31. Pria Keren

54 8 0
                                    

31. Pria Keren

Club memiliki warna baru dalam keanggotannya. Biasanya mereka hanya berempat, kini sudah berlima bersama Arion. Sama saja seperti di luar, pria itu jarang sekali berbunyi. Ia tetap saja datang ke ruangan club ketika istirahat dan waktu pulang apabila waktu jadwal piketmya, tetapi tetap saja sifat dingin itu tidak hilang. Freya beruntung termasuk dari orang yang ingin diajak bicara oleh Arion. Mungkin hanya dirinya, sedangkan yang lain tidak. Bisa saja Arion lebih mengenal Freya dibandingkan yang lain.

Freya memandang jam tangannya, sepertinya guru lebih cepat mengeluarkan mereka dari kelas. Padahal, bel istirahat sama sekali belum berbunyi. Beruntung sekali tatkala dirinya memberesi barang-barangnya ke dalam tas, bel istirahat berbunyi. Ia pandang Raka yang sudah duluan keluar bersamaan dengan teman sekelas. Tepat sebelum bel berbunyi, Raka sudah memberitahukan kepada anggota club melalui group chat bahwa mereka akan berkumpul di kantin. Ini pengalaman pertama bagi Freya merasakan teman satu club duduk di satu meja.

“Sorry banget ya, Lani. Gue harus ngumpul sama temen Club Yatta.” Ia menoleh ke samping. Terlihat Lani masih fokus pada buku tulisnya.

“Ya sudah, gue masih di kelas karena ada tugas yang belum selesai.”

Freya pukulkan ujung penanya dengan lembut tepat di dahi Lani. “PR itu bikinnya di rumah, bukan di sekolah.”

“Sudahlah ... gue mau konsentrasi.” Pandang Lani lemah kepada Freya.

Tak ingin rasanya menganggu Lani, Freya segera menuju pintu kelas.

Detak jantung Freya berdetak tatkala seutas pandangan lurus padanya tepat di depan kelas. Diamnya begitu sunyi dan dingin, Freya tak ingin menatapnya lama-lama. Persis seperti beberapa hari itu, Arion berdiri seperti hantu yang sedang menunggu orang lewat. Kini, Arion melakukan hal yang sama. Freya segera menariknya agar tidak berdiri seperti itu.

“Hey, lo kenapa berdiri kaya gitu di depan kelas gue?” tanya Freya sembari menarik tangan Arion agar menjauh dari kelasnya.

“Gue menunggu lo biar sama ke kantin.”

“Apa? Lo nungguin gue biar samaan ke kantin?” Kepala Freya memereng karena hal tersebut. Belum ada sejarahnya pria yang menunggu Freya untuk pergi ke kantin. Kini, pria aneh yang lumayan manis ini melakukan hal itu untuknya. “Okelah lo nungguin gue, tapi jangan berdiri kaya tiang beton. Gue jadi takut.”

“Jadi harus seperti ini?” Arion memasukkan tangannya ke dalam kantung hoodie-nya. Lalu, berubah gaya untuk ditunjukkan kepada Freya. “Atau gue masukin saku ke tangan kaya Raka?”

“Begitu lebih bagus daripada diam berdiri seperti kayu mati.” Freya melangkah ke depan. Ia tak ingin berdebat di tengah koridor seperti ini.

Menyadari Freya bergerak cepat, Arion menyamai langkah wanita itu.

“Oh, jadi begini cowok keren sekolah berdiri dan berjalan?”

Wajah Freya datar melihat tingkah polos Arion yang menunjukkan pose keren menurutnya itu. Bagi Freya, sama saja segala pose bagi setiap orang. Tak ada defenisi pose keren atau tidak keren. Subtansi berjalan adalah bergerak, tanpa gaya pun mereka masih bisa bergerak. Namun, Arion malah mengajari hal itu padanya. Itu pula yang membuat tawa kecil Freya terpancar tepat di samping Arion. Pria itu berganti gaya berjalan dengan jenaka, hampir diketawai dengan keras oleh Freya.

“Arion, udah dong! Hahah ... lo diliatin orang-orang.”

Pria itu menatapnya. “Lo bilang harus punya gaya biar enggak kaya hantu dan kayu mati.”

“Lebih baik kalau berjalan biasa saja gayanya. Gue enggak butuh orang banyak gaya. Okkay?” Freya menggeleng menyadari tingkah Arion itu.

Sebenarnya cukup canggung berjalan di samping Arion apabila berada di sekolah. Freya tahu bahwasanya Arion cukup menarik perhatian, meskipun diam, dingin, dan tanpa pergerakan. Menurutnya, Arion cukup manis dan pintar. Jika ia tidak pintar, mana mungkin kini ia berada di kelas unggulan. Terlebih lagi mereka para wanita sering membandingkan antara Raka dan Arion. Freya tertawa saja di dalam hati. Mereka tidak tahu bahwasanya Arion sebodoh ini di depannya.

Kantin penuh dengan murid lapar. Hiruk pikuk suasana kantin terdengar di telinga Freya. Gema percakapan di meja dan dapur kantin terasa sibuk sekali. Belum lagi tawa meja murid-murid populer yang sedikit berlebihan dan membuat Freya jijik sendiri. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari meja Raka. Kantin cukup luas untuk dipandangi dengan mata karena ada banyak murid yang bergumul sehingga menutupi meja-meja.

“Kenapa kantin selalu ramai?” tanya Arion tiba-tiba.

“Kalau lo enggak mau ramai, ke kamar mandi aja sana.”

“Kamar mandi cowok selalu ramai dengan para perokok,” balas Arion.

“Lebih baik cari Raka dan yang lain daripada kita berbicara bodoh.”

Tanpa diduga, Arion maju mendahuluinya. “Mereka di sana dari tadi.”

Seharusnya dia bilang ke gue dari tadi, kesal Freya di dalam hati.

Tak ada pilihan lain selain langsung bergabung dengan yang lain. Tanpa memesan terlebih dahulu, ternyata Raka sudah memesan makanan yang sengaja ia persiapkan terlebih dahulu. Mangkuk berisikan bakso tersebut dibagikan kepada mereka satu per satu dan hanya menunggu minuman yang belum siap. Tak ada percakapan yang dimulai, mereka hanya saling memandang kenapa mereka dikumpulkan oleh Raka hari ini. Padahal, selama ini belum pernah terbesit oleh Raka untuk mengtraktir mereka di kantin.

“Kalau diam-diam begini, mending gue keluar kantin. Soalnya panas.” Karin melipat tangannya di atas meja. Wajah bete itu tak bisa dihindari lagi.

“Baiklah ... makasih udah datang. Ini uang hasil dana dari sekolah, jadi makan yang puas. Hahaha ....” Raka langsung menyendok bakso tersebut ke mulutnya. Setelah itu ia berhenti untuk menatap teman-teman yang lain. “Ayo, di makan. Tunggu apa lagi. Ini gratis.”

“Wah, gratis! Tapi, sayang ... gue jarang habis satu mangkuk.” Zeta mengambil sendok.

“Makanya, lo harus gedein tubuh lo biar makannya bisa banyak. Hahah,” canda Raka.

Candaan tersebut mencairkan suasana yang sebelumnya kaku. Belum lagi Raka merayu Karin untuk segera menambah. Raka tahu bahwasanya Karin hanya menahan diri untuk tidak menambah makanan. Namun, wanita itu menolak karena tahu diri bahwasanya uang ini bukanlah miliknya. Begitu pula yang lain mendapatkan tawaran yang sama.

“Ayo, dong nambah ... ini beneran gratis. Kita baru turun dana.” Raka kembali berseru.

“Lebih baik di hemat buat kegiatan nanti,” saran Freya kepada Raka.

“Hahah ... percuma kita punya anak sultan yang ada di samping gue.” Isyarat Raka sudah pasti tertuju kepada Karin yang sedang memotong bakso di dalam mangkuk.

“Enak aja, emang gue brankas uang club ini!”

“Hahaha ....”

Makanan disantap dengan nikmat. Obrolan singkat pun diperhelat mengenai siapa gerangan yang ingin bergabung. Mereka masih bisa menerima anggota kapan saja. Namun, tak ada anggota baru semenjak Arion bergabung. Kembali Freya tawari Lani untuk masuk, tetap saja pria itu menolak demi idealismenya.

“Gue berencana ngadain acara barbekyu, sekalian nyusun rencana event yang bakalan kita adain.”

Seluruh anggota club menatap kepada Raka.
“Barbekyu? Di mana?” tanya Karin. Matanya memicing kepada Raka.

“Mentang-mentang kita baru turun dana, terus lo habisin uang itu buat berpesta.”

“Tenang, Karin. Nanti itu bakalan pakai uang gue, kok. Gue yang beli semuanya. Selebihnya, kita bisa ngumpulin uang buat beli makanan ringan atau minuman.” Raka kembali menoleh ke depan. “Kira-kira, ada rumahnya yang bisa dipakai buat acara barbekyu? Jujur, rumah gue terlalu sempit buat itu.”

“Gue enggak mau repot, meskipun halaman gue gede. Orangtua gue pasti enggak mau ada yang kotor.” Karin mengangkat tangan.

Raka menoleh pada Zeta. Hanya saja, Zeta menggeleng merespon itu. “Lo tahu sendiri kalau gue tinggal di perumahan yang tertutup. Pasti, bakalan enggak bisa ribut-ribut.”

“Iya, juga. Buat masuk aja susah ke sana harus ninggalin identitas. Hahahah ....” Kini Raka menatap Freya. “Kalau lo Freya?”

“Hmm ... gue enggak pernah ngajain teman buat adain acara. Tapi, gue bisa usaha buat bertanya sama Mamam.”

Raka tersenyum mendengar hal tersebut. “Oke, kita coba tanya sama Mama lo dulu.”

“Kalau kalian ingin tempat tanpa izin dahulu, kalian bisa adain acara di rumah gue.” Tiba-tiba Arion bersuara. Orang yang jarang berbicara ternyata selalu mengejutkan apabila bersuara seperti kali ini. Terkadang, mereka mengira bahwasanya Arion itu sebenarnya bisu. “Bukan rumah, sih. Lebih tepatnya kebun bunga orangtua gue. Halaman belakangnya luas. Freya udah ke sana sebelumnya.”

Kenapa pakai nama gue sih, Arion! kesal Freya di dalam hati.

“Benarkah kalau besok langsung bisa diadain?” tanya Raka.

“Nanti malam saja kalian bisa, apalagi besok.”

Raka sontak mengetuk meja tiga kali seperti seorang hakim yang memberikan keputusan. “Baiklah, gue putuskan kalau kita dua hari lagi ke tempat yang Arion maksud.”

Mata Freya memicing kepada Arion. Pria itu tersenyum di hadapan teman-teman yang lain. Ada suatu kebanggaan yang dilihat oleh Freya dari Arion. Arion telah memberikan senyuman itu kepada orang banyak dan begitu merasa dihargai.

Seketika Arion berbisik kepada Freya.

“Begini cara pria keren, kan?”

Ternyata untuk itu!

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang