19. Kata Bahagia

82 9 0
                                    

19. Kata Bahagia

Satu kata bahagia yang terucap dalam helaan napas panjang telah terukir pada satu malam. Rindu menguak sebuah rahasia bahwa ia ingin mengulangi kenangan itu kembali. Bagaimana peluk manja teman sejawat memeluk dirinya sembari menuang harapan yang ingin dituai. Penuh sudah tangan Freya membuka matanya untuk menyatakan bahwa dirinya bisa. Bisa untuk mengukir lekuk bibir pada sebuah senyuman. Hati membesar kepada keikhlasan, rasa berbicara kepada ketulusan.

Terpajang sudah piala juara tiga lomba modeling pakaian kimono pada festival budaya Jepang tersebut. Di balik kaca lemari mereka menatap betapa megahnya piala kecil itu. Tingginya hampir selutut dengan ornamen berwarna emas berkilau. Cahaya mentari yang merambat melalui jendela menambah binar-binar penampilan piala tersebut. Tidak menuntut kepada ukuran, tetapi kepada makna yang tersimpulkan. Ada asa yang berbicara di sana, ada keringat yang berucucuran di sana, sekaligus air mata yang sempat membasahi.

Semua menghela napas lega sembari merangkul satu sama lain. Prestasi pertama mereka dalam sejarah membangun kembali club Jepang yang bertajuk Yatta, nama yang menyiratkkan semangat untuk bangkit kembali. Tidak sia-sia rasanya mereka tetap memperjuangkan club tersebut yang tengah berada di ujung tanduk minggu ini. Di ambang hilangnya eksistensi sebagai club resmi dari sekolah.

“Kepala Sekolah mengucapkan selamat buat kita,” ucap Raka sembari menatap piala tersebut.

“Benarkah?” Karin menoleh dengan cepat.

“Beberapa orang di kantin juga membicarakan kita,” sambung Zeta.

Freya menunduk tatkala mendengar itu. Ia merasa gugup karena ia turut andi dalam menciptakan suasana ini. Dalam hatinya ia tersenyum gembira tanpa ditunjukkan.

“Benar, tadi gue bicara sama Kepala Sekolah. Sekaligus meminta perpanjangan waktu buat mencari anggota baru,” balas Raka.

“Bagaimana responnya?” tanya Freya.

Raka mengangguk. “Jangan remehkan seorang Raka dalam mempengaruhi seseorang. Kita diberi waktu seminggu lagi.”

“Benarkah?” Karin menggenggam pundak Raka.

“Iya …” Raka melepaskan cengkraman tangan Karin. “Jangan tekan kuat-kuat, dong.”

“Beri pelukan untuk Raka.” Karin merangkul kedua teman wanitanya.

Dengan malu-malu Raka merengkuh kasih sayang teman-teman yang ditunjukkan. Penghargaan yang membagakan ini mereka rayakan dengan begitu sederhana. Hanya kata pujian dan kerekatan satu sama lain yang dapat menyimpulkan kebahagiaan ini. Club kecilnya kali ini bisa membuktikan kepada sekolah bahwasanya mereka tidak hanya sekadar ada, melainkan eksis untuk mengguncang prestasi. Warga sekolah pun ikut bangga dengan piala yang mereka bawa. Orang-orang di kelas membicarakan club mereka kembali, setelah sekian lama menghilang dan tidak ada timbul di permukaan. Pada akhirnya, semuanya sadar bahwasanya ada sebuah club yang sedang memperjuangkan hak mereka untuk tetap ada.

Terlalu besar harapan Raka kepada club ini karena ia sungguh mati-matian dalam memperjuangkan. Sudah kebal wajahnya bolak-balik menghadap Kepala Sekolah untuk tetap mempertahankan club, mulai dari mendapatkan guru pembimbing, anggota satu per satu, hingga tempat mereka berkumpul, meskipun di ruangan kecil. Tantangan pun masih mereka hadapi dengan harus mencari satu anggota lagi. Peraturan sekolah tetaplah peraturan, jika mereka ingin diakui oleh sekolah, maka harus memenuhi syarat minimal anggota. Jika tidak, mereka hanya dianggap sebagai komunitas yang tidak dinaungi oleh sekolah.

Raka memang tidak terlalu berharap dengan dana dari sekolah. Selama ini dana dari sekolah cukup kecil dan lebih banyak meminta bantuan dari Karin yang berasal dari keluarga berada. Selama ini tak ada mereka mengeluh mengenai masalah keuangan. Namun, Raka sangat berharap sekali bahwa club yang sedang ia pimpin ini berada di naungan sekolah. Nama mereka akan berada di jejeran organisasi yang ada. Setiap tahun Raka harapkan bisa membuka stand promosi untuk murid-murid baru, meminta mereka untuk bergabung bagi yang berminat dengan segala hal tentang Jepang.

“Jangan senang dulu ....” Raka melepaskan pelukan mereka, lalu membelai rambut atas mereka satu per satu. “Kita masih ada satu masalah lagi.”

“Masalah anggota?” tanya Karin.

“Nah, lo tahu ... kita masih ada masalah itu. Seminggu adalah waktu yang singkat untuk mencari satu anggota. Sebetulnya enggak susah, sih. Hambatan kita mengenai minat murid tentang kebudayaan Jepang.”

“Kita pasti bisa, Raka. Hanya satu orang lain,” balas Freya dengan semangat.

“Kalian ada ide?” tanya Raka. Ia mundur selangkah untuk menarik kursi. Lalu, dirinya duduk di hadapan para wanita.

Satu per satu saling menatap dengan tanda tanya di kepala. Cukup lama mereka untuk tidak menjawab pertanyaan dari Raka. Berselimut kebingungan dalam hening percakapan, tak saling mengucap satu sama lain. Raka pun menaikkan alis demi memancing mereka untuk berbicara.  Selama ini, ide selalu keluar dari kepalanya yang jenius.

Freya mengangkat tangannya. “Dua lagi hari Jumat. Setelah anak laki-laki sembahyang Jumat, kita semua harus hadir di pentas seni aula sekolah. Nah, di sana bisa enggak kita promosiin sambil nunjukin apa yang kita bisa?”

Terasa tangan Zeta meremas punggungnya sembari mengerang senang. Ide jenius Freya disambut ekspresi hangat dari para anggota. Puncaknya ialah ketika jemari Raka menjentik hingga berbunyi. Ia berdiri dari duduknya.

“Jenius ... sore nanti gue coba bicara dengan panitia pentas seni, biasanya kan per kelas digilir. Setelah kelas mereka tampil, kita bisa promosikan club kita di atas panggung sambil ngasih selebaran lagi.” Raka menoleh kepada Freya. “Freya, lo bisa jadi cosplay karakter cewek di anime. Gue bisa minjam kostum dari komunitas yang gue kenal.”

Freya tertegun mendengarnya. Tak terbayang dirinya akan mengenakan kostum anime seperti yang sering dilihat pada event-event Jepang. Tak ada ekspresi kagum ketika melihat paras cantik cosplayer dengan segala pernak-pernik khas anime yang sedang diperani. Dua hari lagi, Freya ternyata yang mendapatkan kesempatan untuk melakoninya.

“Wah ... ini bakalan menarik sekali. Lo bisa jadi pembawa acara gitu.” Zeta meloncat kecil di tempatnya berdiri.

“Boleh sih ... gue bisa nyanyi sambil main gitar.” Karin tetap dengan ekspresi sinisnya. Lalu, tangannya melipat di dada. “Tapi, Raka harus jadi cosplayer juga. Cocok kalau mereka berdua yang membawakan acara dan jadi icon di club kita.”

Karin, Freya, dan Zeta memandang kepada Raka. Ragu wajah yang ditunjukkan oleh pria itu, mengingat ia hanya seorang mangaka atau pembuat komik. Tak pernah terbesit sedikit pun untuk mencoba mengenakan kostum anime Jepang.

Tiba-tiba Karin maju dan mengapit leher Raka tepat di tangannya. Raka sempat memejamkan mata karena tekanan oleh tangan Karin. “Ayo, dong! Lo mau!”

“Iya-iya ... gue mau! Lepasin, ah!” Raka melepas apitan tangan Karin pada lehernya. “Oke, gue nyoba jadi cosplayer.

“YEAH!” ucap semuanya dengan serempak.

Dua hari lagi mungkin jadi hari yang menarik. Mereka akan menunjukkan eksistensi club Yatta tepat di hadapan murid sekolah. Yang paling menarik bagi Freya ialah ketika menyadari hari esok merupakan di mana ia akan bersanding berdua bersama Raka di atas panggung. Wajahnya memerah ketika membayangi hal tersebut.

Sembari memegangi wajah, Freya berlari cepat menuruni anak tangga menuju ke kelas. Ia ingin segala memeluk Lani untuk menceritakannya.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang