41. Pertanyaan

50 8 0
                                    

41. Pertanyaan

Resah itu berayun terbuang dalam setiap detik aliran napasnya di hadapan Arion waktu itu. Keluar begitu saja setiap kalimat yang berisikan gundah hati, menyiasati realita agar segera tidak terpikirkan. Pelukan itu akan selalu Freya ingat karena sudah berani menjadi penyesap tangis yang jatuh. Isak yang dikeluarkan meredam pada halus permukaan tubuh pria itu. Belum ada sama sekali orang yang menanggung ucapan tangisnya dengan rengkuh peluk sepeduli itu, hanya Arion yang bersedia memberikannya. Seakan, Tuhan sudah mempersiapkan seorang teman baginya agar menemani Freya di titik yang sudah digariskan sebelumnya.

Bukanlah hal biasa yang menyambung tali pertemuan di kala Freya membutuhkan pundak untuk bersandar. Hanya satu alasan yang menguatkan alasan dari balik momen itu, yaitu mereka saling membutuhkan satu sama lain. Memang sakit cinta bertepuk sebelah tangan, bunyinya tidak terdengar sampai ke telinga pujaan. Hanya suara senyap angin yang berputar di sekeliling telinga, tanpa membawakan berita cinta bahwasanya orang itu pun balas menyukai.

Sejak di mana rengkuh peluk Arion di atap sekolah―meskipun hati Freya masih dongkol dengan niat Arion ingin merokok―Freya memutuskan untuk selalu disamping Arion. Ia tak ingin pria itu pergi karena ia butuh teman sepertinya. Doanya bersambung pada sebuah harapan di mana jangan pernah ditumbuhkan cinta di antara mereka. Pertemanan itu ingin seperti dirinya dan Lani, bahkan ingin sekali Freya mengenalkan teman barunya itu kepada Lani. Keberuntungan itu pun bersemat kepada Freya yang pernah mendengar diksi dari Aron. Dirinya merupakan teman terpilih bagi pria itu.

Sore ini Freya terkantuk di atas meja. Guru tidak kunjung datang ke kelas, padahal Freya sudah letih membuat tugas semalaman suntuk untuk mata pelajaran hari ini. Lani tentu saja senang karena bisa menonton video clip dari idol faforitnya, ditambah lagi mereka mendapatkan layanan internet gratis dari WIFI sekolah. Yang tidak Freya sukai di kala jam-jam seperti ini ialah keadaan kelas bagian belakang yang penuh dengan anak laki-laki. Mereka selalu melakukan hal bodoh dan pembicaraan bodoh yang acap kali menganggu dirinya. Mereka tidak ingin diatur, bahkan Ketua Kelas pun ikut dengan mereka.

Sekilas Raka memandang dirinya dari kejauhan. Ekspresi matanya sudah jelas bukanlah ke objek lain, melainkan kepada Freya sendiri. Seketika Freya tertegun dengan hal tersebut. Sangat jarang sekali Raka memandang ke belakang tepat di titk Freya duduk. Selapis senyum bersemayam, terlontar dari bibir Raka. Hal itu langsung membuat Freya terduduk untuk segera membalasnya.

Tangan Raka berisyarat agar Freya segera datang kepadanya. Namun, Freya masih tidak mengerti dengan isyarat itu. Mau tidak mau, Freya segera mendatangi Raka.

“Lo butuh penghapus dan peruncing buat ngegambar?” tanya Freya.

“Bukan ....”

“Jadi?” tanya Freya kembali. “Hmm ... kunci ruangan club udah gue kasih sama Karin tadi pagi.”

“Iya, Karin juga udah ngasih gue.” Sempat Raka memandang ke arah belakang di mana anak laki-laki sedang meribut, lalu kembali menoleh padanya. “Temenin gue makan."

“Apa? Lo mau gue temenin lo makan?” Freya tetap berusaha untuk tenang. Sungguh jantung Freya sedang berdebar kali ini.

“Iya, gue tadi siang belum sempet makan.”

Freya memandang jam tanganya. Denting jam kini menunjukkan pukul tiga sore. Hal itu berarti satu setengah jam lagi mereka akan segera pulang. Sementara itu, pria malang itu sama sekali belum makan. Bukannya tak mau, Freya hanya berpikir apakah ia sanggup makan berdua dengan Raka? Ia merupakan pria yang paling dikenal di sekolah ini. Setiap wanita, baik sangkatan, junior, atau pun senior, mustahil tidak tahu dengan Raka. Sudah jera rasanya Freya ditimpa masalah serupa antara dirinya dan Vioni.

“Ini udah jam tiga dan lo belum makan. Ke mana aja tadi lo?”

Raka tersenyum ringan. “Ada sedikit urusan dengan Kepala Sekolah. Gue mau makan tadi, tapi keburu masuk.”

Jujur, sepertinya Raka lebih taat aturan daripada Arion yang terkenal cerdas dan ada di kelas unggulan itu.

“Bukannya gue enggak mau ... hmmm ... nanti dilihatin orang banyak. Lo banyak dideketin oleh cewek.”

“Inilah kesempatan buat jadiin mereka cemburu. Hmm ... jika lo enggak mau, gue sendirian aja ke kantin―”

“Gue mau!” pungkas Freya dengan gugup, meskipun nadan tegas hingga membuat Raka heran.

Jawaban ada  untuk menyatakan ia ingin makan berdua dengan Raka. Kesempatan mana lagi di mana dirinya akan menatap Raka sebegitu dekat, lalu diiringi dengan percakapan ringan antara mereka berdua. Berharap, pembicaraan berlanjut lebih dalam lagi, menceritakan masalah masing-masing, hingga siapa yang sedang tersimpan di hati. Tidak menutup fakta bahwasanya Freya tentu saja penasaran dengan wanita yang dimaksud oleh Raka. Jangan dulu berharap bahwasanya Raka menyukai dirinya, setidaknya nama yang ia ketahui menjadi titik terang atas rasa penasaran. Cukup saja ia melanjutkan tujuan dari awal, tetaplah menyukai dari jauh tanpa bersuara.

Degup hati yang menatap malu kepada pria itu tak bisa Freya hindari begitu saja. Wangi tubuhnya menyeruak bagaikan semerbak yang memekarkan rasa kagumnya. Freya berjalan lambat di belakang, bahkan terlalu gugup untuk beriringan. Namun, di titik inilah biasanya ia selalu berada. Ia puas memandang rambut Raka yang bergoyang ketika terhembus angin, atau pun bahu lebar yang tampak maskulin itu. Jika ia terlalu beriringan, pasti seluruh orang akan melihatnya. Freya tidak ingin itu terjadi.

Sampailah mereka ke kantin yang selalu ada murid, bahkan di jam belajar seperti ini. Rata-rata dari  mereka merupakan para senior yang sudah tidak terlalu peduli dengan aturan, atau pun murid laki-laki badung dengan dengan gaya baju dikeluarkan. Siapa yang tidak kenal dengan Raka? Ia selalu disapa ria ketika melewati meja yang ada pengunjung. Sedangkan Freya hanya diam di belakang dengan muka tembok. Pikiran negatifnya itu selalu saja datang dengan beranggapan mereka pasti berpikiran yang tidak-tidak kepadanya.

Makanan dipesan, begitu pula dengan minuman. Freya hanya mengikuti pesanan Raka yang memilih mie ayam. Setelah makanan datang, mereka saling memberikan selamat makan satu sama lain, lalu mengisi perut dengan damai.

“Lo pacaran sama Arion, ya?” Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar padanya.

Diam wajah Freya memandangi Raka yang curiga. Berhenti Freya memotong mie yang masih bersambung dengan bibir.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang