38. Masih Berharap?

53 8 0
                                    

38. Masih Berharap?

Kalimat itu menyadarkan Freya bagaimana hati memandang seseorang. Ya terkadang benar, setiap hati menyimpan sebuah nama. Nama itu yang akan selalu teringat tanpa pernah memikirkan orang lain. Setiap detik akan selalu terngiang, tidak memberikan kesempatan bagi orang lain menyesap ke dalam hati. Hanya untuk dirinya seorang, siang dan malam terbayang. Maka dari itu, tidak mungkin hubunganya dengan Arion akan jauh melibatkan perasaan.

“Lo benar ... kita udah orang yang disukai masing-masing.” Freya menatap ke bawah untuk memahami perkataan Arion. Kesimpulan sudah ditarik, sore ini bukanlah kencan seperti yang ia duga. Arion hanya ingin membawa seorang teman ke taman untuk bertemu dengan temannya yang lain. “Ngomong-ngomong ... lo kenapa menolak buat ngiringin Karin main gitar? Kata Raka, lo cukup bagus main gitar.”

“Hahah ... gue gugup kalau didekat dia. Tangan gue bergetar kalau bermain gitar di samping Karin nantinya. Selain itu, gue merhatiin Karin enggak terlalu terbuka dengan orang baru. Ia orang yang sinis.”

“Dia memang sinis, tetapi sebenarnya dia baik. Karin adalah orang kedua yang paling peduli dengan club, setelah Raka.” Freya tersenyum kepada Arion. “Tapi, cobalah ubah pandangan lo itu. Tujuan lo bermain gitar bukan untuk Karin, tetapi untuk club karena lo punya kapasitas. Gue yakin kalian bakalan menang.”

“Kayanya gue enggak bisa, deh.” Wajah Arion tampak ragu.

“Ayolah ... gue pasti senang kalau lo ngelakuin itu bersama Karin. Selain itu, ini bisa bikin kalian jadi dekat, bukan?” pancing Freya.

Sejenak Arion berpikir. Bibir bawahnya tergigit untuk mencerna saran dari Freya. “Lihat besok, deh. Masih gue pertimbangkan.”

Mendengar hal tersebut, Freya menjadi senang. Arion sebenarnya membutuhkan teman cerita karena dirinya selalu sendiri. Memang, dirinya sendiri selalu sendiri, tetapi ia tetap memiliki teman untuk bercerita panjang lebar. Arion kurang memiliki kemampuan untuk menceritakan kepada orang yang masih belum dianggap cocok bercerita dengannya, hingga ia perlu memilih lagi dengan tepat siapa saja yang akan mendengar cerita itu. Kebetuntungan itu jatuh kepada Freya. Pria itu memilihnya sebagai teman untuk bercerita, seperti senja kali ini.

Ia elus pungung hangat Arion. Pria itu pun tersenyum lebar. Belum pernah dirinya selugas ini kepada pria lain, hanya kepada Arion. Tak sadar dirinya Arion memiliki sifat yang hangat, selain wajah dingin ketika di luar sana. Senja ini terasa bermakna dengan lembaran momen yang terjadi. Senyum mereka berpadu di hijaunya taman, ranumnya harum bunga-bunga, serta riangnya lari anak-anak yang mengejar satu sama lain.

Sentuhan itu berbekas dalam kusutnya seragam, menyesap ke dalam hati Arion yang ragu. Entah mengapa tangan Freya bagaikan air yang menyejukkan wajahnya, membentuk senyum yang akan ia sampaikan begitu sederhana. Penutup senja itu Arion kenang dengan menyentuh kembali tepat di mana Freya membelai punggungnya dengan lembut. Ada di sebuah sore yang berbekas itu, di mana Arion tidak salah memilih teman. Wanita yang ia temui dengan lutut berdarah itu telah memberikan warna lain di dalam hidupnya.

Terngiang ucapan Freya kemarin senja tepat di muka pintu club. Tangannya masih menyentuh bahu yang kemarin tempat bersandar siku Freya untuk memberikan semangat. Jikalau masa lalu yang pernah terjadi telah membuatnya bimbang seperti ini, seharusnya tak akan ia pijaki ruangan ini. Ia yang sudah memilih untuk masuk, tidak mungkin bisa untuk keluar. Oleh karena itu, segala konsekuensi haruslah ia hantam meskipun harus bermain rahasia dengan yang mengajaknya ke sini.
Tangan Arion membuka pintu ruangan club. Tak ada kata yang bisa dikatakan selain keindahan dari pandangan Karin. Dua bola kecil hitam di matanya itu tepat mengarah kepada Arion. Berhaluankan diam yang tak ingin bergerak, bibirnya terlalu sulit untuk menyambut Arion dengan kata, begitu pula Arion yang terbiasa diam. Hanya gerak tubuh Arion yang melangkah ke hadapan Karin, lalu mengambil alih gitar tersebut.

“Mari latihan, gue pengiring lo,” ucapnya tanpa memandang wajah Karin.

“Gue kira lo masih bisu seperti dulu. Ini pertama kali kita bicara sejauh ini,” balas Karin.

“Jangan sebut kata 'dulu', kita ada di masa sekarang. Yang dulu biarlah berlalu.” Jemari Arion memasang chord pada fret gitar.

“Enggak, gue belum bisa.” Karin menggeleng. “Kenapa lo ninggalin gue?”

“Lo masih berharap?” Matanya lurus tajam menatap Karin. Ia sensitif sekali ketika disinggung dengan masa lalu. Namun, dirinya sendiri tak bisa lepas dari masa lalu itu sendiri. Cinta lama masih bertahan seperti paku yang dipukul sebegitu kuat, hingga sulit untuk diambil kembali.

“Enggak, gue hanya enggak bisa ngelupain orang yang pernah berbuat jahat sama gue. Itu aja ....”

“Begitu pula gue juga.”

Pandangan Arion berubah pada gitar, lalu mulai memainkan irama lagu yang akan mengiringi Karin. Namun, gerak gemulai tangannya berpindah chord tak seiring dengan satu pikiran yang masih berputar di pikirannya. Ia tak akan perah lupa di mana tangan Raka menyentuh dengan lembut wajah Karin di ruangan ini, setahun yang lalu. Tepat untuk dijadikan alasan kenapa ia tak pernah menyukai pria itu. Arion tahu jika hubungan itu tidak lagi bisa dilanjutkan, meskipun ia harus bersedih hati meninggalkan wanita yang ia cintai. Hanya saja, ia masih belum bisa keluar di dalam lingkaran rasa itu. Cinta dan gaduh bercampur dengan rasa penasaran mengenai hubungan Karin dan Raka sampai saat ini.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang