13. Menyimpan Sebuah Nama

109 11 0
                                    

13. Menyimpan Sebuah Nama

Pagi memaksa kelopak mata untuk bangkit dari tidur. Bunyi alarm memainkan peran sebagai cambuk untuk segera bangun. Mata Freya terbuka secara paksa setelah tadi malam tidur larut malam. Udara yang dirasakan seakan menghantam matanya untuk menutup kembali. Namun, ia sadar harus bersiap-siap menuju sekolah. Sementara itu. dingin masih mencekam dari balik selimut yang dikenakan. Hujan tadi malam masih tersisa untuk ditumpahkan di balik jendela yang Freya tatap. Garis-garis wajahnya lusuh bercampur debar jantung yang seketika berkecamuk. Malam nanti merupakan pegelaran lomba pakaian tradisional Jepang yang diadakan di alun-alun kota.

Entah bagaimana dirinya nanti malam. Ia ingin sekali membuat hati Raka takjub dengan kesederhanaan yang ia bawa. Kesungguhan hati yang terwujud dari keikhlasan dalam tulus, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan kalah. Ia akan kejar senyum itu, peluk manja tatkala ia berhasil menjadi seorang pemenang. Sebegitu senangnya apabila itu terjadi, seakan hatinya telah berbagai kebahagiaan dengan orang yang ia cintai. Lalu, mereka akan membagi senyum apabila nama Freya bergema di atas panggung sebagai juara.

Air mandi tak memberi celah sedikit pun untuk Freya berlama-lama. Terasa begitu dingin dan menusuk. Tubuhnya bisa sedikit lebih hangat setelah teh panas yang ia seduh di dalam teko. Sarapan sudah lebih dahulu dipersiapkan oleh Mama, membuatnya tak perlu lagi memasak sarapan sendiri. Biasanya, ia yang selalu mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Bukan berkat Mama-nya tak ingin, tetapi ia yang meminta Mama untuk duduk dan menikmati masakan yang ia persiapkan untuk keluarga.

Hari masih diguyur hujan. Wanginya berbunyi sisa-sisa rindu dibalik kilas ingatan memori bersama Raka. Tatkala bel pulang berbunyi, pria itu selalu menadahkan tangan di bawah rinai yang turun menyerbu. Lalu, tersenyum sendiri yang membuat Freya bergeming. Waktu seakan melambat seketika tatkala hujan memercik dari tadah tangannya itu. Alur senyum Raka lambat dan begitu detail untuk Freya hayati. Selanjutnya, Freya akan berbalik badan. Selalu saja ada orang lain yang akan menghampiri diri Raka. Merebut momen-momen indah yang sedang ia usahakan untuk dinikmati.

Hubungi Raka aja atau enggak, ya? tanya Freya dalam hati.

Ya kali gue minta Raka buat menjemput gue. Gue siapanya dia!

Tangan Freya menggapai payung yang tergantung digarasi. Ia tinggalkan garasi sembari menatap mobil yang tergeletak tidak berguna. Tidak ada satu pun di rumah ini yang bisa mengendarainya, selain Papa sendiri. Namun, Papa sedang ada pekerjaan di luar kota. Harusnya, dari dulu ia belajar mengendarai mobil. Selain lebih bergengsi, ia juga bisa menyumpal mulut-mulut yang mencaci sepedanya yang sering lepas rantai.

Terpikir olehnya untuk berjanji bertemu di halte kepada Arion. Seperti yang ia katakan kemarin, mungkin sewaktu-waktu mereka akan bisa satu bus berdua menuju sekolah. Bukannya Freya tidak mau, tetapi terkadang terbesit rasa ragu. Entah apa dipikiran anak itu, bisa-bisanya ingin bersama dengan Freya. Tidak habis pikir ada orang setampan Arion yang ingin bergaul dengan dirinya. Padahal jika dipikir-pikir kembali, ia tidak pernah memiliki teman bicara sekeren dirinya.

Ia tapaki rintik hujan yang jatuh. Bulir-bulir memercah beserta ranum wangi rinai yang semerbak. Tak luput dari suara hujan yang membentuk sebuah harmoni, lekat bersama dingin yang membelainya erat. Tak ada yang bisa menepis romantis suasana hujan. Semuanya bisa larut dibawa jika tak hati-hati. Matanya menoleh ke seseorang yang duduk di ujung tempat duduk halte. Padahal, ia bisa memilih tempat yang lebih nyaman dari itu. Kerjapan matanya menyiratkan sebuah makna, ia sedang menunggu seseorang. Tak ada senyum yang menyambut, selalu datar dengan wajahnya yang sok misterius. Ingin sekali Freya menamparnya dengan buku untuk sekadar meminta tersenyum.

“Arion …,” panggil Freya.

Pria itu mengangguk. Sebelah tangannya menepuk sebuah bangku yang berjarak satu bangku darinya. Freya mengerti, pria itu sungguh pelit untuk berkata memintanya duduk di sana. Apa susahnya mengucapkan kalimat meminta, pastinya Freya tidak tega untuk menolak.

“Kok di sini?” tanya Freya tanpa menoleh. Wajahnya tetap ke depan menyorot rinai yang jatuh.

“Menunggu lo.”

Begitu singkat, tetapi menusuk. Wajahnya memerah dan tak berani menatap.

“Ngapain nunggu gue?” tanya Freya kembali.

“Bukannya gue bilang kemarin kalau sewaktu-waktu kita akan pergi naik bus ke sekolah?” tanya Arion.

Freya menoleh dengan cepat. “Tapi, lo kan yang ngehubungi gue? Tadi enggak ada.”

“Berharap gue hubungi?”

Really? Siapa juga yang berharap?!

Begitu liciknya pria di sampingnya yang tidak bertanggung jawab setelah menuduhnya. Tidak sedikit pun terbesit harapan jika Arion akan menghubunginya. Tetap dengan wajah datar itu, Arion memandang Freya yang mengernyitkan dahi.

“Apa? Gue enggak ada berharap seperti itu!” protes Freya.

“Oh, begitu. Sebenarnya tadi gue pengen menghubungi lo. Tapi, sinyal di rumah hancur karena hujan. Terpaksa gue nunggu lo di sini.”

“Sebegitu banget nungguin gue di sini.” Freya melipat tangan di dada.

“Gue tahu lo bakalan naik bus karena hujan ini. Dan gue tahu persis lo melintasi halte sekitar pukul tujuh kurang lima belas.”

“Jangan ingat-ingat kebiasaan gue.”

Arion menoleh cepat. “Emangnya kenapa?”

“Ya enggak nyaman aja,” balas Freya.

“Bukannya teman umumnya seperti itu?”

Teman?

Pria itu baru saja menyebutnya sebagai teman. Baru kali ini ada seorang pria yang mengakui diriya secara langsung sebagai teman. Bukannya tidak suka, tetapi ia tidak biasa dengan hal-hal seperti ini. Terlalu jujur dan terlalu kaku.

“Oh, iya. Kita kan teman.” Freya tersenyum.

Bus datang bersamaan dengan beberapa orang yang baru saja sampai di halte. Bergegas Freya dan Arion memasuki bus kota yang akan membawanya menuju halte di dekat sekolah. Karena tidak biasa, ia biarkan Arion memilih bangku. Langkah pria itu memilih duduk di bangku tengah kiri, sama seperti posisi duduk Arion tatkala Freya melihatnya dengan seorang wanita dari sekolah lain.

Rasa canggung menyelimuti. Tubuh mereka saling bersentuhan. Tidak bisa bagi Freya untuk bergeser. Lagi-lagi, Arion tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Selalu terlihat tenang dan diam.

“Gue suka melihat hujan dari balik bus,” ucap Arion tiba-tiba.

“Oh, iya?” Freya menoleh ke luar. “Hujan terlihat deras dan tidak tenang. “

“Apa Raka pernah seperti ini?” tanya Arion.

“Apaan sih! Kok nanya sama gue?” protes Freya.

“Kan gue cuma nanya.” Arion kembali menatap ke depan.

Handphone milik pria itu berbunyi. Tatkala ia angkat, terdengar samar-samar suara perempuan nan lembut sedang berbicara di balik sana. Senyuman itu, senyuman yang sangat langka itu muncul mekar merekah hingga ke sudut maksimal. Seakan akan ia lupa jika selama ini ia begitu sulit untuk tersenyum. Dari balik gurat wajahnya, tersiratkan bahwasanya ia begitu senang mendapati telepon dari wanita itu.

“Iya, enggak apa-apa. Lo bisa pergi duluan, kok. Besok kita satu bus lagi. Sekarang gue lagi bersama seorang cewek. Tenang, dia cuma teman. Ingin berbicara dengannya?” Arion berhenti sejenak. Freya malah menatap aneh. Bisa-bisanya anak itu meminta wanitanya untuk berbicara dengannya. “Oh, besok-besok lo bisa bicara dengannya. Udah, ya … gue tutup dulu. See you later, Dinda.”

Arion menutup handphone-nya. Ia tatap Freya setelah itu sembari mengangkat bahu.

Oh, ternyata Dinda namanya.

Freya tersenyum di dalam hati. Sama seperti dirinya, Arion pun turut menyimpan sebuah nama.
***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang