59. Senja Sedang Berharmoni
Bagaiman perasaan seseorang diremehkan, ketika yang meremehkah selalu bergantung padanya?
Arion sadar, bahwasnya ia masih terlalu jauh sepak terjangnya di dalam dunia perkomikan daripada Raka sendiri. Bukan ia ingin menyombong, tidak pula ia pernah meremehkan pria itu. Ia pantang meremehkan seseorang dengan kapasitas dirinya yang tidak begitu seberapa. Namun, ketika harga diri direndahkan, di situ pula letak kepantasan seorang individu untuk melakukan hal yang sama. Benar, ia tidak suka ketika direndahkan seperti itu. Ingin ia habisi wajah tampan Raka yang dipuji oleh gadis satu sekolahan itu―termasuk pacar dan mantannya sendiri―tetapi ia sadar hal itu bukanlah bagian dari kepribadiannya sendiri.
Manusia merupakan makhluk yang bebas. Arion masih memegang teguh prinsip tersebut. Ia merupakan bagian dari satu individu bukan bagian dari individu yang lainnya, dalam artian dirinya tidak akan bisa diintervensi dari pihak mana pun. Sebegitu kuat pengaruh Raka di sekolah, sebegitu banyak orang yang menyanjung pria itu dengan kefanatikannya, tetapi Raka tetaplah sama dengan orang lain di mata Arion. Arion memandangnya sebagai individu, bukan privilege yang selalu bergantung pada pria itu. Konklusinya ialah ia tidak memandang Raka sebagai atasan, melainkan hanya sebagai ketua yang menjalankan tugas administratif belaka.
Entah kenapa Raka bersikap begitu. Sejauh ini ia berteman―meskipun ia memilih menghindari orang-orang terkenal seperti Raka―tidak pernah didengar Raka berkata kasar kepada orang lain. Raka merupakan orang yang selalu menjunjung etika karena title-nya sebagai pejabat organisasi siswa tertinggi itu. Ia pun tahu bahwasanya bukan karakter asli Raka berkelakuan seperti itu. Namun, Raka sama sekali menjadi orang yang berbeda, bukanlah Raka yang selama ini ia kenal.
Tidak ada ruginya pula bagi Arion untuk keluar dari club. Perihal namanya, club itu pasti membutuhkan namanya untuk selalu terdaftar hingga saat ini. Jika tidak, tentu saja akan datang surat pemberitahuan pembubaran organisasi karena tidak mencukupi jumlah minimal anggota. Arion tidak mempermasalahkan hal tersebut. Lagi pula, di sana ada Freya yang masih ingin bertahan. Ia tidak ingin menyakiti hati wanita itu.
Arion menoleh ke trotoar jalanan tatkala seorang wanita datang memasuki halte. Yang biasanya Freya pulang pakai sepeda―hari ini Freya tidak dijemput olehnya―kini berjalanan kaki untuk menuju ke rumah. Duduk Freya di samping Arion sembari menggenggam tangannya sebegitu erat.
“Tangan lo dingin, masih marah?” tanya Freya.
“Kalau lo pegang tangan gue kaya gini, gue enggak bisa marah lagi.”
Freya menoleh kepada Arion. “Lo berbohong. Kalimat lo cuma sandiwara pacar-pacaran yang lagi kita lakukan.”
Semakin Arion kuatkan genggaman tangan Freya. “Bukan, ini serius. Lo bikin gue nyaman dan tenang.”
“Lo udah mulai suka sama gue?” tanya Freya dengan polosnya. “Kalau iya, itu enggak adil banget karena gue belum. Seharusnya, kita jatuh cinta di saat yang bersamaan.”
“Belum ... gue hanya merasa nyaman dengan lo.” Arion tersenyum kecil. “Tujuan kita pacaran itu kan buat ngelupain mereka berdua. Gue enggak maksa lo suka sama gue, begitu pula gue enggak memaksakan diri buat suka sama lo.”
Freya menggeleng sesaat. “Tapi, Arion ... entah kenapa gue berharap kita saling jatuh cinta. Gue pengen punya pacar yang saling jatuh cinta.”
“Kita ubah tujuan kita yang diawal?”
“Gue harap begitu.”
“Baiklah ... gue berusaha buat suka sama lo. Kalau kita udah di titik itu, jujur aja masing-masing.” Tangan Arion membelai rambut Freya.“Tumben enggak pakai sepeda.”
“Gue mau sama lo. Bawa gue ke mana lo mau pergi.”
“Oke, nanti gue antarin pulang ke rumah.”
Salah satu alasan ia tetap memilih Arion ialah rasa nyaman itu sendiri, sama halnya dengan yang Arion rasakan. Ia sejuk lagi menyamankan hati. Tidak risau hati tatkala di sisinya. Freya ingin selalu berlama-lama menghabiskan waktu bersama pria itu. Memang, terkadang Arion bersikap dingin dengan lebih banyak diam. Namun, hangat senyum tipisnya itu selalu Freya tunggu. Termasuk tatkala satu bus dengannya saat ini, berdampingan berdua di sampingnya. Freya tak ragu menyandarkan wajah pada bahu Arion, sembari mendengar sunyi kata dari bibir pria itu, tidak ada satu pun bunyi yang ia ucapkan.
Langkah Freya hanya mengikuti Arion yang membawanya. Setidaknya, kini Freya melangkah menuju sebuah komplek perumahan setelah turun dari halte perhentian bus. Tibalah mereka di muka rumah tingkat dua dengan warna biru yang mendominasi. Pagar rumah tersebut terbuat dari tembok warna putih dengan noda karena termakan usia. Terlihat kesan rumah itu telah berumur, tetapi kesan estetik dengan berbagai bunga-bunga yang menghiasi depan rumah. Tatkala angin berhembus, gesekan antar daun dari dua pohon besar di sisi kiri dan kanan rumah memberikan harmoni alam yang menyentuh. Terbanglah burung-burung yang senang bertengger pada senja hari.
Bunyi pagar berdecit tatkala Arion buka.
“Selamat datang di rumah gue.” Ia tersenyum kecil.
“Ini pengalaman pertama gue pergi ke rumahnya pacar sendiri.” Freya memandang wajah Arion. “Ibu lo udah tahu kalau kita pacaran?”
“Gue selalu cerita sama Ibu. Lagi pula, sekarang Ibu pasti ada di toko bunga.” Arion menunjuk ke bagian belakang rumah. “Bukannya gue enggak mau ngajak lo masuk, tapi gue rasa di belakang lebih menari. Ada pondok kecil yang seminggu lalu gue bikin. Pasti nyaman.”
“Iya, deh. Gue ke belakang dulu.”
“Gue bikin minum ke dalam.”Sempat beberapa langkah ia bergerak, Arion kembali menoleh ke belakang. “Kalau lihat anak perempuan yang cerewet, itu adik gue. Kayanya dia udah pulang dari sekolah.”
Freya mengangguk dan melanjutkan langkahnya ke halaman belakang rumah.
Ada satu sentuhan estetik yang dipandang oleh Freya tatkala menuju ke belakang. Jika ditebak bawhasanya hanya ditemukan tumbuhan-tumbuhan rimbun, maka bisa lebih dari itu. Lukisan-lukisan abstrak bersarang di dinding teras rumah. Wajah yang terlukis terkadang tidak jelas, tetapi membuat Freya memikirkan kembali apa makna dari keabstrakan tersebut. Terdapat pula kanvas lukisan di tengah-tengah halaman belakang, lengkah dengan kuas dan wadah cat yang tergeletak di atas terpal putih sebagai alas. Tidak hanya itu yang menarik perhatian Freya, ada satu sentuhan seni rupa yang menuntun mata Freya untuk menatapnya, yaitu patung-patung kayu.
Satu langkah Freya berdiri di atas teras. Teras belakang yang lebar ini seakan seperti galeri seni. Menakjubkan sekali ada keindahan yang tersembunyi dari besarnya rumah ini. Patung-patung tersebut ada berupa bentuk dari seperempat tubuh, seperti seorang pedalaman primitif yang sedang menatap lebar. Ada pula wajah binatang yang menyeringai layaknya hantu di hutan. Belum lagi bentuk-bentuk abstrak yang menyentuh jiwa apabila mendalami maknanya.
Pintu belakang terbuka, Freya mundur selangkah karena merasa lancang memasuki teras ini tanpa izin. Wajah gadis kecil yang tubuhnya sedikit lebih rendah dari Freya, kini tersenyum lebar dengan pipi tercoretkan cat lukisan. Tangannya tergenggam kuas lukis yang masih basah. Freya yang tercengang melihat gadis itu.
“Temen atau pacarnya Kak Arion?” tanya gadis itu. Ia datang menghampiri Freya. Tanpa diminta, ia lebih dahulu menyentuh tangan Freya untuk bersalaman. “Aku Rigel, adiknya. Maaf ya Kak, soalnya lagi berantakan di sana.”
Freya melihat ke belakang, tepat di kanvas lukisan yang berdiri di tengah-tengah halaman.
“Iya, enggak apa-apa, kok. Kenalin, Kakak namanya Freya, pacarnya Kak Arion.”
“Wow, Kak Arion punya pacar baru. Yang kemarin itu sedikit cerewet.” Matanya melebar menyadari hal tersebut. “Freya ... hmm ... dewi kesuburan dari mitologi Nordik. Dia cantik, sama kaya Kakak.”
Beda banget sama kakaknya sendiri, guman Freya di dalam hati. Benar-benar betolak belakang dengan karakter Arion yang dingin. Adiknya terlihat bisa dengan cepat akrab, bahkan tanpa basa-basi sedikit pun.
“Jadi, lukisan-lukisan ini karya kamu?”
“Iya, dong. Lukisan ini punyaku. Kalau patung-patung itu punya mendiang Ayah. Sebagaimana yang Kakak tahu, kayanya kami ini semuanya seniman. Hahahah ...”
“Kakakmu juga pandai ngegambar. Beda sama Kakak yang enggak tahu bisa apa ....”
Rigel mendahului Freya menuju ke kanvas lukisnya. “Semua orang punya bakat, percayalah. Kak Arion ada di dalam. Kalau mau masuk, masuk aja. Tapi, jangan ke kamarnya karena berantakan dan bau."
Dasar kamar laki-laki .... Freya tertawa di dalam hati.
Karena mendengar bunyi alat dapur dari rumah, Freya berinisiatif untuk masuk. Sudah pasti di sana ada Arion yang tengah menyiapkan minuman untuknya. Ia ingin membantunya di sana dan penasaran mengenai bentuk dalam rumah. Mungkin saja sama estetiknya seperti yang di belakang. Benar saja, baru Freya masuk selangkah ke dalam rumah, ia disuguhi oleh lukisan-lukisan yang berjejer pada dinding. Setiap sudut rumah berdiri patung-patung kayu. Tatkala ia menoleh ke kanan, di sana ada Arion yang sudah bergantik kostum menjadi pakaian rumahan. Ia berdiri di depan kompor untuk memasak air.
“Wah, Freya ... gue kira lo nunggu di belakang. Udah ketemu sama Rigel? Anaknya memang cerewet dan sok akrab.”
“Iya, beda banget sama lo.” Freya berdiri di samping Arion, melihatnya merebus teh serbuk. “Gue kagum sama rumah kalian. Estetik banget.”
Arion memandang Freya. “Ayah kami seniman patung, Rigel pelukis abstrak, Ibu penata bunga, sedangkan gue ngegambar komik. Seni mengalir di darah kami semuanya.”
“Biar gue aja.” Freya menggeser Arion sedikit untuk mengambil alih kompor. Arion pun mempersilahkan hal tersebut. Ia menarik sebuah kursi untuk duduk menghadap dengannya. “Ngomong-ngomong, Rigel kelas berapa?”
“SMP kelas tiga. Dia kayanya lebih tertarik dengan melukis daripada pelajaran. Akademiknya buruk banget. Hahaha ....”
“Kakaknya orang tercerdas di sekolah. Kalian itu kontradiktif banget, ya? Bingung gue ....”
Freya menuang air teh tersebut ke dalam dua buah cangkir untuk mereka. Berputar jemarinya tatkala mengaduk sebelum diberikan kepada Arion. Namun, putaran tangannya berhenti tatkala Arion menyentuh tangannya dengan lembut. Wajah Arion mendekat dengan pelan kepada Freya. Untuk sekian detik dalam hidupnya ia merasakan sedikit lebih tinggi daripada langit, seakan dunia kali ini ia genggam dalam satu waktu. Sentuhan tangan Arion pada helai rambutnya begitu nyaman dan berarti, memberikan makna-makna berlebih untuk ia kenang. Ia ikuti alur Arion yang menyentuh bibirnya dengan hangat.
“Sebelum Raka yang memulainya, biarlah gue untuk yang pertama.”
“Enggak ... lo lebih penting daripada Raka.”
Dua senyum itu saling bersambut ketika redupnya dapur menggelapkan wajah merek. Hanya senyum itu yang bercahaya, terang seperti senja yang sedang harmoni di saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...