36. Sebuah Kencan?

63 6 0
                                    

36. Sebuah Kencan?

Kini mereka berbelok dari satu simpang ke simpang yang lain menuju ke wilayah perkantoran dinas. Arah-arah tujuan masih balum bisa Freya tebak, sementara itu Arion tidak ingin memberitahukan tujuan mereka senja kali ini. Malah, Arion berkata tidak akan membawanya jauh ke luar kota. Kalimat bodoh itu tidak masuk di akal, mana sanggup kaki pria itu membawanya hingga keluar kota hanya dengan mengendarai sepeda.

Ramai warga kota mulai tampak di salah satu objek perkumpulan kota. Arion berbelok ke sebuah taman kota yang biasa dijadikan tempat menongkrong muda-mudi dan keluarga yang membawa anak-anaknya bermain. Rem mendadak Arion lakukan tatkala sampai di parkiran khusus sepeda, hingga Freya terhentak ke depan, berdempetan dengan tubuh Arion bagian belakang.

Napas Freya sesak karena terlalu dipicu adrenalin. “Sumpah ... gue kali ini boncengan dengan lo. Gue enggak mau lagi!”

“Yaelah ... segitu doang malah takut.” Arion turun dari sepeda. “Kita udah sampai. Selamat datang di taman kota.”

“Kalau lo mau bawa gue ke sini, bilang aja langsung.”

Tangan Arion cekatan mengunci ban sepeda agar tidak kehilangan. Lalu, dirinya menoleh kepada Freya tatkala berjongkok. “Gue takutnya lo enggak mau dibawa ke sini.”

“Arion, apa susahnya gue ke sini.”

“Iya, sih ... tapi gue kira cewek zaman sekarang enggak mau dibawa ke taman. Terlalu biasa main ke cafe, restoran ayam, sama dibawa nge-mall,” balas Arion sembari mengencangkan tali tas.

“Lo berbicara kaya gini kaya udah tua aja.”

“Gue tua setahun dari lo.” Dirinya bergerak lebih dahulu. “Ada seseorang yang pengen gue temui. Tapi, jangan curiga karena itu hanya teman.”

Siapa yang curiga, sih!

Taman kota tengah ramai karena warga butuh penyegaran di senja hari, di kala seluruh pekerjaan harian membuat penuh isi kepala. Harmoni suasana tenang dengan wewangian asap pedagang sate kaki lima menjadi sensasi tersendiri di taman kota. Anak-anak tampak riang bermain mengejar satu sama lain. Ada pula yang bermain wahana dan mobil listrik ditemani oleh keluarga. Tidak luput taman kota oleh romansa pasangan muda-mudi yang memadu kasih di meja beratap jamur, lalu berbincang mengenai rindu mereka ini. Senja juga menjadi waktu yang tepat untuk berolahraga. Taman dijadikan tempat berkeringat santai dengan bersepeda, jogging, serta yang paling menarik ialah kegiatan skateboard yang ada di arena khusus.

Pria itu membawa Freya ke arena skateboard. Budaya anak muda urban telah identik dengan permainan ini. Para pemain skateboard tersebut tengah asyik meluncur pada cekungan-cekungan arena. Keseruan mereka berdetak dari gesekan papan luncur dan suara kegirangan mereka apabila berhasil melakukan sebuah trik. Kini, Freya bersamping-sampingan tepat di tepi arena. Kepalanya berdiri seakan tengah mencari seseorang.

“Dinda!” teriak Arion seraya melambaikan tangan.

Wanita sipit berkulit putih itu pun menoleh ketika berseluncur di arena. Menyadari kehadiran temannya, ia pun mengubah arah kepada mereka berdua. Senyumnya terpancar sembari melambai balik untuk menyapa. Dengan perlengkapan keamanan yang lengkap, ia tiba di hadapan Arion dan Freya dengan napas yang tidak beraturan. Sepertinya ia sudah kelelahan berseluncur.

“Wow, Arion ... dan ... hmm ... lo Freya!” Dinda tersenyum kepada Freya. “Tumben berdua dengan Arion.”

“Hai, Din ... sepertinya seru,” sapa Freya.

“Iya, dong. Gue kalau sore selalu ke sini sehabis sekolah. Lumayan keringetan biar sehat.”

“Dia gue minta mengawani gue ke sini,” balas Arion.

Ia bertegak pinggang. Papan seluncurnya tegak secara vertikal, disandarkan pada tubuhnya sendiri. Tidak Freya sangka wanita imut yang dibawa Arion ketika malam festival Jepang itu, ternyata memiliki hobi berseluncur di atas papan. Freya lihat, hanya dia wanita satu-satunya yang ada. Sementara teman berseluncurnya yang lain merupakan para pria.

“Jadi, mau ngapain ke sini?” tanya Dinda. Kedua alisnya berdiri. “Kalau mau main skateboard, gua cuma punya satu. Tapi, kalau kalian mau mencoba, gue bisa minjamin ke kalian.”

Arion menggeleng. “Enggak, kok. Gue mau balikin buku Matematika yang gue pinjam minggu lalu buat di-fotocopy. By the way, thanks banget. Gue terbantu dengan buku itu.”

Ucapan Arion beringingan dengan tangannya memberikan buku itu kepada Dinda.

“Cowok sepintar lo, ternyata butuh buku dari orang yang enggak pintar kaya gue. Gue kira lo udah tahu semuanya.”

“Hey, lo kira pintar itu enak. Gue berkali-kali diminta buat ikut olimpiade, berkali-kali pula gue tebalin muka buat nolak. Dianggap pintar itu terkadang menyebalkan.”

Dinda menatap Freya. “Lihat ... lo berteman sama orang gila.

Terkadang, omongannya enggak bisa dimengerti. Jangan terlalu sering berteman dengan dia.”

“Jangan dengerin dia juga, dia lebih gila daripada yang lo kira,” balas Arion tak ingin kalah.

Freya tertawa melihat mereka berdebat satu sama lain. Sepertinya mereka sangat dekat hingga candaan itu terdengar harmoni satu sama lain.

“Ya, kita semua gila dengan caranya sendiri, kan? Hahahah,” canda Freya.

“Kalau lo pingin main lagi, main aja sana. Kami ke sini cuma buat itu.”

“Iya ... lo ngangguin gue aja!” Dinda mengambil posisi kuda-kuda untuk meluncur. Ia sempat menoleh ke belakang sebentar. “Lanjutin jadwal kencan kalian. Hahahah!”

Wajah Freya seketika memanas mendengar ucapan terakhir dari Dinda sebelum ia meluncur dengan cepat. Sementara itu, Arion tertawa mendengar ocehan bodoh temannya itu. Seperti yang ia bilang, Dinda memang selalu spontan dalam setiap ucapannya. Dinda merupakan orang yang asyik diajak berbicara dan mudah akrab dengan siapa saja. Jika tidak, mana mungkin dirinya bisa mengenal Arion begitu dekat, padahal Arion sangatlah pendiam.

Gesekan roda papan luncur menghiasai suara di sekitar. Sempat mereka berdua menikmati aksi-aksi peluncur yang bermain dengan apik. Kemudian, Arion menoleh pada Freya.

“Lo udah pernah makan dengan cowok sebelumnya?”

“Pertanyaan apa-apan itu. Pasti pernah.”

“Maksud gue, ditempat yang tenang, berdua saja tanpa siapa-siapa.”

Freya terdiam mencerna kalimat tersebut. Suasana itu sama sekali belum pernah Freya jamahi.

“Sepertinya belum.”

“Mari kita makan berdua. Di sini banyak jajanan murah.” Arion berjalan lebih dahulu, meningalkan Freya yang terdiam memahami perkataannya tersebut.

Apakah ini sebuah kencan? tanya Freya di dalam hati.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang