Epilog

228 14 0
                                    

Epilog

Momen yang ditunggu akhirnya tiba. Sekolah menggelar acara kemah yang telah menciptakan antusias di kalangan siswa. Semua persiapan telah disediakan, tanpa terkecuali bagi Freya yang sedikit sibuk pagi ini. Sarapan sudah ia lakukan sejak satu jam yang lalu, bahkan sebelum matahari terbit. Hanya saja, ia terlalu memikirkan benda-benda yang berkemungkinan tidak dimasukkan di dalam koper. Ia sibuk mondar-mandir di dalam kamar, memikirkan benda yang akan ia bawa. Bahkan, dua ikan maskoki pemberian Arion barangkali bingung oleh perilaku Freya pagi ini.

Mama berkali-kali memanggil Freya untuk segera keluar kamar karena Adit dan ibunya telah menunggu lama di bawah. Teh yang disiapkan oleh Mama untuk mereka bahkan sudah tinggal serbuk ampas. Sementara itu, Freya tidak kunjung menampakkan batang hidung karena selalu merasa belum siap. Adit yang sudah menunggu lama akhirnya naik ke atas, memerika keadaan anak itu. Terlihatlah Freya yang sibuk melihat kembali isi kopernya dengan wajah menyerngit kebingungan.

“Eh, elo mau pergi ke mana, sih? Lama banget ....” Adit bertegak pinggan di muka pintu.

Freya menghela napas. “Gue udah siap ... ayo kita pergi.”

“Udah ... jangan khawatir ada yang ketinggalan.” Arion melangkah untuk mengangkat koper Freya. “Arion udah nungguin di dalam bus.”

“Mereka udah mau berangkat?” tanya Freya dengan panik.

“Sebagian dari mereka udah ada yang naik ke bus.”

Bergegas Freya turun dan menghampiri Mama untuk menyalami. Setelah menunggu lama, mereka bisa diantar oleh ibunya Arion menuju ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, bus pariwisata sudah berjejer parkir sepanjang jalan. Wali kelas dan muridnya bergumul menghitung jumlah agar semua lengkap. Sementara yang lain sudah bergegas masuk ke dalam bus. Tidak ingin terlambat, Freya dan Adit bergerak menuju sekumpulan teman kelasnya masing-masing. Dada Freya semakin berdetak kencang karena seluruh anggota kelasnya sudah masuk ke dalam bus yang sudah ditetapkan.

Raka bertegak pinggang di muka pintu bus, menunggu satu orang yang sedari tadi tidak kunjung muncul.

“Freya, lo dari mana? Gue kira lo enggak pergi. Gue tanyain Arion, dia enggak mau jawab.”

Freya memerengkan wajah karena mendengar pernyataan jika Arion yang tidak mau memberikan jawaban. Dasar anak itu!

“Yang penting sekarang gue udah di sini.”

Raka melihat jam tangannya. “Dua puluh menit lagi kita berangkat. Silahkan duduk di samping Lani. Dia udah nungguin lo dari tadi.”

“Iya, deh. Maaf ya gue terlambat.”

Pertemuannya dengan Lani pagi ini berbuah dengan pelukan hangat. Mereka duduk bersamping-sampingan, sama-sama tidak sabar apa yang dilakukan nanti di lokasi kemah. Rengkuh syukur mengenai nilai semasa semester ini tercipta dari lekuk senyum yang menyambar lembut, meskipun nilau tersebut tergolong biasa-biasa saja. Pembagian raport mereka cukup baik, meskipun tidak satu pun dari mereka berdua yang masuk ke dalam sepuluh besar. Terseliplah pembahasan hal itu sejenak, meskipun Freya jengkel apabila ditanyai mengenai raport.

Sepanjang jalan, Freya menghabiskanw waktu dengan bercanda bersama Lani. Lani tidak jadi tertidur karena terus saja digaduh, terutama ketika mereka sudah keluar dari kota. Mata kemudian semakin menyalak dengan pemandangan hijau yang asri. Perjalanan semakin masuk ke dalam suasana desa, menyelinap di jalanan aspal yang lengang. Hanya bapak-bapak tua penduduk desa yang tampak beriringan. Adapun kendaraa, hanya berupa motor kebun modifikasi.

Tidak sadar perjalanan pun berakhir dengan hentak tubuh berkat bus yang berhenti. Bus berjejer pada sebuah lapangan bola untuk memarkirkan diri. Guru-guru dan kakak pembimbing mulai mengarahkan mereka. Kemudian, setiap langkah membersamai satu sama lain. Setiap kali mata terbuka, didapati jika mereka sedang berada di sebuah kawasan perbukitan. Perjalanan lebih dari lima jam ini berbuah dengan pemandangan hamparan hijau dan udara sejuk. Tipisnya embus menambah sausana syahdu, terutama ketika angin tidak sengaja datang menerpa. Diri seakan dibawa terbang ke langit, seakan tidak lagi berpijak di tanah.

Tepat di tengah kerumunan murid yang berjalan, terlihat Vioni dan teman-teman yang pernah mengganggu ketenangan hidup Freya. Sudah tidak pernah lagi mereka berpetik kepada Freya sejak ancaman dari Adit mereka dengar. Jaminan dari Adit melindungi Freya selama ini. Freya lalu mengedarkan penglihatannya, di sana ada Karin dan Zeta melangkah beriringan. Sudah lama mereka tidak bertegur sapa, terutama semenjak dirinya mengatakan jika tidak akan memaafkan wanita itu. Benar, rasa sesal itu pun masih bertahan hingga saat ini. Setidaknya, tiada satu pun dari mereka yang ingin mengungkit masalah itu kembali. Biarlah terpendam di dalam waktu dan momen yang tercipta .

“Lani ....” Freya menoleh ke samping.

Wajahnya terheran ketika Lani tidak ada di sampingnya. Kini, sosok Lani berganti dengan pria berwajah kaku denan sipit mata yang tegas melihat ke depan. Pria itu sempat melirik ke samping dengan senyum tipis sesaat, lalu kembali melihat ke jalanan depan yang menanjak. Freya menoleh ke belakang, Lani yang sedari tadi menemaninya sudah tidak ada lagi. Entah ke mana anak itu.

“Lani mana?” tanya Lani pada Arion.

“Gue bilang kalau Raka nyariin dia di rombongan belakang,” balas Arion.

“Itu benar?”

Arion menangkat bahunya.

“Enggak ... cuma biar gue ada waktu sama lo.”

“Lah? Lo berani-beraninya ngibulin Lani!” Freya menepuk lengan Arion.

“Hahah ... soalnya lo kalau udah sama dia, bakalan lupa dengan orang lain, termasuk gue sendiri.” Tawa Arion sejenak keluar dari bibirnya yang tipis. Ia diam sejenak, tetapi tangannya liar menjalar ke sela-sela tangan Freya. Malu di hadapan para senior dan teman seangkatan, kini ia lawan dengan menerbar kemesraan. “Tujuan selanjutnya ialah biar orang lain tahu kalau kita pacaran.”

“Oh, ya? Semenjak kapan kita punya tujun baru?” Freya memerengkan kepala dan semakin ia eratkan genggaman tangan Arion.

“Setiap saat manusia harus bergerak, oleh karena itu selalu punya tujuan baru.” Arion tersenyum. “Gue udah kaya cowok keren, enggak?”

“Jangan pernah bilang 'cowok keren' lagi.” Freya menegakkan pandangannya lurus ke depan. “Tanpa bilang begitu pun, lo udah keren. Genggam tangan gue, bawa gue hingga ke puncak.”

“Jangan pernah tinggalin gue ....”

“Iya, lo juga, Arion ....”

Cinta mengawang pada dinginnya udara perbukitan kemah, membuat setiap mata melirik kemesraan tersebut. Tidak ada ragu yang berkata, biarkan semua orang tahu. Momen ini akan ia catat di dalam diary malamnya ketika tinta hitam menggambarkan kisah ini nanti. Terkadang, ia masih terasa tidak percaya bisa akan menikmati cinta masa mudanya, terutama dengan seorang Arion. Hanya satu yang ia dapati dari semua lika-liku asmara yang ia lewati. Jika cinta, maka cinta sajalah. Hatimu merupakan milikmu, bukan milik orang lain. Ketulusan itu yang akan membawa kepada cinta sejati.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang