68. Berhenti

54 7 0
                                    

68. Berhenti

Dinginnya tatapan itu menyesap di dalam kenangan, menghentikan waktu yang tengah berjalan pada teriknya hari. Hentak tangan penonton yang bertepuk tangan hanya berupa suara gema-gema kecil di ruangan tanpa udara, perhatian terlalu tertuju kepada tegap tubuh pria berpandang teduh itu. Akhirnya bertemu sorot mata itu dalam satu titik, memberikan Freya semangat yang berlebih. Kepercayaan dirinya bertumbuh seketika berkat kehadiran Arion. Tidak ia cemaskan mereka yang menonton, atau pun peserta yang lebih berkompeten darinya, yang terpenting ialah dirinya saat ini.

Bersorak penonton ketika Freya melakukan penutupan gerakan pedang seperti karakter Asuna di animenya. Penampilannya diakhiri dengan apik dan tepuk tangan gemuruh yang meriah. Suara dukungan itu menggema ke udara, terbang ke langit menyentuh cahaya terik mentari yang tertutup oleh helaian daun pepohonan. Tangan-tangan tegas juri menilai kemudian, Freya bersiap dengan seluruh kemungkinan yang ada. Akhirnya, Freya berpamitan kepada semuanya untuk kembali turun dengan membawa kebanggan tersendiri, yaitu ia melewati hal tersebut dengan baik.

“Raka!” panggil Freya dengan tegas tatkala ia melewati anak tangga panggung yang terakhir.

Tidak ada pria itu duduk di kursi semula. Seluruh peserta menatapi Freya yang berkata sedikit keras. Ia pun meminta maaf dan segela keluar. Ingin secepatnya ia berkata kepada Raka bahwa Arion ada di sini. Raka seharusnya bisa membujuk Arion sekali lagi untuk tampil bersama Karin. Rasanya, tidak percuma Arion datang ke sini semata-mata untuk melihat dirinya tampil apabila Arion turut ikut mengiringi Karin bernanyi nantinya. Tidak ia pedulikan fakta jika Arion sebenarnya masih menyimpan rasa dengan mantannya tersebut, tetapi ia ingin melihat Arion memenangkan perlombaan.

Freya berlari keluar tenda persiapan. Langkahnya ia percepat untuk mencari pria itu segera. Cahaya luar yang terang menyeruak masuk ke dalam ketika Freya membuka tirai tenda tertutup itu. Dari matanya yang silau, dengan jelas Freya melihat seseorang berdiri tepat di hadapannya. Freya berhenti berlari mencari Raka, tetapi fokus kepada wajah yang ia tatap.

“Kak Adit? Arion mana?” tanya Freya dengan tergesa-gesa.

“Ikut gue ....” Tangan Freya digenggam oleh Adit dengan erat. Mereka pun bergerak untuk berjalan. “Arion baru aja akan tampil bersama Karin. Lo harus gue bawa paling depan biar lo dengan jelas ngelihat Arion tampil.”

Freya menatap wajah Adit. “Bagaimana bisa Arion bisa tampil tanpa menolak? Raka ngebujuk dia lagi?”

“Ceritanya panjang ... sekarang lo harus cepat. Di dalam aula banyak banget orang. Kita bakal enggak bisa ke baris terdepan.”

Setengah tidak percaya, rasa penasaran itu membawa Freya melangkah lebih cepat ke aula fakultas. Mereka sampai di depan gedung aula fakultas beberapa saat kemudian. Pintu utama hanya satu yang dibuka, tetapi dari luar sini terlihat sesak sekali. Benar adanya ada sebuah panggung di dalam sana, tetapi Freya tidak melihat dengan jelas siapa gerangan yang akan tampil. Baginya, hanya suara pembawa acara lomba akustik terdengar dari pengeras suara hingga keluar ruangan. Oleh karena itu, Freya meminta Adit untuk membawanya masuk ke dalam.

“Beri tepuk tangan yang meriah buat Karin dan Arion!” seru pembawa acara tersebut.

Jemarin Freya menarik ujung kemeja yang dikenakan oleh Adit. “Itu Arion!”

Mereka berhenti sejenak. Freya yang tidak tinggi ternyata terhambat oleh penonton lain. Lagi pula, panggung tersebut tidaklah terlalu tinggi, hanya sepetak tumpukan kayu susun yang dibentuk etetik khusus suasana akustik yang teduh. Berkali-kali Freya meloncat, ia hanya melihat Arion yang baru saja duduk di atas kursi. Freya alihkan ke layar besar infocus di samping ruangan, Arion tampak memegang gitar yang diberikan oleh Karin. Terdengar dari tempatnya berdiri jika Arion sedang menyetel gitar tersebut agar sesuai dengan kenyamanannya.

“Tempat ini terlalu sesak sama penonton,” ucap Freya kepada Adit.

“Naik ke atas punggung gue ....” Adit menepuk pundaknya. “Biar lo gue gendong selama Arion tampil. Dia harus tahu kalau lo ada di sini.”

“Apa? Itu terlalu memalukan,” balas Freya.

Kepala Adit menoleh padanya. “Lo mau enggak ngelihat Arion secara langsung? Lagi pula, dia harus tahu kalau lo lagi ngenyemangatin dia di sini.”

“Kak Adit yakin?” tanya Freya memastikan.

Seketika Adit merendahkan tubuhnya. Ia gerakkan tangan Freya untuk menyentuh pundaknya. “Gue yakin ....”

Bersatu tangan freya pada pundak pria  yang bersedia diri menanggung beban tubuhnya itu. Freya naik perlahan, melingkarkan tangannya di leher Adit. Satu pergerakan meninggikan tubuh Freya ke atas. Dengan jelas Freya melihat seluruh kepala penonton yang sedang menyaksikan Arion memegang gitar di sana. Senyum mereka utuh sebelum penampilan musik yang akan dimelodikan. Petikan gitar Arion berhilir lembut, tepat di kala Freya melambaikan tangan sebagai tanda kehadirannya di sini. Hatinya yang berharap Arion menatap ke arahnya ternyata bersambut. Sorot mata mereka satu tujuan, bertemu di tengah-tengah sebagai balasan semangat yang Arion berikan tadi.

Arion pun tersenyum, tetapi tidak bisa membalas lambaian tangan. Hanya semangatnya yang satu tujuan untuk memenangkan perlombaan ini.

Melodi Arion berhaluan lembut mengiringi Karin sebelum mengeluarkan suara merdunya. Kagum menyasar hati Freya yang memerhatikan pria itu begitu detail. Tenang sekali Arion menampilkan kemampuan bergitarnya, padahal ia selalu dikenal pria yang pendiam dan pemalu. Tiada disangka ada sisi yang tidak terlihat dari Arion, yaitu ia bisa mempertunjukkan kepada semua orang jika dirinya bisa diandalkan. Beriring doa harapan Freya kepadanya agar bisa memaksimalkan penampilan dari Karin.

Seluruh tangan bergerak ke kiri dan ke kanan, Freya mengikuti alur euforia yang tercipta, begitu pula dengan Adit yang sedang menggendong Freya di belakangnya.

“Arion keren banget!” seru Freya.

Adit mendongakkan wajahnya ke atas. “Ya, dia itu penuh kejutan. Gue aja enggak nyangka kalau Arion itu punya tangan seni. Dia bisa menggambar, melukis, serta bermain musik. Sikap dinginnya aja yang bikin kesal.”

“Mereka pasti akan menang kalau dengan penampilan begini.” Freya semakin semangat menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri.

“Freya ...,” sahut Adit. Wajahnya memandang ke depan, memerhatikan Arion yang dipilih oleh Freya sebagai kekasihnya. “Kalau Arion nyakitin lo ... bilang sama gue.”

Pandangan Freya jatuh ke bawah. Ia pernah merasakan bagaimana pahitnya ketika diri tidak dipandang sebagai orang yang harus menerima rasa. Namun, keadaan telah beralih sedemikian rupa sehingga ia harus memilih Arion. Jika saja Arion terlambat sedetik saja, ia pastikan akan menerima cinta dari Adit.

“Kak, maafin Freya, ya ... Freya tahu kok rasanya kalau di posisi Kak Adit. Kita masih bisa berteman, kok. Kan kita udah janji sebelumnya,” balas Freya penuh pengertian.

“Iya, Freya ... terima kasih enggak ngejauhin gue. Gue paham kok dengan keputusan lo.” Adit memandang kembali ke arah Arion kembali. “Lagi pula, lo cocok buat Arion yang baik hati itu.”

Freya tersenyum. “Ngomong-ngomong ... bagaimana Arion bisa berubah pikiran.”

Adit mengehela napas. Teringat cerita Arion sebelum ia datang ke sini, tepat ketika ia berlatih band di rumahnya tadi. Adit tahu jika Freya sama sekali tidak mengetahui mengenai hal tersebut. Hanya dirinya dan Raka yang tahu tentang kejadian hari kemarin, di mana Raka bertekuk lutut memohon kepada Arion agar kembali ke dalam club yang mereka bangun. Dengan penuh tawa kemenangan Arion menceritakan hal tersebut kepada Adit. Satu sisi yang tidak diketahui oleh banyak orang, Arion itu terlalu dingin sehingga terkadang tidak memedulikan perasaaan orang lain.

Bagaimana perasaan seseorang yang diremehkan dengan tawa penuh kesombongan? Adit bergidik ngeri ketika Arion menceritakan jika Arion menceritakan mengenai Raka dengan penuh suka cita. Orang tidak banyak yang tahu, Arion fanatik dengan kemenangan. Ia tahu kapan ia harus melawan, kapan ia harus mundur untuk menunggu kemenangan. Bertekuk lututnya seorang Raka merupakan kemenangan yang mutlak. Bagaimana bisa orang nomor satu di angkatannya tersebut bisa bersujud seperti itu? Sementara Arion menyambutnya dengan tawa yang keras.

Ia sudah kalah ... gue benci sama dia sejak dahulu. Raka itu terlalu idealis dan utopis di balik hasratntya buat kekuasaan.

Itulah kalimat Arion ucapkan kepada Adit. Ia sudah lama tahu jika perang urat syaraf antara dua pria itu terjadi. Terutama, semenjak Adit berkenalan dengan Arion dan di kala itu kisah romansa segitiga penuh kebusukan terjadi kepada mereka. Baginya, tidak ada yang sama-sama baik, setiap orang memilih jalan kebusukannya sendiri. Karin telah berselingkuh, memanfaatkan Raka yang penuh popularitas. Sementara Arion, sebagai pacar terlalu dingin kepada kekasihnya sendiri dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman wanitanya itu. Entahlah ... setidaknya itu yang dipikirkan oleh Adit mengenai mereka.

“Raka memohon kepada Arion biar dia kembali. Entah apa yang terjadi, sehingga Arion mau.” Arion menatap Freya. “Gue rasa Arion hanya berlagak sok keren gitu biar diperhatikan orang. Hahaha ....”

“Iya, terkadang dia sok keren. Tapi, gue senang dia menyelesaikan tugas yang sebelumnya dia emban.”

Dalam hati Adit berkata, Arion ... lo udah beruntung ngedapatin Freya yang tulus mencintai lo. Lo harus begitu pula sama dia .... Gue berhenti di titik ini. Dia milik lo ....

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang