3. Senja di Trotoar

233 25 0
                                    

3. Senja di Trotoar


Momen yang terjadi tadi merupakan dari sekian kejadian yang harus terus diingat oleh Freya. Mungkin nanti malam dirinya akan menuliskan momen itu di diary kecil yang ia sembunyikan di bawah bantal. Desiran senyum yang berdetak menyambut dirinya tak akan mudah ia lepaskan dalam lembaran memori. Menyahut memanggil namanya, menggapai sebuah jawaban yang menyebutkan bahwa ia sangat menyukai Raka. Rasa itu semakin menjadi-jadi semenjak kejadian yang baru terjadi.

Sepanjang jalan pulang, Freya mengenggam lembar brosur club Jepang yang Raka berikan. Setahunya, memang pernah terdengar jika sekolah ini memiliki sebuah club Jepang. Namun, banyak yang menyebutkan jika club itu sudah lama bubar karena saking sepinya peminat. Bagi sebagian orang, memiliki hobi menonton anime dan membaca komik kadang menjadi sebuah kebiasaan yang memalukan. Banyak yang hanya menutup diri, tanpa memberitahu siapa jati dirinya.

Gue harus join club ini! seru Freya di dalam hati.

Parkiran sepeda menyambutnya di sana. Para murid mulai mengambil sepeda satu per satu. Tidak terlalu banyak yang menggunakan fasilitas parkiran sepeda, para murid lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor yang mereka parkirkan di luar sekolah.

Tatkala ia meletakkan brosur di atas keranjang sepeda, angin menerbangkannya jauh hingga ia melepaskan gembok yang terpasang demi mengejarnya. Alangkah terkejutnya Freya melihat brosur tersebut mengenai dada seseorang.

Arion ….

Brosur itu tetap menempel di dadanya hingga Arion menggapai untuk diberikan kepada Freya.

“Ini punya lo?” tanya Arion.

Freya membelai rambut belakangnya karena malu. “Hehe … iya. Itu punyaku.”

“Ternyata lo suka Jepang, ya?” Tangannya memberikan brosur tersebut.

Freya hanya tersenyum. Tangannya menjulur untuk menggapai.

“Makasih,” ucap Freya.

“Hmm … mau bareng lagi?”

Pertanyaan Arion membuat Freya mendongak kepalanya. Bisa-bisanya pria itu memintanya untuk pulang bersama setelah banyak orang yang membicarakan hal itu. Tak selesaikah tugasnya untuk mengawani Freya berjalan? Tak butuh langkah ini disandingkan dengan orang lain. Freya merasa masih bisa untuk pergi sendiri. Mungkin ia sudah mendengarkan mengenai rumor mereka berdua.

“Tidak perlu. Gue bisa sendiri, kok. Lo duluan aja.”

Arion mengangguk tanpa ekspresi. Ia tingalkan Freya tanpa menjawab. Seakan dirinya batu yang diam, Arion pergi tanpa bersuara.

Jalanan tampak semakin ramai dengan arus pulang para siswa. Terlalu padat dan relatif sulit untuk dilewati. Suasana padat merayap menyambut Freya yang hanya bisa menggunakan sepedanya dengan lambat. Terpaksa dirinya menggunakan trotoar yang sangat lengang. Tidak ada masalah bagi pengguna sepeda memakai trotoar, bukan? Freya akhirnya dengan leluasa bergerak untuk pulang.
Di ujung penglihatannya, terlihat Arion yang tengah berjalan lambat. Freya ragu untuk mendahuluinya. Bisa-bisa pria itu kembali mengajanya untuk bicara. Terpaksa Freya memperlambat kayuh pedal sepeda agar selalu sepadan di jauh di belakang Arion.

Arion berhenti. Ia berpaling menatap ke belakang yang membuat Freya membuang muka.

“Kalau mau bareng bilang ….” Arion kembali melanjutkan perjalannnya.

Siapa yang mau bareng, sih!

Mau tidak mau Freya menyamakan laju sepedanya dengan langkah lambat Arion. Ia berusaha mencuri pandang kepada Arion yang berwajah kaku tak berespresi. Manusia macam apa itu, tersenyum saja tidak bisa. Batin Freya mengutuk sifat Arion yang begitu dingin. Namun, selama ini tetap pria itu yang memintanya untukk bicara, masih dengan kekakuan gerak wajahnya.

“Lo jalan setiap hari, ya?” tanya Freya.

“Iya, jalan lebih menyehatkan. Lagian, enggak ngasih kontribusi macet jalanan.”

“Oh begitu ….” Freya masih mencari cara untuk mengajaknya bicara.
Di tengah kosongnya pembicaraan, tiba-tiba telinga Freya dibuat oleh Arion.

“Boleh gue naik sepeda lo?”

APA???

Mata Freya menyiratkan jika ia ragu untuk mengiyakan perkataan tersebut. Pria itu tetap saja menyorotnya tanpa menoleh sedikit pun, seakan ia tak akan pergi sebelum dirinya menjawab kalimatnya. Kalimatnya menghantam, menghantam harga dirinya yang terlalu rendah untuk bergoncengan berdua bersama pria sepertinya.

“Ya sudah … kalau lo enggak mau.”

Freya sontak berhenti. Ia berikan kemudi sepeda untuk dikuasai olehnya. “Gue naik di belakang. Tapi, enggak apa-apa, kan?”

“Baiklah … pegangan yang erat di pundak gue.”

Arion dan Freya melaju di jalur trotoar yang tidak rata. Pria itu sungguh kekar, Freya merasakan otot pundaknya yang empuk untuk dijadikan pegangan. Wangi harum semerbak parfum pria dingin itu bercampur dengan aroma menarik rambut yang tidak hilang semenjak mandi pagi hari tadi. Freya menggulung senyum, baru kali ini ia begitu dekat dengan pria tampan seperti ini.

Adakah momen terbaik senja ini?

Sungguh sejuk angin senja yang menerpa wajahnya. Teriak kecil Arion seperti anak kecil yang pertama kali naik sepeda. Dirinya hampir malu ketika pria itu bertingkah konyol. Manusia tetap saja manusia, ia masih menyimpan sisi jenaka yang tak diketahui oleh orang lain.
Tiba-tiba, Arion menoleh ke belakang berkat suara motor yang begitu khas menggelegarkan telinga kami berdua.

“Freya!” panggil seseorang dari belakang. “Lo lupa sesuatu ….”

Sontak Freya terkejut menatap Raka nan tengah melambai di belakangnya. Arion terpaksa berhenti tepat sebelum halte persimpangan jalan. Segenap hati dipaksa untuk berbunga-bunga tatkala pujangga hati menyahut namanya begitu keras. Freya melepaskan sentuhan tangannya kepada Arion, beralih memperbaiki posisi rambut nan tergerai dipecah angin lalu.

Tidak ada yang lebih menarik ketika seorang pria membuka helm, lalu menyibakkan rambutnya yang sedikit berkeringat. Menabur senyum yang Freya telaah dalam serat-serat kerinduan. Freya mengulum senyum dalam benaknya, berharap momen ini akan kembali terjadi di kemudian hari.

“Lo lupa kotak pensil lo.” Tangan Raka menyerahkan sesuatu.
Itu merupakan kotak pensil yang lupa ia tagih kembali dari Raka.

“Wah, besok kan bisa ….” Freya mengambil benda yang diserahkan pria itu.

Raka tersenyum. “Lo butuh ini nanti malam. Enggak seperti gue yang malas belajar.”

Thanks, ya,” pungkas Freya.

Hentak jantung yang bergetar dari dada Freya semakin menjadi-jadi tatkala Raka menatap Arion yang sama sekali tidak menoleh pada percakapan kami berdua. Ia menepuk pundak Arion, namun pria dingin itu hanya mendongak tanpa berkata.

“Lo sama Arion?” tanya Raka dengan tersenyum.

Jangan berpikiran seperti itu Raka ….

Freya cemas dengan kesimpulan yang akan ditarik oleh Raka.

“Gue yang minta naik sepeda dia. Kenapa?” Kalimat Arion seperti menantang.

“Santai ….” Kembali Raka tepuk pundak Arion. “Hati-hati ya kalian berdua. Sore-sore begini banyak banget kendaraan.”

“Iya, lo juga Raka ….”

Tidak ada jawaban selanjutnya. Pria itu hanya mengulum senyum, lalu memasang helm-nya untuk pergi. Suara motornya kembali menggelegar memecah telinga kami. Siapa yang tidak kagum melihat seorang pria tampan mengendarai motor besar ke sekolah? Freya hanya bisa menatap pria itu pergi menghilang di keramaian jalan, tanpa bisa mengatakan, aku sangat menyukaimu.

“Gue sampai di sini.” Tangan Arion menyerahkan kemudi sepeda.

“Lah, lo mau ke mana?” tanya Freya.

“Gue naik bis ke daerah rumah gue. Jadi, hati-hati buat lo.”

Freya mengangguk. Ia naiki sepeda untuk bersiap-siap.

“Lo suka sama Raka, ya?” tanya Arion.

Pertanyaan kembali membungkam dirinya. Kalimat itu membuat aliran nadinya berhenti, menghentak dirinya untuk berbohong, tetapi realita memaksanya untuk mengakui. Hati tersentak untuk menolak jawaban darinya. Namun, tetap saja wajah itu tetap memaksa.

“Oh, enggak, kok.” Freya tersenyum. “Mana bisa cewek biasa kaya gue sama Raka yang keren begitu.”

“Baiklah, semangat ya ….”

Bis tiba serempak dengan sentuhan tangan Arion di pundaknya. Pria itu sama sekali tidak menatapnya setelah itu. Hanya wajahnya yang datar disoroti melalui celah cahaya senja dari dedaunan tepian jalan. Freya masih sempat melihatnya yang duduk di tepi bus. Hingga di suatu titik yang membuatnya tak bisa untuk menoleh.

Dia senyum sama gue?

***


mari taburkan vomment-nya :)


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang