatkala ia mengunjungi ruangan club. Sekeras-kerasnya Karin berlatih, tidak luput pula Freya melihat Zeta yang terkatung di depan laptop untuk menyusun jalan cerita. Jalan ceritanya butuh cepat diselesaikan karena Raka dan Arion akan menggambar setelah itu. Hanya Freya yang duduk bermenung memerhatikan mereka berlatih, tidak ada hal yang bisa ia lakukan untuk mengembangkan kompetensi. Kompetensinya ialah menonton anime Sword At Online di rumah, sembari menghapal gerakan Asuna, dan begitu pula caranya berbicara dalam bahasa Jepang.

Tidak ada spesial yang ia dapati, Raka jarang berbicara dengannya. Pria itu lebih sering menyapa Karin yang berlatih. Ya ... Freya pun sadar diri. Untuk apa juga Raka ingin berlama-lama berbincang dengannya, kecuali menyuruh Freya kembali ke kelas karena terlalu lama di ruangan. Pria itu khawatir urusan club menganggu kegiatan Freya belajar. Begitulah hari berjalan hingga akhir jam sekolah. Sepeda pun menjadi ujungnya dari kayuh yang Freya helat di gerbang sekolah, sembari menghindar murid-murid yang memakai kendaraan bermotor.

Namun, hanya satu pria yang terlihat selalu konsisten berjalan kaki setiap hari. Pria itu kini melangkah menghampirinya yang baru saja sampai di tepi trotoar.

“Lo mau ke mana?” tanya Arion.
Pertanyaan macam apa itu? Freya bingung dengan perkataan Arion.

“Ya, tentu aja gue mau pulang. Apa ada tempat lain yang pengen gue kunjungi, menurut lo?” tanya balik Freya.

“Berarti lo enggak ke mana-mana selain ke rumah?”

“Iya, Arion. Gue selalu pulang ke rumah setelah pulang.”

“Ikut gue ... ada sebuah tempat yang pengen gue kunjungi bersama lo.” Arion memegang stang sepeda. “Mundur, biar gue yang ngebonceng lo.”

“Tunggu dulu ....” Freya menepuk telungkup tangan Arion. “Kita mau ke mana?”

“Suatu tempat yang enggak pernah dikunjungi lo setelah pulang sekolah.”

Arion kembali menyentuh stang sepeda. Kini, dirinya malah menggoncang stang sepeda agar Freya turun dan naik di belakang.

“Ayo, cepetan!”

“Ih! Lo maksa, ya?” Freya turun dari sepeda. Hanya secercah senyum langka Arion yang ia dapati sebelum naik di boncengan belakang. “Ya udah ... gue ikut.”

“Nah, gitu, dong,” ucap Arion sembari naik ke sepeda. Ia rasakan Freya sudah memegang kedua bahunya sebagai pegangan, lalu mengayuh sepeda perlahan di tepi jalan. “Kita ke tempat yang biasanya ada pria-pria keren.”

Freya menepuk pundak Arion.

“Jangan bilang 'pria keren' lagi. Lo sepertinya terobsesi jadi pria keren.”

“Gue bukan terobsesi karena gue udah keren!” Arion tertawa mendengarnya.

Entah kemana Arion akan membawanya, yang pasti kini Freya berpegangan kencang di bahu Arion agar tidak goyang. Pria itu mungkin sedang kerasukan hingga mengayuh sepeda untuk melaju di jalanan raya. Freya berkali-kali berteriak ketika terjadi guncanga, tak satu kali pula bahu Arion menjadi bahan pukulan. Namun, Arion tidak mengindahkan rasa cemas Freya. Ia tetap melaju kencang mamacu kendaraan lain.

“Jangan cepet-cepet, ngapa?!” teriak Freya.

“Senja jangan terlambat!” balas Arion dengan seru.

Tangan Freya berpegangan erat di bahu Arion, serta memerhatikan betapa jenakanya pria itu senja kali ini.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang